Oleh: Veronica A. Kumurur
Sekali lagi, dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999, adalah suatu dokumen kelayakan lingkungan dan lebih jelas lagi bahwa dokumen ini dibuat untuk memproteksi (melindungi) lingkungan hidup suatu wilayah yang bakal terkena dampak negatif yang besar dan penting akibat suatu kegiatan pembangunan. Dalam dokumen ini ada kajian-kajian terhadap dampak negatif yang besar dan penting yang akan mempengaruhi turunnya kualitas lingkungan hidup suatu wilayah. Dan didalamnya pula ada rencana pemantauan lingkungan (RPL) yang memiliki kegunaan untuk memantau dampak-dampak negatif yang timbul disaat kegiatan itu telah beroperasi atau telah dilaksanakan dan ada rencana pengelolaan lingkungan (RKL) yang memiliki guna untuk memberikan laporan bagaimana upaya pemrakarsa mengelola dampak-dampak negatif penting selama kegiatan operasional bangunan berlangsung. RPL dan RKL ini biasanya dilaporkan setiap 3 bulan oleh pemrakarsa (pemilik). Biasanya pula pemilik atau pemrakarsa akan memilih konsultannya sendiri untuk membuatkan dokumen laporan ini. Dokumen AMDAL ini penting untuk tetap menjaga keseimbangan lingkungan hidup suatu wilayah yang tentunya bertujuan untuk suatu keberlanjutan lingkungan, sehingga begitu pentingnya kapabilitas konsultan pengkaji. Dan harus diingat, bahwa mengkaji suatu kegiatan ini harus dilakukan oleh berbagai disiplin ilmu dan melibatkan berbagai ahli dibidangnya (sosiolog, psikolog, arsitek, dokter, hukum, ahli sipil, ahli pertanian, ahli perikanan, ahli kehutanan, dll) dalam konsultan pengkaji tentunya bergantung pada kegiatan apa yang akan dikaji. Ini disebabkan oleh kegiatannya berada dan berlangsung di tengah-tengah lingkungan hidup (lingkungan alam, sosial dan buatan). Maka itu, disiplin ilmu lingkungan bukan saja didominasi oleh ahli perikanan atau ahli pertanian, kimia atau biologi. Demikian juga kajian AMDAL, bukan saja dilaksanakan oleh ahli tertentu saja. Kajian akan terasa pincang dan mengada-ada jika tidak dikaji secara lintas disiplin.
Mari kita lihat apa yang terjadi di KOTA MANADO yang berkaitan dengan penaatan terhadap dokumen AMDAL, mulai dari pembuatan dokumen ini sampai pada pelaksanaan penaatan terhadap komitmen pemrakarsa yang tercantum dalam dokumen ini.
Kawasan Boulevard dan bangunan-bangunannya, kini hampir saja selesai. Posisi dan bentuk bangunannya, baik secara jelas sekarang telah terlihat, maupun yang masih diiklankan di media masa ataupun melalui “billboard-billboard” atau papan iklannya sudah dapat memberikan gambaran nyata di mata kita semua “orang Manado”, bahwa sebentar lagi jalan “Boulevard” tidak seindah namanya lagi. Bahwa jalan Boulevard akan berubah jajaran beton bak “Jalan Sabang di Jakarta atau Kawasan Pasar Baru masih di Jakarta atau kawasan Pasar Pagi masih di kota Jakarta”, kawasan yang penuh sesak tak hanya oleh beton, tetapi oleh asap kendaraan dan manusia-manusia yang siap menghirupnya. Itulah kenyataan dimasa datang di kota pantai Manado. Semua akan berubah, dari gratis menjadi bayar untuk memanfaatkan “view” atau pemandangan laut. Seolah, argumentasi dan protes kita semua masyarakat (tanpa pemerintah dan investor) KOTA MANADO untuk berupaya mendapatkan area publik (umum) yang gratis atau mendapatkan lingkungan alam (laut dan udara) yang bersih dan sehat bakal tak akan terwujud dan hanyalah menjadi impian saja. Dan terlebih lagi disatu saat akan menjadi barang yang mewah yang hanya bisa dijangkau atau dibeli oleh yang punya “duit”.
