Tuesday, August 08, 2006

PERILAKU MANUSIA DIRUBAH OLEH KONDISI LINGKUNGAN HIDUPNYA

Oleh: Veronica A. Kumurur

“Sulit sekali merubah perilaku orang, tetapi yang paling mudah adalah merubah lingkungan, dan apabila lingkungan berubah maka orang akan mudah merubah perilakunya�, suatu pernyataan yang bijaksana (menurut saya) dalam upaya mencari jalan keluar (solusi) di tengah kemelut berbagai persoalan lingkungan hidup yang makin kusut saja.


Mari kita lihat beberapa contoh dari pernyataan di atas, bagaimana perilaku manusia dirubah oleh kondisi lingkungan hidupnya. Orang Indonesia pada umumnya jika dia berada di negaranya (atau di daerahnya masing-masing) tak mau antri di dalam menunggu sesuatu, tak mau membuang sampah pada tempatnya, tak mau menggunakan jembatan penyeberangan saat menyeberang jalan, tak mau menjadi pengemudi yang santun di jalanan. Sehingga seringkali kita melihat situasi yang semrawut, sampah-sampah berserakan, orang-orang menyeberang jalan tanpa aturan, kendaraan umum yang ugal-ugalan tak tau aturan di dalam berlalu-lintas, sampah-sampah berserakan, cekcok dan rasa tak nyaman gara-gara tak antri. Situasi ini sering kita lihat di kota-kota besar di Indonesia, seperti juga kota Manado saat ini. Situasi lingkungan perkotaan yang terjadi di kota ini adalah hasil dari suatu akal sehat bersama yang cenderung berbentuk aksi negatif. Kondisi tersebut sangat memalukan diri sendiri, apalagi dilihat oleh bangsa lain yang sedang berkunjung ke daerah kita. Dan yang paling penting situasi ini membuat tak nyaman bagi masyarakat kota ini yang masih mau mengikuti aturan.

Nah, mari kita lihat perilaku orang-orang Indonesia (umumnya), apabila berada di luar negara Indonesia, seperti di negara tetangga Singapura (contoh). Mereka melakukan tindakan/aksi yang positif dimana semuanya pada “nurut� atau patuh dengan situasi negara ini. Harus antri untuk menunggu apa saja seperti menunggu taksi, antri di toko, dll, pokoknya semuanya mesti antri. Dilarang meludah di lantai, dilarang buang sampah sebab akan dikenakan denda. Tak ada satupun orang Indonesia bahkan orang Manado barangkali yang ingin mencoba di denda di Singapura (misalkan) gara-gara menyeberang sembarangan atau meludah dan membuang sampah sembarangan. Selain mahal bayarannya, juga ada rasa malu terhadap tuan rumah negara itu. Begitulah, perilaku orang-orang Indonesia (termasuk di dalamnya orang dari Sulawesi Utara) yang dengan cepat beradaptasi membentuk perilaku yang baik mereka di negara orang. Ternyata yang namanya orang Indonesia termasuk didalamnya orang Sulawesi Utara itu umumnya bisa diajak teratur di negeri orang dan ini suatu yang sangat luar biasa (fantastik). Mengapa demikian? Ya, pasti ada sesuatu yang membuat manusia-manusia itu melakukan perubahan-perubahan tersebut. Menurut S. Kaplan dalam buku Psikologi Lingkungan (Sarwono, 1992) bahwa manusia itu pada dasarnya adalah mahkluk yang berakal sehat (man is reasonable person). Sebagai makhluk berakal sehat, maka ia selalu ingin menggunakan akal sehatnya, namun ia tidak selalu dapat melakukannya.

Hal ini bergantung pada faktor yang mempengaruhinya seperti situasi dan kondisi lingkungan. Masih menurut S. Kaplan bahwa manusia sebagai makhluk berakal sehat berbeda dari manusia sebagai makhluk rasional. Selanjutnya menurut Prof. Sarlito Wirawan Sarwono (pakar psikologi) bahwa rasio tidak bergantung pada situasi, sedangkan akal sehat bergantung pada situasi. Sebagai makhluk rasional, misalkan manusia tahu apabila membuang sampah sembarangan, ia akan mengotori lingkungan dan hal ini berlaku dimana saja dan kapan saja. Namun, jika manusia itu kebetulan sedang berada di tempat yang memang sudah kotor dan penuh dengan sampah, akal sehatnya berkata bahwa tidak apalah ia menambah sedikit sampah lagi di tempat itu daripada dia harus membawanya ke tempat sampah yang belum tentu ada di sekitar tempat itu.

Apabila ia berada di suatu tempat yang memang terjaga kebersihannya, akal sehatnya akan mengatakan bahwa tidak layak ia mengotori tempat itu walau hanya dengan setitik abu. Tempat sampah sudah tersedia disitu sehingga manusia dengan akal sehatnya membuang sampah pada tempatnya.

