Saturday, April 30, 2011

EROSI & EUTROFIKASI MENGANCAM EKOSISTEM PERAIRAN DANAU TONDANO

Veronica A. Kumurur

Danau Tondano, hingga kini masih saja dilingkupi persoalan yang mengancam keberlanjutan ekosistemnya. Padahal, fungsi lingkungan perairan danau Tondano masih sangat penting bagi kehidupan masyarakat kabupaten Minahasa dan kota Manado. Danau Tondano sebagai penyedia air tanah masyarakat sekitarnya serta sebagai sumber air minum bagi Kabupaten Minahasa, Kota Manado dan ke depan direncanakan untuk mensuplai air minum ke kota Bitung. Juga, menjadi penggerak turbin pembangkit listrik tenaga air untuk menghasilkan listrik bagi masyarakat Minahasa dan Kota Manado (PLTA Tonsea Lama, Tanggari I, Tanggari II dan rencana PLTA Sawangan). Sedangkan secara ekonomi, perairan Danau berfungsi sebagai lokasi budidaya perikanan karamba jaring apung/KJA (floating net cages) dan karamba tancap (pen culture) dengan produksi sekitar 5000 ton ikan per tahun. Sebagai sumber irigasi bagi 3000 ha sawah di Kabupaten Minahasa. Secara alami, Danau Tondano dan sekitarnya merupakan suatu rangkaian landscape yang indah dan secara sosial memberikan jasa keindahannya bagi siapa saja yang datang menikmatinya.

Namun permasalahan yang mengancam keberadaan ekosistem perairan ini terus saja meningkat. Pendangkalan, penurunan debit air serta penurunan kualitas air menjadi persoalan utama ekosistem perairan Danau Tondano. Kondisi ini berakibat pada kelangsungan danau dan makhluk hidup di danau dan di sekitar danau. Faktor utama penyebab rusak dan terancamnya keberadaan ekosistem Danau Tondano, yaitu: erosi dan pengkayaan unsur hara (eutrofikasi).

Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami, yaitu air atau angin. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan pada suatu tempat lain. Erosi sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: (a)erosivitas; dan (b)erodibilitas. Di mana erosivitas sangat dipengaruhi oleh iklim, sedangkan erodibilitas dipengaruhi oleh sifat fisik tanah (tanah) dan pengelolaan tanah dan tanaman (topografi, vegetasi dan manusia).

Menurut Hasil penelitian Gunawan & Kusminingrum (diunduh 16 Agustus 2010) bahwa tingkat erosi permukaan tanah yang sangat tergantung pada tingkat kemiringan lereng, kepadatan tanah dan tingkat kerimbunan tanaman penutup. Danau Tondano merupakan danau ketegori kecil dan dangkal (10-50 meter). Danau ini merupakan bagian dari DAS Tondano (watershed), yang menampung air dari area tangkapan air yang terbuka dengan luas water body (badan air danau) 4.396 ha. Dari hasil survei citra Landsat 2009, diperoleh: total luasan DTA yaitu 25.925 ha, di mana kondisi tutupan lahan di Daerah Tangkapan Air (DTA) di dominasi oleh kawasan budidaya yang terdiri atas: 5% perumahan (1.197ha), 12% sawah (3.188 ha), 28% perkebunan campuran (7.326 ha), dan 23% hortikultura (5.983 ha). Sedangkan kawasan lindung yang berbentuk hutan hanya sekitar 28% atau 7.345ha.

Dari data tutupan lahan di kawasan sekitar badan air Danau Tondano yang didominasi oleh kawasan budidaya yang cenderung meningkat luasnya, dapat diprediksi akan semakin tinggi erosi yang bakal terjadi. Berkurangnya penutupan lahan oleh vegetasi terutama di lahan-lahan miring sering mengakibatkan laju aliran permukaan dan erosi meningkat. Laju aliran permukaan dan erosi dipengaruhi oleh derajat keterbukaan dan cara-cara pengolahan tanahnya. Partikel-pertikel tanah yang terbawa melalui proses erosi, selain memindahkan tanah dari satu tempat ke perairan danau Tondano dan akhirnya menjadi sedimen, juga mengakibatkan peningkatan unsur hara pada badan air. Unsur hara ini telah mempercepat proses eutrofikasi di perairan danau Tondano.