Sampai pada akhirnya, kita bersepakat bahwa “oke-lah” memang membongkar Central Business District (CBD) Boulevard di KOTA MANADO ini memang tak dapat demikian saja dilakukan dan akhirnya pula dalih bahwa CBD Boulevard adalah produk dari orde baru yang tak dapat digoyahkan pada saat itu oleh siapapun. Seolah kita memang sudah rela melepaskan pemandangan Pantai Teluk Manado dirampas oleh orang-orang yang punya “Power & Money (kekuasaan & uang)”. Biarlah, itu menjadi tonggak catatan sejarah “suatu kesalahan” yang pernah dilakukan oleh pemimpin propinsi ini di jaman orde baru, yang telah kita catat bersama, siapa-siapa saja yang telah melakukan ini semua.
Namun, bukan berarti kita masyarakat menerima saja keadaan itu, tapi kita meminta untuk meminimalkan kerusakan yang bakal terjadi dengan cara membuat “Sewage Treatment Plant (STP)” atau unit pengolahan limbah di lokasi CBD ini, dan mengatur sistim drainase di kawasan itu dan juga meminta ruang-ruang publik gratis (free of charge) di areal ini. Membuat akses gratis bagi masyarakat dimana masyarakat kota ini masih bisa berjalan dari ujung CBD (belakang Jumbo) sampai ke ujung lainnya (area Mall Manado Bahu). Itu semua yang teridentifikasi dalam upaya meminimalkan kerusakan lingkungan hidup (lingkungan alam, sosial dan buatan) di KOTA MANADO. Dan kelihatannya permintaan itupun tak kunjung terlihat dan akan dibuat. Mengapa? Lihat saja pembangunan yang ada saat ini, batas antara pengembang satu dengan pengembang lainnya dibatasi dengan nyata dan kuat dan jika salah satu pengembang akan melewati batas pengembang lainnya, maka terjadilah pertengkaran antar pengembang (beberapar contoh dan kejadian sudah terjadi). Menuntut adanya STP? Kelihatannya juga tidak akan dibuat? Maka lengkaplah sudah apa yang dikuatirkan oleh masyarakat Kota Manado. Mengapa juga demikian? Jawabannya adalah bahwa kawasan CBD hanya punya kajian AMDAL Timbunan Pantai, bukan kajian AMDAL kegiatan pembangunan yang ada diatas lahan baru tersebut. Yang kata Kepala Bapedal Propinsi Sulut Bapak Bonnie Sompie, kajian AMDAL yang sudah ada sudah cukup (Jawaban yang pernah dilontarkan ditahun 2001). Kini, buktinya saat ini adalah kegiatan pembangunan yang ada diatas lahan baru ini yang berupa shopping centre (mall), hotel, marina, apartemen, villa sudah dan bakal dibangun di atas lahan baru ini yang justru dampak negatif dari kegiatan-kegiatan inilah yang bakal terjadi dimasa datang. Bukan lagi dampak dari lahan baru hasil timbunan pantai ini. Tapi mana kajian AMDAL dari masing-masing pengembang yang melakukan pembangunan di atas lahan ini? Dan bagaimana pula menuntut para pengembang untuk melakukan Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL/RPL) sementara mereka tidak punya kajian AMDAL dari masing-masing kegiatannya. Yang ada adalah RKL/RPL akibat dari timbunan pantai Teluk Manado secara keseluruhan, nah, siapa yang akan membuatnya??? Pemrakarsa yang mana? Kembali lagi, dokumen ini hanya menjadi pemanis saja, hanya menjadi pelengkap dan tuntutan administrasi saja.