Beberapa contoh yang kita lihat di Singapura (salah satu negara contoh), lingkungan perkotaannya memperhatikan akal sehat manusianya, dimana pemerintah negara ini sengaja menyediakan sarana-sarana yang mendukung aturan-aturan yang mereka buat. Ada “zebra cross� yang kira-kira berjarak 100 meter melintas di jalan raya “Orchard Road� sebagai area tempat menyeberang untuk menunjang disiplin bagi pejalan kaki. Ada tempat-tempat sampah yang disiapkan disana untuk menunjang aturan kebersihan lingkungan. Ada ruang khusus bagi perokok baik di kotanya maupun di tempat-tempat pusat keramaian untuk menunjang “saling menghormati orang lain� didalam mendapatkan hak udara bersih. Ada tulisan “Please Queue�/silahkan antri dan ada lintasan khusus untuk itu. Ada jalan-jalan khusus di “High way�/jalan tol-nya yang bertuliskan “Keep Left�/silahkan ambil jalur kiri bagi truk-truk, dan jalur itu jelas bagi pengemudinya. Tidak ada satupun yang tidak “Keep Left� sebab ada sanksi disana. Semua itu menunjang suatu kesepakatan bersama dalam berdisiplin. Akal sehat mereka dilatih untuk melakukan aksi positif yang menguntungkan orang banyak.

Melatih memiliki kesadaran dan sportifitas apabila telah berbuat kesalahan atau penyimpangan terhadap kesepakatan yang sudah disetujui. Satu contoh, ada teman saya (warganegara Singapura) yang sengaja membayar sekian dollar Singapura yang dimasukkan pada satu kotak yang tersedia, sebab dia sadar sudah melewati kecepatan kendaraan yang telah ditentukan oleh pemerintah negaranya dan ia harus membayar denda. Dia tidak mau menunda membayarnya, sebab jika ia terlambat ia dengan mudah diketahui dan dia akan mendapatkan sanksi lebih berat sebab nomor plat mobilnya sudah otomatis tercatat melalui kamera-kamera yang terpasang di jalan raya. Tak heran, jika berkunjung di negara ini, polisi yang berkeliaran hanya cukup dihitung dengan jari tangan saja, mungkin karena masyarakatnya kurang melakukan pelanggaran.

Ada situasi fisik yang terlihat dan langsung mengatur gerak-gerik atau perilaku manusia-manusianya. Saling percaya disana dan terlebih saling menghormati hak hidup orang lain dan hak mendapatkan sumberdaya alam tercipta akibat lingkungan fisik yang teratur. Tidak ada yang main curang disana, yang sengaja mencari-cari kesalahan masyarakat disana hanya untuk mendapatkan tambahan pendapatan kota atau negara. Umumnya semuanya patuh, karena mereka sangat merasakan akibat kepatuhannya. Negara dan kota mereka menjadi baik, tertata rapih, indah dan sehat. Tak heran jika mereka mendapatkan predikat kebersihan “Mr. Clean of Asia�. Jadi ada aturan disana, ada sanksi bagi pelanggar aturan dan semua itu (aturan & sanksi) di tunjang oleh kelengkapan fisik (sarana-sarana) lingkungan tersebut.

Kembali ke negara kita Indonesia atau langsung saja kita ke kota Manado (misalkan), kota kecil yang semakin marak saja pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, dan semakin marak pula pengrusakan lingkungan dan pelanggaran-pelanggaran di berbagai sektor. Orang-orang yang patuh di negara orang (seperti Singapura) yang baru pulang, kini berbondong-bondong melakukan pelanggaran, membuang sampah dimana-mana, melakukan pengrusakan jalan-jalan raya melalui truk-truk yang mengangkut tanah-tanah bakal urugan ke laut untuk keperluan usaha pribadinya, melanggar jam-jam angkut tanah yang sudah disepakati (malam hari), dan melakukan tindakan-tindakan kompromi yang merugikan masyarakat, merampas hak masyarakat terhadap sumberdaya alam, masyarakat menyeberang sembarangan di jalan-jalan raya tanpa ada rasa takut, meludah di sembarangan tempat, buang air kecil di sembarangan tempat (umumnya dilakukan kaum lelaki, maaf), sengaja mengotori depan rumah orang dengan tumpukan sampah, parkir sembarangan di jalan raya yang mengakibatkan macet, mengotori sungai-sungai dengan kotoran-kotoran ternak dan sampah, menebang pohon-pohon peneduh, “menyegat� taksi dan kendaraan umum di sembarang tempat, merokok di ruang AC tak peduli apa akibatnya bagi yang tidak merokok dan menghirup asapnya. Begitulah yang terjadi di kota Manado, semuanya serba bisa dilakukan dan umumnya akal sehat masyarakatnyapun seolah menyetujui kondisi ini. Tak ada aturan lagi rasanya.