Eutrofikasi adalah suatu rangkaian proses dari sebuah danau yang bersih menjadi berlumpur akibat pengkayaan unsur hara tanaman dan meningkatnya pertumbuhan tanaman. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) telah mencirikan eutrofikasi sebagai “ pengkayaan unsur hara (nutrien) pada badan air yang menyebabkan rangsangan suatu susunan perubahan simptotik yang meningkatkan produksi ganggang dan makrofit, memburuknya perikanan, memburuknya kualitas air serta menganggu penggunaan air”.

Proses pengkayaan (eutrofikasi) danau dapat terjadi secara alamiah maupun secara kultural. Menurut Connell & Miller, 1995 dalam bukunya Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, bahwa proses eutrofikasi alamiah terjadi akibat adanya aliran masukan yang membawa detritus tanaman, garam-garam, pasir dan disimpan dalam badan air selama waktu geologis. Sedangkan eutrofikasi kultural diakibatkan oleh peningkatan kegiatan manusia yang terjadi di sepanjang daerah aliran sungai masuk (inlet) ke perairan danau misalnya; pengolahan tanah pertanian secara intensif, penggunaan pupuk dan pembuangan limbah rumah tangga. Proses ini akan menjadi sebuah masalah jika tidak dikendalikan. Seperti yang terjadi pada perairan Danau Tondano, di mana tidak saja eutrofikasi alamiah yang terjadi, tetapi juga eutrofikasi kultural, seperti dimanfaatkannya badan air sebagai lahan budidaya ikan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar danau Tondano. Dari hasil penelitian Suryadiputra dkk (2010), diperoleh bahwa Keramba Jaring Apung (KJA) dan Karamba tancap pada tahun 2001, total sekitar 2500 unit; dan tersebar di Desa Eris (2078 unit), di Desa Kakas (350 unit) dan di Desa Remboken (40 unit).

Selain itu pula pengalihfungsian lahan dari lahan lindung menjadi lahan budidaya sangat memberikan kontribusi peningkatan konsentrasi fosfor melalui penggunaan pupuk di lahan pertanian seluas 53% yang terdiari atas: sawah, perkebunan campuran, dan hortikultura. Sebagai contoh: dari hasil penelitian Kumurur (1998) yang dilakukan di Kawasan Sekitar Danau Mooat, diperoleh bahwa akibat pengalihan fungsi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya di kawasan sekitar Danau Mooat, telah terjadi peningkatan konsentrasi fosfor 163 kali lebih besar dalam lima tahun terakhir (periode 1993-1998) dibandingkan pengukuran pada periode enam tahun sebelumnya (1987-1993). Fosfor tersebut banyak dihasilkan dari lahan pertanian akibat penggunaan pupuk. Unsur kimia inilah yang paling bertanggungjawab dalam proses eutrofikasi (pengkayaan unsur hara) pada badan air danau, seperti danau Mooat dan danau Tondano saat ini. Pengkayaan unsur hara dan peningkatan eutrofikasi akan mengakibatkan terganggunya dan terancam keberadaan ekosistem perairan danau Tondano.

Pengaruh utama dari peningkatan eutrofikasi adalah berkurangnya oksigen yang terlarut. Unsur hara (nutrien) ini akan terus meningkat melalui erosi serta melalui pemberian makanan pada ikan-ikan (jaring apung). Hal seperti inilah yang mempercepat terganggunya keseimbangan alami perairan. Semakin kaya unsur hara (nutrien) pada badan air, maka tanaman air akan semakin subur, padat dan menutupi permukaan perairan danau. Perairan danau semakin keruh akibat padatnya tanaman-tanaman air tersebut, yang akhirnya menyulitkan sinar matahari menembus perairan danau. Pada akhirnya pembusukan tanaman air semakin meningkat dan akan meningkatkan sedimentasi yang secara pasti menjadi penyebab pendangkalan perairan Danau Tondano.

Jadi erosi dan eutrofikasi (khususnya eutrofikasi kultural) adalah dua hal penting yang menyebabkan ekosistem perairan danau Tondano semakin kritis. Perlu penataan wilayah daerah tangkapan air (DTA) serta pengendalian kegiatan manusia. Jika tidak ditata kembali wilayah kawasan sekitar Danau Tondano, serta mengendalikan pemanfaatan badan air danau, maka suatu waktu Danau Tondano akan mencapai suksesi, dari perairan menjadi daratan.

Penulis:

*Dosen Prodi Perencanaan Wilayah & Kota, Prodi Aristektur, Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi



(telah dipublikasi di Harian Manado Post tgl 30 April 2011)

Sunday, March 20, 2011

Makna Catatan Sejarah Gempa Bumi dan Tsunami bagi Pengembangan Wilayah Kota-kota Di Sulawesi Utara

Catatan paling anyar, tahun 2011 tanggal 11 Maret gempa bumi berkekuatan 8,9 SR yang diikuti tsunami memporak-porandakan kota-kota di sepanjang pantai Utara Jepang, termasuk kota Sendai, ibukota Prefektur Miyagi, Jepang. Bencana tersebut telah melumpuhkan seluruh aktifitas manusia serta menghancurkan infrastruktur kota-kota tersebut. Kota Sendai misalnya, merupakan kota bisnis dan pusat industri yang padat penduduk (lebih dari 2-3 juta penduduk) ini terletak di pesisir pantai utara Jepang dan di antara Sungai Nanakita dan Sungai Hirose-Gawa. Kota Sendai sebagai “a brach-office-based economy city”, yang memiliki hampir 50% dari jumlah populasi masyarakat bekerja di sektor jasa ekonomi. Dapat dibayangkan betapa sibuknya aktifitas kota pesisir ini. Namun kini, kota pesisir ini hancur diterjang tsunami dengan kecepatan beratus-ratus km/jam.

Usai peristiwa ini, Tokyo Broadcasting System (TBS) melaporkan
sedikitnya 1400 tewas dan 530 hilang di enam prefektur. Dua kereta penumpang dengan jumlah penumpang yang tidak diketahui menghilang di daerah pantai selama bencana tsunami. Sebuah kapal yang mengangkut 100 orang terbawa oleh tsunami. Bandar Udara Internasional Narita dan Bandar Udara Haneda menghentikan operasi setelah gempa. Berbagai jasa kereta api di seluruh Jepang dibatalkan. Sejumlah pembangkit listrik tenaga nuklir dan konvensional dimatikan setelah gempa. Sebuah kilang minyak terbakar akibat gempa di Ichihara, Prefektur Chiba di timur Tokyo. Terancamnya kebocoran material radioaktif pada pembangkit listrik tenaga nuklir, di mana telah membuat kuatir sekitar 5800 masyarakat yang tinggal 3 km (2mil) dari reactor Fukushima Dai-Ichi ini.

Betapa dasyat perusakan ini, sehingga menambah deretan catatan penting dalam sejarah tentang daya rusak gempa bumi dan tsunami dalam kehidupan manusia di dunia. Catatan penting lain dari daya rusak gempa bumi disertai tsunami ini telah terekam sejak tahun 1775 hingga kini.



Sejarah Gempa dan Tsunami di Dunia

Tahun 1775, di Kota Liboa ibukota Portugal, t
sunami menghancurkan kota dan menelan 60.000 korban jiwa. Tahun 1883 tanggal 26 Agustus, letusan Gunung Krakatau (perairan Laut Jawa) telah mengakibatkan tsunami yang dahsyat. Ketika gelombangnya menyapu pantai Lampung dan Banten, kira-kira 5000 kapal hancur dan menenggelamkan banyak pulau kecil. Gelombang setinggi 12 lantai gedung ini, kira-kira 40 m, menghancurkan hampir 300 perkampungan dan menewaskan lebih dari 36000 orang.

Tahun 1960
tanggal 22 Mei 1960, Chili diguncang gempa 9,5 SR yang diikuti oleh tsunami yang merusak tempat tinggal dan harta benda lebih dari 2000 orang. Tsunami di Chile telah mengakibatkan kerusakan di bagian wilayah Hawaii (61 orang tewas) dan wilayah Jepang (122 orang tewas).

Tahun 2004 tanggal 26 Desember, gempa bumi dasyat dengan kekuatan 9 SR di kedalaman 30 km dasar laut sebelah barat-daya Aceh membangkitkan gelombang tsunami dengan kecepatan awal sekitar 700 km/jam. Gelombang ini menjalar ke segala arah dari pusat tsunami dan menyapu wilayah Aceh dan Sumatera Utara dengan kecepatan antara 15 - 40 km per jam dan tinggi gelombang 2 hingga 48 meter. Dalam 3 jam setelah gempa bumi, negara-negara di kawasan Samudera Hindia juga terkena tsunami.
Gempa yang mengakibatkan tsunami ini menyebabkan sekitar 230.000 orang tewas di 8 negara. Bencana ini merupakan kematian terbesar sepanjang sejarah. Indonesia, Sri Langka, Inda, dan Thailand merupakan negara dengan jumlah kematian terbesar. Puluhan gedung hancur oleh gempa utama, terutama di Meulaboh dan Banda Aceh di ujung Sumatra. Di Banda Aceh, sekitar 50% dari semua bangunan rusak terkena tsunami. Tetapi, kebanyakan korban disebabkan oleh tsunami yang menghantam pantai barat Aceh dan Sumatra Utara.

Tahun 2006 tanggal 17 Juli, terjadi gempa yang menyebabkan tsunami terjadi di selatan pulau Jawa, Indonesia, dan setinggi maksimum ditemukan 21 meter di Pulau Nusakambangan. Bencana ini menelan korban jiwa lebih dari 500 orang.


Tahun 2007 tanggal 12 September, gempa bumi Bengkulu yang merupakan
rangkaian gempa yang terjadi di Palung Jawa, di mana gempa awal memiliki kekuatan 7.9 SR. Gempa utama tersebut juga disusul dengan gelombang pasang (tsunami) yang kemudian membanjiri sedikitnya 300 rumah penduduk dan bangunan publik di Pulau Pagai, Kepulauan Mentawai sampai setinggi 1 meter.

Tahun 2010 tanggal 27 Februari, gempa bumi di Chili dengan kekuatan 8,8 SR di lepas pantai ConcepciĆ³n, Chili. Gempa yang m
enyebabkan tsunami dengan ketinggian 2.34 m menghantam Talcahuano, sebuah kota pelabuhan bagian dari wilayah ConcepciĆ³n. Tsunami menyebabkan kerusakan serius untuk fasilitas pelabuhan dan kapal tersapu gelombang. Gempa bumi terjadi di perbatasan antara Lempeng Nazca dengan Lempeng Amerika Selatan terasa hingga di ibukota Chili, Santiago, dan beberapa kota di Argentina. Tsunami ke 3 merusak kota nelayan Dichato, yang memiliki 7000 penduduk.

Tahun 2010 tanggal 25 Oktober, g
empa bumi terjadi di Kepulauan Mentawai dengan magnitudo gempa 7,5 SR. Gempabumi ini diikuti tsunami setinggi 3-10 meter dan mengakibatkan 77 desa hancur dan 286 orang dilaporkan tewas, luka parah dan ringan 200 orang, serta 252 orang lainnya dilaporkan hilang.

Mencemaskan, jika kota tersebut padat dan tak memiliki daratan yang lebih tinggi untuk dicapai. Apalagi, system peringatan dini (early warning system) akan datangnya tsunami tidak berfungsi baik. Yang pasti hanyalah waktu yang dapat melawan kecepatan gelombang tsunami tersebut. Kecepatan untuk menyelematkan diri harus lebih cepat dari gelombang monster tsunami ini, jika kita ingin selamat. Jika kita harus berhadapan dengan monster ini, kita harus mencari dataran atau bangunan tinggi, lebih tinggi dari terjangan gelombang tsunami ini.


Apa makna dari catatan sejarah ini?


Bahwa membuat bangunan-bangunan tahan gempa tidak sulit dan dapat dihitung, selama gempa bumi itu tak menghidupkan tsunami. Gempa bumi yang berpotensi tsunami inilah yang sulit dihitung dan sulit diduga kedatangan dan kekuatannya. Pada umumnya kota-kota besar di kawasan pesisir yang diterjang tsunami mengalami kerusakan bangunan-bangunan dan infrastruktur perkotaan yang parah dan memakan korban manusia yang sangat banyak.


Tragisnya, perkembangan kota-kota di Indonesia berawal di kawasan pesisir pantai, tak terkecuali kota Manado, Kota Bitung dan perkotaan di Minahasa. Hal ini memang karena kondisi geografis negara ini yang berbentuk kepulauan. Hingga kini, peruntukkan pusat-pusat bisnis dan ekonomi selalu diletakkan berdekatan dengan pelabuhan (port), seperti yang terjadi di kota-kota di propinsi Sulawesi Utara. Kecederungan perkembangan wilayah kota-kota sedang di Indonesia mengikuti kota-kota besar dan maju, tanpa melihat posisi geografisnya. Padahal, masing-masing kota memiliki posisi geografis tertentu dengan potensi dan resiko tertentu pula.


Memelajari kejadian-kejadian gempa bumi dan tsunami ini, dan melihat posisi geografis kota Manado, maka kita sangat sulit memprediksi datangnya serangan tsunami. Yang paling bisa dilakukan adalah mengetahui jalur-jalur gempa berpotensi menghidupkan tsunami yang melewati wilayah perkotaan kita. Sehingga, dapat dilakukan upaya untuk menghindarkan masyarakat perkotaan dari terjangan tsunami
.

Berdasarkan hasil pencatatan tentang gempa-gempa tektonik yang terjadi di dunia, terdapat 3 (tiga) Jalur gempa bumi, dimana Indonesia dilalui oleh 2 (dua) jalur tersebut. Dua jalur tersebut, adalah: (1)j
alur Sirkum Pasific ( Circum Pacific Belt ), antara lain melalui daerah-daerah Chili, Equador, Caribia, Amerika Tengah, Mexico, California, Columbia, Alaska, Jepang, Taiwan, Philipina, Indonesia (Sulawesi Utara, Irian), Selandia Baru, dan negara-negara Polinesia; dan (2) Jalur Trans Asia ( Trans Asiatic Belt ), antara lain melalui daerah-daerah Azores, Mediterania, Maroko, Portugal, Italia, Rumania, Turki, Irak, Iran, Afganistan, Himalaya, Myanmar, Indonesia (Bukit Barisan, Lepas pantai selatan P. Jawa, Kep. Sunda Kecil, Maluku).

Jadi, dari pengetahuan ini, apakah membangun central business district (CBD) kota Manado dengan menambah lahan menjorok ke laut (reklamasi) harus terus dilakukan? Apakah Kabupaten Minahasa harus terus membangun kawasan perkotaannnya dengan melakukan reklamasi pantai Minahasa? Bukankah yang sedang dibangun saat ini adalah sarana mengumpulkan orang dalam jumlah yang banyak? Bagaimana pula jika monster berlidah gelombang panjang ini tiba-tiba datang menjulur dengan kecepatan ratusan km/jam? Sempatkah masyarakat yang terkumpul di suatu pusat bisnis berlari lebih cepat dari monster tsunami untuk menghindari terjangannya?


Menyadari posisi geografis kota Manado dan provinsi Sulawesi Utara, yang terletak di jalur sirkum Pasific (Circum Pacific Belt), mengapa pengembangan wilayah Kota Manado ke depan tidak menjauhi bibir pantai? Jarak tertentu dari bibir pantai dijadikan kawasan tertentu yang bukan sarana mengumpulkan manusia yang banyak dalam satu waktu. Dengan konsep demikian, kota ini telah menyelamatkan manusia-manusianya, sekaligus habitat perairan pantainya. Belum ada kata terlambat dalam mendisain kembali wilayah perkotaan di Propinsi Sulawesi Utara. Disain yang lebih mempertimbangkan keamanan terhadap potensi amukan tsunami dan demi untuk keselamatan seluruh masyarakat Propinsi Sulawesi Utara.


Penulis:

Dosen Prodi Arsitektur dan Prodi Perencanaan Wilayah & Kota, Fakultas Teknik, Universitas Sam Ratulangi, Manado


(Tulisan ini telah dipublikasi di kolom opini Harian Komentar Manado, tgl 17-18 Maret 2011)