Dari kejadian ini, dokumen AMDAL di KOTA MANADO masih menjadi alat legitimasi. Kita tidak usahlah melihat kondisi umum di Indonesia yang memang dokumen ini masih dijadikan pelengkap saja. Cara seperti ini hanyalah upaya mencari teman dalam melakukan kesalahan dan buang-buang waktu saja. Berpikirlah untuk merubah diri sendiri, ini adalah tindakan yang irit ongkos dan tidak buang-buang waktu. Coba kita lihat (baca dan saksikan) di media massa yang begitu jelas menayangkan betapa sengsaranya satu wilayah yang hanya mengandalkan pembangunan ekonomi tanpa melihat pengelolaan lingkungan hidupnya (khususnya di Indonesia). Ekonomi dalam rangka pendapatan asli daerah menjadi primadona dalam menetapkan target. Dan hanya menjadikan kajian dampak negatif terhadap lingkungan sebagai pelengkap saja dan tidak penting untuk dilaksanakan.
Hasilnya, banjir bandang yang berulang-ulang setiap musim hujan, kekeringan dan tidak ada lagi sumber air minum, polusi udara dimana-mana tak pernah melihat cerahnya langit biru dan segarnya udara pagi, penyakit akibat sampah yang tak dikelola dan sistim sanitasi yang tidak baik, rusaknya sumberdaya air sungai dan tidak ada lagi air bersih, danau menjadi rusak, laut tak dihidupi lagi organisma laut akibat tumpahan minyak dan sampah. Rasanya, kiamat semakin mendekati langsung ke kota atau wilayah itu. Dan itu terjadi setempat, tidak merambah ke daerah lain di Indonesia.
Kesimpulannya, daerah atau wilayah atau kota dan kabupaten tersebutlah yang punya kuasa untuk memilih apakah hanya memajukan ekonomi dan menghacurkan lingkungan alam ataukah sebaliknya atau kedua-duanya diperhatikan dan dilaksanakan. Jadi, wilayah kota dan kabupaten itulah yang harus mengatur cara membangun dan memproteksi (melindungi) lingkungan hidup wilayahnya, karena mereka yang ada di wilayah itu dan yang akan terkena dampak langsung akibat ulahnya.
Kita lihat KOTA MANADO yang semakin saja berbenah diri dan semakin memajukan pembangunan dibidang ekonominya. Ini ditandai dengan banyaknya pembangunan fisik kota yang sedang dilakukan. Namun, diharapkan kisah “AMDAL Kawasan CBD di Boulevar” seharusnya menjadi pelajaran baik dan tak perlu diulang lagi oleh pengambil keputusan kota dan propinsi ini. Pengetatan pengawasan terhadap pelaku-pelaku pembangunan mesti dilakukan, baik terhadap kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan maupun kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan agar tidak lebih memperparah kondisi lingkungan hidup di KOTA MANADO. Mestinya demikian, jika mau melaksanakan komitmen menjadikan KOTA MANADO sebagai kota yang manusiawi dan berkelanjutan. Bukan cerita saja atau hanya di seminar saja, tetapi aksi nyata (jelas terlihat).
Memproteksi lingkungan Kota Manado dari ancaman dampak negatif yang dihasilkan oleh kegiatan-kegiatan pembangunan di Kota Manado sangatlah penting dan sudah saatnya dilakukan. Tidak bisa ditawar-tawar lagi. Maka itulah kajian AMDAL seharusnya dibuat dan dilakukan betul oleh pengembang (pemrakarsa) sebelum melakukan kegiatan pembangunan fisiknya.
Perlu juga disadari oleh semua pihak (investor, pemerintah dan masyarakat) bahwa kampanye tentang lingkungan hidup telah mulai memberikan dampak positif pada masyarakat. Kini, masyarakat mulai tahu bahwa dokumen AMDAL itu penting dan setiap kegiatan harus memerlukan dokumen ini, apalagi kegiatan tersebut berskala besar. Jadi, saya mau katakan disini, bahwa para pengusaha (investor) jangan merasa rugi dengan berdayanya masyarakat kota ini. Dan juga jangan menjadi ancaman bagi anda sebagai investor. Tetapi, jadikan mereka sebagai kontrol sosial anda juga dan kontrol sosial pemerintah. Contoh saja, jika ada kegiatan pembangunan shopping centre atau apa saja yang cenderung memiliki skala besar (strata tittle), pasti akan ada pertanyaan bagi masyarakat, apakah “proyek” ini telah memiliki kajian AMDAL? Dan pasti akan berkembang opini masyarakat dan mereka akan mencari terus sampai mendapatkan jawaban pasti. Itulah konsekuensi dari pemberdayaan masyarakat, rasa ingin tahunya menjadi besar, kritis dan cerdas. Itukan yang kita inginkan bersama, bukan masyarakat kota yang bodoh, yang mau saja menerima pembodohan yang dilakukan oleh para “the have”yang merasa bisa membeli hak hidup warga masyarakat kota ini.
Cilakanya, jika memang ditemukan masyarakat, bahwa kegiatan proyek yang berskala besar tersebut belum memiliki kajian AMDAL. Padahal kegiatannya terlihat sedang dijalankan atau sedang berkegiatan. Sekali lagi, ini bukan kesalahan masyarakat yang menilai, dan bukan pula menghambat datangnya investor masuk ke KOTA MANADO. Salah besar dan sangat bodoh, jika para investor mengatakan dan menilai masyarakat dimana tempat mereka berusaha akan menghambat kegiatan mereka. Sekali lagi, siapa sih? Yang tidak suka dengan pembangunan dan tidak suka dengan investasi? Hanya saja, harus dilakukan dengan aturan yang bagus dan bukan serampangan atau slenge’an (asal-asal atau urakan).
Memang betul, suatu kegiatan pembangunan belum boleh terlihat dilakukan apabila belum melakukan kajian AMDAL. Dan itu mutlak mesti diterapkan di kota ini, jika memang menginginkan KOTA MANADO menjadi kota berkelanjutan bukan bakal kota “mati”. Memang betul, jika kajian AMDAL belum ada dan apabila pengusaha bandel melakukan kegiatanya, kegiatan mereka harus dihentikan. Dan memang betul juga, bahwa masyarakat punya hak untuk menilai kegiatan itu, karena masyarakat (siapa saja seperti wartawan, masyarakat umum lainya) di kota ini, punya hak didalam pengelolaan lingkungan hidup di KOTA MANADO. Wujud partisipasi masyarakat adalah dengan menjadi pengamat lingkungan hidup, menjadi polisi swasta dalam melihat kerusakan-kerusakan lingkungan di kota ini. Dan itu tidak salah, karena itu tercantum dalam Undang-undang pengelolaan lingkungan hidup tentang peran serta masyarakat. Dan pengamatan dan pengawasan adalah bagian dari pengelolaan.
Kembali pada dokumen AMDAL, dokumen ini memang mesti dimiliki dulu oleh pemrakarsa (investor atau pengusaha) sebelum akan melakukan kegiatan. Kajian-kajian penting dan teliti yang dilakukan dalam dokumen ini. Apalagi, KOTA MANADO memiliki bentuk dan topografi yang unik dan spesifik dimana banyak sungai-sungai, memiliki garis sempadan pantai yang begitu panjang, sehingga kajian-kajian yang sangat penting dan spesifik pula yang mesti dilakukan disini. Sekarang ini sempadan pantai Manado yang tidak lagi berfungsi sebagai kawasan lindung, telah beralih fungsi menjadi kawasan budidaya (kawasa komersil atau perdagangan dan hunian sewa). Peralihan fungsi inipun saya anggap sudah disetujui oleh seluruh masyarakat KOTA MANADO, sehingga resiko akibatnya akan juga ditanggung oleh seluruh masyarakat kota ini. Begitu kiranya konsekuensi peralihan pemanfaatan lahan yang telah ditetapkan berdasarkan surat dari orang nomor satu KOTA MANADO untuk beberapa kegiatan/usaha yang akan ada di Kota Manado. Contoh, peruntukkan sebagai kawasan wisata bahari menjadi/dialihkan menjadi kawasan komersial (perdagangan dan industri), kawasan pemukiman menjadi kawasan komersial. Untuk itu pula seharusnya dan tidak boleh ditawar lagi, bahwa ada perlakuan ekstra ketat apabila membangun di kawasan yang rentan ini. Sistim drainase, dan membebaskan sungai-sungai untuk menjalankan fungsi sebagai saluran alami KOTA MANADO, bukan direkayasa dan dibuatkan bangunan di atasnya, sehingga mengancam keberadaan sungai ini. Dan tentunya keberadaan masyarakat yang ada di kawasan tersebut.
Saya pikir, sudah saatnya di tahun 2003 dan seterusnya, pemerintah KOTA MANADO melaksanakan tugas mulianya, dengan menegakkan aturan bahwa dokumen AMDAL harus dimiliki dahulu sebelum melakukan kegiatan. Seharusnya, ini tegas dilaksanakan, tak memandang kawan, saudara jauh-dekat dan juga bukan demi “popoji (kantong)”. Bukan pula berdasarkan ancaman investor, bahwa jika tidak diijinkan melakukan kegiatan ditempat itu, maka investor tersebut akan mencari lahan dan kota lain. Jangan terpengaruh dengan ancaman demikian. Yang paham dan mengerti kota dan masyarakat di Manado ini kan’ tentunya orang yang dipilih untuk memimpin Kota Manado ini. Ketegasan mesti dilakukan demi kota tercinta ini, demi masyarakatnya. Contoh saja, akibat kegiatan penimbunan salah satu lokasi pembangunan di daerah Malalayang, sebuah truk pengangkut batu dasar yang biasanya digunakan sebagai material pembuatan “breakwater” pada sore hari tanggal 14 Februari 2003 melaju dengan kencangnya (70-80 km/jam) dari lokasi galian batu Kalasey tanpa menutup bak truk nya. Batu-batu besar tersebut siap menggelinding setiap saat dan siap mencari mangsanya untuk diduduki. Truk tersebut melewati pos DLLAJR dan “cuek” saja tanpa ada yang menahan dan memeriksanya. Saya, sebagai masyarakat yang melihatnya menjadi was-was dengan kondisi truk tersebut. Bandel (nakal)nya pengembang (developer) atau pengusaha ini, berani-beraninya dia melanggar aturan yang seharusnya ada di dokumen AMDALnya. Jadi timbul pertanyaan, apakah pemrakarsa yang “order” batuan tersebut sudah mengantongi dokumen AMDAL untuk melakukan kegiatannya atau belum ya?
Nah, contoh kegiatan pengangkutan batu itu akan mengancam keselamatan masyarakat lainnya, sehingga perlunya dianalisis bagaimana penanganan truk angkut batu tersebut, agar tidak menganggu kenyamanan masyarakat. Dan bagaimana kerjasamanya dengan polisi atau DLLAJR. Semua analisis itu termasuk di dalam kajian AMDAL. Apabila, kedapatan truk melakukan kegiatan yang tidak mengikuti aturan maka berarti tidak mematuhi apa yang telah dituangkan dalam dokumen AMDAL, kita berhak memberhentikannnya dan memberikan sanksi pada pengembangnya. Tentunya, sekali lagi polisilah yang harus masuk didalam pemberian sanksi. Jangan nanti melakukan tindakan penertiban terhadap komitmen dalam dokumen AMDAL, setelah kejadian buruk telah menimpa masyarakat, itu sih bak “polisi india”, percuma.
Jadi, memang betul bahwa SEHARUSNYA DOKUMEN AMDAL DISETUJUI DULU baru kemudian KEGIATAN PEMBANGUNAN DILAKSANAKAN bukan DOKUMEN AMDAL DIBUAT BERSAMAAN DENGAN PELAKSANAAN KEGIATAN, dan sekali lagi, bahwa AMDAL adalah alat proteksi (pelindung) lingkungan hidup dan adalah bagian dari studi kelayakan suatu kegiatan (layak teknis, layak finansial dan layak lingkungan). Yang gunanya agar lingkungan hidup yang kita tinggali ini dapat memberikan “supply” bahan atau material yang dapat kita gunakan untuk menunjang kehidupan kita umat manusia di Kota Manado ini.
1 comment:
Menarik juga tulisan ibu, memang amdal saat ini hanya bersifat administratif semata. kajian mendalam tentang telahaan kritis jauh dari harapan. Saya tertarik dengan tulisan ibu dan pingin diskusi lebih jauh lagi. kalo ada no kontak aku minta ya. saat ini aku posisi di ternate mungkin bisa share menyangkut masalah lingkungan
Post a Comment