Masyarakat terkena sindrom “cuek� atau tak peduli lagi dengan sekelilingnya. Semua menjadi hal yang biasa dan layak dilakukan. Mengapa demikian? Ya, karena yang ada di kota Manado hanyalah aturan dan sanksinya yang “½ matang� atau kurang jelas dan tidak “membumi� dibuatnya atau cenderung “asal ada saja�. Aturan-aturan tersebut belum ditunjang dengan pembentukan lingkungan fisik, misalkan tidak adanya lokasi tempat menyeberang yang benar dan direncanakan, tidak memiliki jembatan penyeberangan, tidak memiliki halte yang memadai yang dirancang dengan perhitungan matang, tidak memiliki terminal yang terencana baik, tidak memiliki “guidelines/penuntun� bagi pemanfaatan lahan kota Manado, tidak digunakannya aturan bagi pengusaha lahan penimbunan pantai Manado dan tidak memiliki aturan-aturan yang siap dilaksanakan atau “applicable’ bagi masyarakat kota ini. Tidak siknifikan sanksi langsung bagi masyarakat kota ini (pemerintah, rakyat dan pelaku ekonomi) terhadap pelanggaran aturan-aturan yang ada . Semuanya tidak teratur, itulah yang membentuk perilaku “cuek-bebek/tidak peduli sama sekali� masyarakat kota ini terhadap lingkungan sekitarnya. Kalaupun ada yang peduli, seringkali menjadi orang aneh di tempat ini, dan seolah orang yang peduli itu tak lagi memiliki akal sehat karena telah tertutup oleh akal sehat orang yang tak peduli yang jumlahnya masih lebih banyak dibandingkan yang peduli.
Masyarakat membentuk dirinya melalui proses penyesuaian diri yang begitu hebatnya, sehingga situasi yang semrawut ini membuatnya bisa hidup dan “survive� padahal kondisi fisik lingkungannya sangat tidak sehat lagi. Berdasarkan teori bahwa manusia masih mempunyai kecenderungan untuk selalu mengerti lingkungan dimana ini merupakan salah satu ciri utama manusia sebagai makhluk berakal sehat (S. Kaplan dalam Sarwono 1992) maka kita masih mempunyai harapan untuk membenahi lingkungan hidup kota Manado dan Sulawesi Utara.

Menurut Baker dalam buku Sarwono.W (1992) bahwa tingkah laku tidak hanya ditentukan oleh lingkungan dan sebaliknya, melainkan kedua hal itu saling menentukan dan tidak dapat dipisahkan, teori ini sering membuat kita bingung di dalam mengambil keputusan dimana kita akan memulai melakukan pembenahan ibarat teori “ayam dan telur�, mana duluan. Teori yang sering berkonotasi “mencari kambing hitam� didalam penyelesaian permasalahan.

Namun, tanpa melupakan siapa penyebab kerusakan lingkungan hidup di kota Manado dan bahkan di Sulawesi Utara, mari kita menatap kedepan, mencari solusi, mencari “point�awal untuk memulai pembenahan. Saya mengusulkan untuk memilih “point� memperbaiki lingkungan hidup saja dulu daripada memilih memperbaiki perilaku. Di dalam pembenahan lingkungan hidup ini kita memilih sub-lingkungan buatan (fisik) kota Manado saja, dimana tujuan kita adalah membenahi lingkungan fisik yang dilengkapi oleh aturan-aturan dan sanksi yang akan memberikan perubahan perilaku (behaviour) seluruh masyarakat penghuni kota ini.

Merubah perilaku masyarakat kota Manado maupun Sulawesi Utara yang pada umumnya tak hanya patuh/“nurut�, menghormati aturan dan menjaga lingkungan hidup bangsa/negara orang lain, tetapi juga melakukan sikap positif tersebut di negerinya sendiri. Berdasarkan pengamatan dibeberapa tempat, di beberapa negara dan berdasarkan referensi serta teori-teori yang dibaca, bahwa membenahi lingkungan tempat kita hidup merupakan hal yang tak sulit dibandingkan dengan membenahi atau me�luruskan� langsung sifat atau perilaku masyarakatnya.

Jadi ayo! Marilah kita mulai bersepakat membenahi “point� lingkungan hidup kota Manado. Saatnya kini, kita mesti mulai, jangan menunda lagi sebab kerusakan lingkungan hidup terus saja terjadi yang tentunya bakal merusak perilaku masyarakat kita juga (saat ini dan masa datang).

No comments: