Thursday, March 27, 2014

KONSEP “SUPERMARKET” DALAM PENGEMBANGAN DESTINASI PARIWISATA


Oleh: Freddy Rompas *)
Indonesia masih merupakan destinasi pariwisata yang penting di dunia, karena Indonesia dianggap baik oleh dunia, di mana harga akomodasi dan wisata sangat bersaing dengan negara-negara tetangganya.

Dari daerah tujuan wisata atau destinasi pariwisata yang ada, Indonesia masih memiliki banyak pantai dan titik menyelam serta tempat wisata adrenalin. Sehingga, melalui poling WAYN, saat ini Indonesia dipilih oleh 9000 traveler sebagai situs jejaring sosial travel terbesar di dunia. Situs ini menampilkan destinasi-destinasi wisata di seluruh dunia dan menjadi tempat berkumpulnya traveler-traveler dari berbagai negara. Dan baru saja Indonesia masuk dalam penerima penghargaan terbaik dan mengesankan dari 11.000 stan pameran dalam Bursa Pariwisata Internasional atau Internationale Tourismus Bourse (ITB) 2014 di Berlin. Pameran ini diikuti oleh 11.000 peserta yang terdiri atas 188 negara dan dikunjungi oleh lebih dari 170.000 pengunjung (110.000 trade visitors dimana 43% dari luar Jerman dan 60.000 consumers).

Saatnya kepariwisataan Indonesia dijadikan “leading sector”, ungkap Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia Mari Elka Pangestu saat membuka seminar Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) bertajuk ‘Geo Politik Pariwisata Indonesia 2014 dalam Menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015′, pada Kamis (27/2/2014) di Hotel Merlyn Park, Jakarta. Pernyataan ini, diperkuat fakta bahwa posisi industri pariwisata menempati urutan keempat sebagai penghasil devisa terbesar di Indonesia setelah sektor pertambangan dan pertanian/perkebunan. Fakta ini membuktikan bahwa Indonesia sangat memiliki pasar yang potensial dalam pengembangan industri pariwisata. Industri pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata. Industri pariwisata bukanlah industri yang berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu industri yang terdiri atas serangkaian perusahaan yang menghasilkan jasa atau produk yang berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan itu tidak hanya dalam jasa yang dihasilkan, tetapi juga dalam besarnya perusahaan, lokasi tempat kedudukan, bentuk organisasi yang mengelola dan metode atau cara pemasarannya.

Indonesia memiliki 16 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional dan hingga saat ini negara kita memiliki lebih dari 100 “hidden paradise”, lokasi yang belum banyak tersentuh karena aksesibilitasnya terbatas, serta belum terkelola baik. Ada yang masih dikelola secara konvensional dan ada pula yang sudah dikelola secara moderen dengan menggunakan konsep-konsep pengelolaan tertentu. Model pengelolaan destinasi pariwisata inilah yang membuat kualitas berbeda berbeda satu dengan yang lain. Dalam mengelola suatu destinasi pariwisata tidak melibatkan para pelaku ekonomi (pihak swasta) saja, tetapi juga melibatkan pemerintah dan masyarakat setempat.

Sudah saatnya, pemerintah dan pihak swasta mengelola destinasi Pariwisata di Indonesia secara intensif. Dan menurut pengamatan saya, analogi pengelolaan “supermarket” dapat digunakan dalam mewujudkan kerjasama pihak swasta dan pemerintah dalam mengembangkan industri pariwisata di Indonesia. “Supermarket” atau “toko serba ada” adalah toko yang menjual apa saja yang kita butuhkan sehari-hari. Terdapat 4 elemen penting dalam pengelolaan suatu supermarket, yaitu: (1) lokasi dan bangunan; (2) produk yang akan dijual; (3) staf penjualnya dan (4) pemasaran (marketing). Dalam pengelolaan supermarket, juga melibatkan pemilik gedung (owner) dan para distributor (produsen) berbagai barang yang dititipjualkan.

Lokasi dan Bangunan

Lokasi sangat menentukan dari segi aksesibilitas sedangkan bangunan sangat menentukan visualitasnya. Jika lokasi mudah dicapai, serta bangunannya menarik, maka supermarket akan menarik perhatian banyak orang yang lewat. Demikian pula dengan suatu destinasi wisata, dapat disamakan dengan bangunan dan lokasi. Potensi wisata yang ada harus memiliki daya tarik, dan mudah di akses. Jika bangunan supermarket yang indah berlokasi di area yang susah dijangkau, maka akan sulit mendapatkan pengunjung.
Demikian pula dengan pariwisata, kita memiliki destinasi yang luar biasa indah, tapi untuk mencapainya sangat sulit, maka pengunjung yang akan datang pun sangat terbatas. Siapa yang semestinya menyediakan destinasi wisata ini? Tentu saja pemerintah yang sangat paham terhadap potensi wilayahnya, yang sekaligus sebagai penguasa wilayah di mana lokasi destinasi itu berada.

Elemen Produk

Produk, adalah apa yang dijual didalam supermarket. Produk-produk tersebut haruslah yang menarik dan betul-betul dibutuhkan. Produk-produk yang dijual di supermarket, biasanya menggunakan sistem konsinyasi (titip jual), di mana produk-produk tersebut dititip jualkan oleh berbagai produsen.
Demikian pula dengan industri pariwisata, produk industri wisata adalah: hotel, restoran, dan atraksi wisata. Produk-produk ini sangat dibutuhkan dan tentunya harus dikemas sedemikan rupa, agar menarik untuk dijual. Seperti halnya bangunan supermarketnya sudah berada di lokasi yang mudah di capai serta memiliki bangunan yang megah dan menarik, jika produk-produk yang ditawarkan, tidak menarik, maka supermarket tersebut juga tidak akan berhasil. Semakin berkualitasnya dan beragamnya produk yang dititipjualkan oleh para produsen, maka supermarket tersebut akan terus dicari oleh konsumennya. Demikian pula industri pariwisata, semakin bermutu dan menarik hotel-hotel, restoran-restoran serta atraksi-atraksi wisata yang ditampilkan, maka destinasi wisata ini akan terus diminati bahkan diburu oleh para wisatawan. Yang menjadi pertanyaan, siapa yang bertanggungjawab terhadap ketersediaan elemen produk ini? Tentunya para produsen atau pihak swasta yang menitipjualkan produk-produk wisata pada suatu wilayah destinasi wisata. Mereka harus mampu membuat produknya menarik dan bermutu.

Staf Penjual

Staff Penjualan, adalah para penjaga toko di dalam supermarket. Tugas mereka adalah, membuat setiap pengunjung yang sudah masuk ke dalam supermarket, melalui hasil promosi bagian marketing, untuk berbelanja. Jangan sampai, tamu- tamu yang sudah masuk, keluar tanpa berbelanja. Apa yang harus dilakukan supaya tamu mau berbelanja? Tentunya, berikan pelayanan yang baik.
Demikian pula dengan industri pariwisata, apa yang mesti dilakukan agar para wisatawan betah dan mau berlama-lama tinggal di destinasi wisata tersebut? Tentunya, harus tersedia kamar hotel yang sesuai dengan keinginan wisatawan, tour guide yang bagus, transportasi yang layak, perusahaan-perusahaan jasa wisata yang mumpuni. Pihak swasta sangat berperan penting untuk menyediakan elemen ini.

Pemasaran (marketing)

Marketing, adalah suatu proses untuk mendekatkan produk dengan pembeli. Untuk membuat supermarket atau toko serba ada ini menjadi terkenal, diperlukan strategi promosi yang menarik, sehingga menarik banyak pelanggan untuk datang dan berbelanja. Meskipun, lokasi supermarket tersebut sudah sangat strategis, gedungnya pun menarik, namun tetap saja memiliki pesaing (kompetitor) yang memiliki kelebihan yang sama dengan supremarket yang kita miliki. Oleh karena itu, kegiatan promosi yang kontinyu dan nonstop harus dilakukan pada setiap elemen mulai dari pembangunan gedung, penyediaan barang-barang yang akan dijual hingga para staf yang akan menjual. Jika demikian, maka supermarket yang kita miliki akan selalu ada dalam ingatan orang (pelanggan dan calon pelanggan). Demikian pula halnya dalam mengembangkan industri wisata yang dimiliki suatu negara, provinsi, kabupaten dan kota,. Kegiatan marketing sungguh sangat penting dilaksanakan dari awal industri ini akan dikembangkan. Pertanyaannya, siapa yang akan melakukan kegiatan promosi ini? Tentunya pemerintah yang memiliki wilayah kekuasaan di mana destinasi wisata itu berada. Jika semua pihak yang berada pada masing-masing elemen ini melaksanakan tanggungjawabnya dengan baik dan profesional, maka pengembangan destinasi wisata yang diibaratkan sebagai “supermarket” pasti sukses.

*) Penulis adalah praktisi pariwisata di Pacto LTD

Friday, January 20, 2012

Konsep Disain Pintu Gerbang Kota Kotamobagu - Sulawesi Utara

Oleh: Veronica A. Kumurur

Kota Kotamobagu adalah salah satu kota yang berada dibawah wilayah administratif Propinsi Sulawesi Utara dan berjarak lebih kurang 180 Km dari pusat pemerintahan Ibu Kota Provinsi Manado. Kondisi sampai bulan Juni 2010 secara administratif Kota Kotamobagu terbagi kedalam 4 kecamatan dan 32 desa/kelurahan dengan luas wilayah 184,43 Km2 atau 9,92 % dari luas Kabupaten Bolaang Mongondow. Batas-batas kota adalah sebagai berikut: Kecamatan Passi Timur & Passi Barat di sebelah utara; Kecamatan Modayag di sebelah timur; Kecamatan Lolayan di sebelah selatan, dan Kecamatan Passi Barat di sebelah barat.

Secara geografis letak Kota Kotamobagu dikelilingi oleh kabupaten hasil pemekaran yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow timur, Kabupaten Bolaang Mongondow (induk), Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan dan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Kota Kotamobagu sebelum dimekarkan sudah menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Bolaang Mongondow Induk. Dalam konteks Regional, Kota Kotamobagu merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang didukung oleh produk jasa khususnya diwilayah Bolaang Mongondow raya dan umumnya pada kawasan propinsi Sulawesi Utara. Dengan demikian Kota Kotamobagu harus menyiapkan dirinya menjadi kota Jasa dan pusat pertumbuhan ekonomi yang siap melayani kebutuhan-kebutuhan, even-even nasional/internasional yang akan diselenggarakan di Kota Kotamobagu. Pelayanan yang ekstra bagi pemenuhan kebutuhan warga juga menjadi tuntutan utama karena semakin berkembang dan beragamnya kebutuhan seluruh warga terhadap barang dan jasa. Dengan posisinya yang strategis sebagai salah satu Kota yang diapit oleh empat kabupaten di Bolaang Mongondow Raya serta kondisi alamnya yang relatif lebih nyaman menjadikan kota Kotamobagu menjadi pilihan bagi penduduk dari luar Kotamobagu untuk datang baik keperluan berbelanja ataupun kegiatan dalam pendidikan dan kesehatan

Melihat posisi dan kondisi keberadaan Kota Kotamobagu, maka kota ini perlu penanda kota, salah satunya adalah pintu gerbang masuk kota. Suatu kota idealnya memiliki gerbang sehingga membangun gerbang kota/wilayah merupakan salah satu hal penting bagi identitas suatu kota. Identitas itu dapat berwujud gerbang kota atau gapura yang mempunyai ciri khusus yang menandakan itu sebagai gerbang kota/gapura.

Sementara dari sisi identitas kota, gerbang kota akan menyandang fungsi publik, fungsi rekreatif, dan fungsi informatif. Hal ini karena letak tapak gerbang kota akan merupakan titik batas dan penanda memasuki sebuah kota sehingga alangkah baiknya letak dari tugu batas merupakan tempat istirahat (rest area) terpadu. Ada informasi wisata, ada informasi investasi, hingga ketataruangan yang dikemas menarik. City gate atau pintu gerbang kota/daerah kebanyakan dibangun memiliki keterpaduan dengan fungsi bangunan-bangunan yang ada di sekitarnya.

Pintu gerbang kota atau disebut juga City Gate merupakan bangunan yang berfungsi sebagai batas wilayah, City gate merupakan bangunan yang merepresentasikan kekhasan kota/daerah itu secara simbolik melalui tulisan atau sculpture yang berornamen yang merepresentasikan identitas kota/daerah itu.

Pada beberapa tahun yang lalu gerbang kota selain berfungsi sebagai batas wilayah juga berfungsi sebagai benteng pertahanan, contohnya seperti di negara Mesir, layaknya sebuah Negara yang memiliki pertahanan militer kuat demi menangkis serangan musuh dari luar, Mesir pun demikian. Kota Kairo yang dijadikan sebagai ibu kota Mesir dari awal berdirinya Negara ini tentunya harus memiliki pertahanan militer yang kuat dan tangguh. Supaya dapat mempertahankan Negara, masyarakat dan kehormatannya dari berbagai macam serangan musuh yang kapan saja bisa terjadi. Salah satu dari pertahanan militer Mesir kala itu adalah pagar dan gerbang Kota. Beberapa gerbang Kota Kairo masih berdiri kokoh menantang zaman setelah beratus-ratus tahun dari pembangunannya. Kota Kairo zaman dahulu dikeliingi oleh pagar tembok dan memiliki pintu gerbang disetiap sisinya sehingga tidak ada jalan masuk ke dalam kota tersebut kecuali melalui pintu-pintu gerbang ini.

Penciptaan tampilan bangunan yang bersifat informatif kepada masyarakat dalam wujud bangunan yang utuh, yang diletakkan di area kecamatan Passi, yang merupakan pintu gerbang yang penting bagi Kota Kotamobagu. Melalui pintu gerbang ini, pendatang dari Kota Manado dan Kota Gorontalo, serta kota-kota lain di P. Sulawesi akan datang masuk ke wilayah Kota Kotamobagu.


Kota Kotamobagu merupakan kota yang bernuansa Islami. Suasana relijius Islami sangat terasa sekali ketika kita memasuki wilayah kota ini hingga ke seluruh bangian kota. Bangunan-bangunan rumah tinggal hingga bangunan peribadatan menampilkan ornamen-ornamen Islami. Oleh karena itu, dipilihlah model pintu gerbang yang menggunakan ornamen kubah pada kedua tiang (kolom). Menampilkan karakter bangunan yang islami yaitu adanya elemen kubah yang menjadi ciri khas bangunan masjid pada umumnya. Karena pada perkembangan saat ini kubah merupakan salah satu ciri khas dari sebuah masjid.

Bangunan-bangunan di kota Kotamobagu, selain bernuansa Islami, juga sarat dengan ornamen-ornamen tradisional, seperti ukiran-ukiran yang berbentuk kabela. Untuk mengantarkan para pengunjung pada nuansa kota Kotamobagu yang tradisional & Islami ini, maka ornamen kabela disematkan di bagian-bagian tertentu pada tiang-tiang pintu gerbang.



Pintu gerbang, selain menampilkan ornamen-ornamen Islami dan tradisional, juga menampilkan unsur-unsur teknologi moderen, seperti penggunaan stainless stell pada signage (papan penunjuk "Selamat Datang"). Struktur rangka ruang yang terbuat dari baja yang tahan cuaca, tidak memerlukan maintanance (pemeliharaan).

Sunday, January 15, 2012

Konsep Disain Ruang Terbuka Hijau di Kota Manado (Lokasi Kawasan CBD Manado)

Oleh: Veronica A. Kumurur

Konsep tanaman pada RTH CBD Kota Manado adalah tanaman-tanaman yang dapat bertoleran dengan daerah pinggiran pantai. Sehingga tanaman-tanaman yang digunakan merupakan tanaman-tanaman pohon dan rumput. Perencanaan tersebut bertujuan untuk memudahkan kegiatan pemeliharaan dan pengelolaan lansekap. Penanaman tanaman tidak hanya sekadar menempatkan tanaman dalam wadah atau media tumbuh saja. Banyak hal pokok yang perlu diperhatikan agar tanaman dapat tumbuh subur, sehat, dan mampu memunculkan aura keindahannya. Persiapan matang dari mulai sebelum, saat, dan setelah pelaksanaan penanaman akan memengaruhi tumbuh kembang tanaman secara keseluruhan.


Pedestrian ways: merupakan bagian dari jalan yang berfungsi sebagai ruang sirkulasi bagi pejalan kaki yang terpisah dari sirkulasi kendaraan lainya, baik bermotormaupun tidakjalan Piere Tendean (Jalan Boulevar 1) dan sepanjang kiri dan kanan jalan Boulevar 2 yang ditanami pepohonan dengan kerapatan tinggi yang berbentuk jalur (linier).


Taman Kota: Terdapat area duduk-duduk, taman-taman dengan pepohonan pelindung/peneduh (pohon kupu-kupu, pohon trembesi, dan dadap merah) dengan kerapatan rendah, dapat dimanfaatkan oleh semua tingkatan masyarakat, dapat dikunjungi pada siang maupun malam, dilengkapi dengan lampu-lampu taman


Hutan Apeksi: area yang berfungsi sebagai hutan kota, ditanami oleh berbagai jenis pohon pelindung/peneduh dengan kerapatan tinggi, vegetasi pohon yang ditanam secara berkelompok (bergerombol).




Jembatan penghubung: jembatan yang menghubunkan area taman kota (berada pada 16% lokasi hutan kota di kawasan boulevar mall) dan area hutan Apeksi (berada pada area 16% lokasi peruntukan hutan kota di kawasan Mantos), jembatan yang terbuat dari konstruksi baja komposit dengan struktur kabel yang berukuran panjang 152 meter dengan lebar 17,53 meter.


Plaza dan patung ikan Coelecanth (Ikan Raja Laut): Area yang berada 30 meter ke arah laut yang memanfaatkan panorama “Manado Waterfront City”, dilengkapi dengan patung Ikan Raja Laut (Coelecanth), patung yang akan menjadi icon kota Manado berukuran 5x ukuran manusia (monumental), area yang berfungsi sebagai area berfoto dengan latar belakang suasana “Manado Kota Pantai”.

Saturday, April 30, 2011

EROSI & EUTROFIKASI MENGANCAM EKOSISTEM PERAIRAN DANAU TONDANO

Veronica A. Kumurur

Danau Tondano, hingga kini masih saja dilingkupi persoalan yang mengancam keberlanjutan ekosistemnya. Padahal, fungsi lingkungan perairan danau Tondano masih sangat penting bagi kehidupan masyarakat kabupaten Minahasa dan kota Manado. Danau Tondano sebagai penyedia air tanah masyarakat sekitarnya serta sebagai sumber air minum bagi Kabupaten Minahasa, Kota Manado dan ke depan direncanakan untuk mensuplai air minum ke kota Bitung. Juga, menjadi penggerak turbin pembangkit listrik tenaga air untuk menghasilkan listrik bagi masyarakat Minahasa dan Kota Manado (PLTA Tonsea Lama, Tanggari I, Tanggari II dan rencana PLTA Sawangan). Sedangkan secara ekonomi, perairan Danau berfungsi sebagai lokasi budidaya perikanan karamba jaring apung/KJA (floating net cages) dan karamba tancap (pen culture) dengan produksi sekitar 5000 ton ikan per tahun. Sebagai sumber irigasi bagi 3000 ha sawah di Kabupaten Minahasa. Secara alami, Danau Tondano dan sekitarnya merupakan suatu rangkaian landscape yang indah dan secara sosial memberikan jasa keindahannya bagi siapa saja yang datang menikmatinya.

Namun permasalahan yang mengancam keberadaan ekosistem perairan ini terus saja meningkat. Pendangkalan, penurunan debit air serta penurunan kualitas air menjadi persoalan utama ekosistem perairan Danau Tondano. Kondisi ini berakibat pada kelangsungan danau dan makhluk hidup di danau dan di sekitar danau. Faktor utama penyebab rusak dan terancamnya keberadaan ekosistem Danau Tondano, yaitu: erosi dan pengkayaan unsur hara (eutrofikasi).

Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami, yaitu air atau angin. Pada peristiwa erosi, tanah atau bagian-bagian tanah dari suatu tempat terkikis dan terangkut yang kemudian diendapkan pada suatu tempat lain. Erosi sangat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: (a)erosivitas; dan (b)erodibilitas. Di mana erosivitas sangat dipengaruhi oleh iklim, sedangkan erodibilitas dipengaruhi oleh sifat fisik tanah (tanah) dan pengelolaan tanah dan tanaman (topografi, vegetasi dan manusia).

Menurut Hasil penelitian Gunawan & Kusminingrum (diunduh 16 Agustus 2010) bahwa tingkat erosi permukaan tanah yang sangat tergantung pada tingkat kemiringan lereng, kepadatan tanah dan tingkat kerimbunan tanaman penutup. Danau Tondano merupakan danau ketegori kecil dan dangkal (10-50 meter). Danau ini merupakan bagian dari DAS Tondano (watershed), yang menampung air dari area tangkapan air yang terbuka dengan luas water body (badan air danau) 4.396 ha. Dari hasil survei citra Landsat 2009, diperoleh: total luasan DTA yaitu 25.925 ha, di mana kondisi tutupan lahan di Daerah Tangkapan Air (DTA) di dominasi oleh kawasan budidaya yang terdiri atas: 5% perumahan (1.197ha), 12% sawah (3.188 ha), 28% perkebunan campuran (7.326 ha), dan 23% hortikultura (5.983 ha). Sedangkan kawasan lindung yang berbentuk hutan hanya sekitar 28% atau 7.345ha.

Dari data tutupan lahan di kawasan sekitar badan air Danau Tondano yang didominasi oleh kawasan budidaya yang cenderung meningkat luasnya, dapat diprediksi akan semakin tinggi erosi yang bakal terjadi. Berkurangnya penutupan lahan oleh vegetasi terutama di lahan-lahan miring sering mengakibatkan laju aliran permukaan dan erosi meningkat. Laju aliran permukaan dan erosi dipengaruhi oleh derajat keterbukaan dan cara-cara pengolahan tanahnya. Partikel-pertikel tanah yang terbawa melalui proses erosi, selain memindahkan tanah dari satu tempat ke perairan danau Tondano dan akhirnya menjadi sedimen, juga mengakibatkan peningkatan unsur hara pada badan air. Unsur hara ini telah mempercepat proses eutrofikasi di perairan danau Tondano.

Eutrofikasi adalah suatu rangkaian proses dari sebuah danau yang bersih menjadi berlumpur akibat pengkayaan unsur hara tanaman dan meningkatnya pertumbuhan tanaman. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) telah mencirikan eutrofikasi sebagai “ pengkayaan unsur hara (nutrien) pada badan air yang menyebabkan rangsangan suatu susunan perubahan simptotik yang meningkatkan produksi ganggang dan makrofit, memburuknya perikanan, memburuknya kualitas air serta menganggu penggunaan air”.

Proses pengkayaan (eutrofikasi) danau dapat terjadi secara alamiah maupun secara kultural. Menurut Connell & Miller, 1995 dalam bukunya Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, bahwa proses eutrofikasi alamiah terjadi akibat adanya aliran masukan yang membawa detritus tanaman, garam-garam, pasir dan disimpan dalam badan air selama waktu geologis. Sedangkan eutrofikasi kultural diakibatkan oleh peningkatan kegiatan manusia yang terjadi di sepanjang daerah aliran sungai masuk (inlet) ke perairan danau misalnya; pengolahan tanah pertanian secara intensif, penggunaan pupuk dan pembuangan limbah rumah tangga. Proses ini akan menjadi sebuah masalah jika tidak dikendalikan. Seperti yang terjadi pada perairan Danau Tondano, di mana tidak saja eutrofikasi alamiah yang terjadi, tetapi juga eutrofikasi kultural, seperti dimanfaatkannya badan air sebagai lahan budidaya ikan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar danau Tondano. Dari hasil penelitian Suryadiputra dkk (2010), diperoleh bahwa Keramba Jaring Apung (KJA) dan Karamba tancap pada tahun 2001, total sekitar 2500 unit; dan tersebar di Desa Eris (2078 unit), di Desa Kakas (350 unit) dan di Desa Remboken (40 unit).

Selain itu pula pengalihfungsian lahan dari lahan lindung menjadi lahan budidaya sangat memberikan kontribusi peningkatan konsentrasi fosfor melalui penggunaan pupuk di lahan pertanian seluas 53% yang terdiari atas: sawah, perkebunan campuran, dan hortikultura. Sebagai contoh: dari hasil penelitian Kumurur (1998) yang dilakukan di Kawasan Sekitar Danau Mooat, diperoleh bahwa akibat pengalihan fungsi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya di kawasan sekitar Danau Mooat, telah terjadi peningkatan konsentrasi fosfor 163 kali lebih besar dalam lima tahun terakhir (periode 1993-1998) dibandingkan pengukuran pada periode enam tahun sebelumnya (1987-1993). Fosfor tersebut banyak dihasilkan dari lahan pertanian akibat penggunaan pupuk. Unsur kimia inilah yang paling bertanggungjawab dalam proses eutrofikasi (pengkayaan unsur hara) pada badan air danau, seperti danau Mooat dan danau Tondano saat ini. Pengkayaan unsur hara dan peningkatan eutrofikasi akan mengakibatkan terganggunya dan terancam keberadaan ekosistem perairan danau Tondano.

Pengaruh utama dari peningkatan eutrofikasi adalah berkurangnya oksigen yang terlarut. Unsur hara (nutrien) ini akan terus meningkat melalui erosi serta melalui pemberian makanan pada ikan-ikan (jaring apung). Hal seperti inilah yang mempercepat terganggunya keseimbangan alami perairan. Semakin kaya unsur hara (nutrien) pada badan air, maka tanaman air akan semakin subur, padat dan menutupi permukaan perairan danau. Perairan danau semakin keruh akibat padatnya tanaman-tanaman air tersebut, yang akhirnya menyulitkan sinar matahari menembus perairan danau. Pada akhirnya pembusukan tanaman air semakin meningkat dan akan meningkatkan sedimentasi yang secara pasti menjadi penyebab pendangkalan perairan Danau Tondano.

Jadi erosi dan eutrofikasi (khususnya eutrofikasi kultural) adalah dua hal penting yang menyebabkan ekosistem perairan danau Tondano semakin kritis. Perlu penataan wilayah daerah tangkapan air (DTA) serta pengendalian kegiatan manusia. Jika tidak ditata kembali wilayah kawasan sekitar Danau Tondano, serta mengendalikan pemanfaatan badan air danau, maka suatu waktu Danau Tondano akan mencapai suksesi, dari perairan menjadi daratan.

Penulis:

*Dosen Prodi Perencanaan Wilayah & Kota, Prodi Aristektur, Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi



(telah dipublikasi di Harian Manado Post tgl 30 April 2011)

Sunday, March 20, 2011

Makna Catatan Sejarah Gempa Bumi dan Tsunami bagi Pengembangan Wilayah Kota-kota Di Sulawesi Utara

Catatan paling anyar, tahun 2011 tanggal 11 Maret gempa bumi berkekuatan 8,9 SR yang diikuti tsunami memporak-porandakan kota-kota di sepanjang pantai Utara Jepang, termasuk kota Sendai, ibukota Prefektur Miyagi, Jepang. Bencana tersebut telah melumpuhkan seluruh aktifitas manusia serta menghancurkan infrastruktur kota-kota tersebut. Kota Sendai misalnya, merupakan kota bisnis dan pusat industri yang padat penduduk (lebih dari 2-3 juta penduduk) ini terletak di pesisir pantai utara Jepang dan di antara Sungai Nanakita dan Sungai Hirose-Gawa. Kota Sendai sebagai “a brach-office-based economy city”, yang memiliki hampir 50% dari jumlah populasi masyarakat bekerja di sektor jasa ekonomi. Dapat dibayangkan betapa sibuknya aktifitas kota pesisir ini. Namun kini, kota pesisir ini hancur diterjang tsunami dengan kecepatan beratus-ratus km/jam.

Usai peristiwa ini, Tokyo Broadcasting System (TBS) melaporkan
sedikitnya 1400 tewas dan 530 hilang di enam prefektur. Dua kereta penumpang dengan jumlah penumpang yang tidak diketahui menghilang di daerah pantai selama bencana tsunami. Sebuah kapal yang mengangkut 100 orang terbawa oleh tsunami. Bandar Udara Internasional Narita dan Bandar Udara Haneda menghentikan operasi setelah gempa. Berbagai jasa kereta api di seluruh Jepang dibatalkan. Sejumlah pembangkit listrik tenaga nuklir dan konvensional dimatikan setelah gempa. Sebuah kilang minyak terbakar akibat gempa di Ichihara, Prefektur Chiba di timur Tokyo. Terancamnya kebocoran material radioaktif pada pembangkit listrik tenaga nuklir, di mana telah membuat kuatir sekitar 5800 masyarakat yang tinggal 3 km (2mil) dari reactor Fukushima Dai-Ichi ini.

Betapa dasyat perusakan ini, sehingga menambah deretan catatan penting dalam sejarah tentang daya rusak gempa bumi dan tsunami dalam kehidupan manusia di dunia. Catatan penting lain dari daya rusak gempa bumi disertai tsunami ini telah terekam sejak tahun 1775 hingga kini.



Sejarah Gempa dan Tsunami di Dunia

Tahun 1775, di Kota Liboa ibukota Portugal, t
sunami menghancurkan kota dan menelan 60.000 korban jiwa. Tahun 1883 tanggal 26 Agustus, letusan Gunung Krakatau (perairan Laut Jawa) telah mengakibatkan tsunami yang dahsyat. Ketika gelombangnya menyapu pantai Lampung dan Banten, kira-kira 5000 kapal hancur dan menenggelamkan banyak pulau kecil. Gelombang setinggi 12 lantai gedung ini, kira-kira 40 m, menghancurkan hampir 300 perkampungan dan menewaskan lebih dari 36000 orang.

Tahun 1960
tanggal 22 Mei 1960, Chili diguncang gempa 9,5 SR yang diikuti oleh tsunami yang merusak tempat tinggal dan harta benda lebih dari 2000 orang. Tsunami di Chile telah mengakibatkan kerusakan di bagian wilayah Hawaii (61 orang tewas) dan wilayah Jepang (122 orang tewas).

Tahun 2004 tanggal 26 Desember, gempa bumi dasyat dengan kekuatan 9 SR di kedalaman 30 km dasar laut sebelah barat-daya Aceh membangkitkan gelombang tsunami dengan kecepatan awal sekitar 700 km/jam. Gelombang ini menjalar ke segala arah dari pusat tsunami dan menyapu wilayah Aceh dan Sumatera Utara dengan kecepatan antara 15 - 40 km per jam dan tinggi gelombang 2 hingga 48 meter. Dalam 3 jam setelah gempa bumi, negara-negara di kawasan Samudera Hindia juga terkena tsunami.
Gempa yang mengakibatkan tsunami ini menyebabkan sekitar 230.000 orang tewas di 8 negara. Bencana ini merupakan kematian terbesar sepanjang sejarah. Indonesia, Sri Langka, Inda, dan Thailand merupakan negara dengan jumlah kematian terbesar. Puluhan gedung hancur oleh gempa utama, terutama di Meulaboh dan Banda Aceh di ujung Sumatra. Di Banda Aceh, sekitar 50% dari semua bangunan rusak terkena tsunami. Tetapi, kebanyakan korban disebabkan oleh tsunami yang menghantam pantai barat Aceh dan Sumatra Utara.

Tahun 2006 tanggal 17 Juli, terjadi gempa yang menyebabkan tsunami terjadi di selatan pulau Jawa, Indonesia, dan setinggi maksimum ditemukan 21 meter di Pulau Nusakambangan. Bencana ini menelan korban jiwa lebih dari 500 orang.


Tahun 2007 tanggal 12 September, gempa bumi Bengkulu yang merupakan
rangkaian gempa yang terjadi di Palung Jawa, di mana gempa awal memiliki kekuatan 7.9 SR. Gempa utama tersebut juga disusul dengan gelombang pasang (tsunami) yang kemudian membanjiri sedikitnya 300 rumah penduduk dan bangunan publik di Pulau Pagai, Kepulauan Mentawai sampai setinggi 1 meter.

Tahun 2010 tanggal 27 Februari, gempa bumi di Chili dengan kekuatan 8,8 SR di lepas pantai Concepción, Chili. Gempa yang m
enyebabkan tsunami dengan ketinggian 2.34 m menghantam Talcahuano, sebuah kota pelabuhan bagian dari wilayah Concepción. Tsunami menyebabkan kerusakan serius untuk fasilitas pelabuhan dan kapal tersapu gelombang. Gempa bumi terjadi di perbatasan antara Lempeng Nazca dengan Lempeng Amerika Selatan terasa hingga di ibukota Chili, Santiago, dan beberapa kota di Argentina. Tsunami ke 3 merusak kota nelayan Dichato, yang memiliki 7000 penduduk.

Tahun 2010 tanggal 25 Oktober, g
empa bumi terjadi di Kepulauan Mentawai dengan magnitudo gempa 7,5 SR. Gempabumi ini diikuti tsunami setinggi 3-10 meter dan mengakibatkan 77 desa hancur dan 286 orang dilaporkan tewas, luka parah dan ringan 200 orang, serta 252 orang lainnya dilaporkan hilang.

Mencemaskan, jika kota tersebut padat dan tak memiliki daratan yang lebih tinggi untuk dicapai. Apalagi, system peringatan dini (early warning system) akan datangnya tsunami tidak berfungsi baik. Yang pasti hanyalah waktu yang dapat melawan kecepatan gelombang tsunami tersebut. Kecepatan untuk menyelematkan diri harus lebih cepat dari gelombang monster tsunami ini, jika kita ingin selamat. Jika kita harus berhadapan dengan monster ini, kita harus mencari dataran atau bangunan tinggi, lebih tinggi dari terjangan gelombang tsunami ini.


Apa makna dari catatan sejarah ini?


Bahwa membuat bangunan-bangunan tahan gempa tidak sulit dan dapat dihitung, selama gempa bumi itu tak menghidupkan tsunami. Gempa bumi yang berpotensi tsunami inilah yang sulit dihitung dan sulit diduga kedatangan dan kekuatannya. Pada umumnya kota-kota besar di kawasan pesisir yang diterjang tsunami mengalami kerusakan bangunan-bangunan dan infrastruktur perkotaan yang parah dan memakan korban manusia yang sangat banyak.


Tragisnya, perkembangan kota-kota di Indonesia berawal di kawasan pesisir pantai, tak terkecuali kota Manado, Kota Bitung dan perkotaan di Minahasa. Hal ini memang karena kondisi geografis negara ini yang berbentuk kepulauan. Hingga kini, peruntukkan pusat-pusat bisnis dan ekonomi selalu diletakkan berdekatan dengan pelabuhan (port), seperti yang terjadi di kota-kota di propinsi Sulawesi Utara. Kecederungan perkembangan wilayah kota-kota sedang di Indonesia mengikuti kota-kota besar dan maju, tanpa melihat posisi geografisnya. Padahal, masing-masing kota memiliki posisi geografis tertentu dengan potensi dan resiko tertentu pula.


Memelajari kejadian-kejadian gempa bumi dan tsunami ini, dan melihat posisi geografis kota Manado, maka kita sangat sulit memprediksi datangnya serangan tsunami. Yang paling bisa dilakukan adalah mengetahui jalur-jalur gempa berpotensi menghidupkan tsunami yang melewati wilayah perkotaan kita. Sehingga, dapat dilakukan upaya untuk menghindarkan masyarakat perkotaan dari terjangan tsunami
.

Berdasarkan hasil pencatatan tentang gempa-gempa tektonik yang terjadi di dunia, terdapat 3 (tiga) Jalur gempa bumi, dimana Indonesia dilalui oleh 2 (dua) jalur tersebut. Dua jalur tersebut, adalah: (1)j
alur Sirkum Pasific ( Circum Pacific Belt ), antara lain melalui daerah-daerah Chili, Equador, Caribia, Amerika Tengah, Mexico, California, Columbia, Alaska, Jepang, Taiwan, Philipina, Indonesia (Sulawesi Utara, Irian), Selandia Baru, dan negara-negara Polinesia; dan (2) Jalur Trans Asia ( Trans Asiatic Belt ), antara lain melalui daerah-daerah Azores, Mediterania, Maroko, Portugal, Italia, Rumania, Turki, Irak, Iran, Afganistan, Himalaya, Myanmar, Indonesia (Bukit Barisan, Lepas pantai selatan P. Jawa, Kep. Sunda Kecil, Maluku).

Jadi, dari pengetahuan ini, apakah membangun central business district (CBD) kota Manado dengan menambah lahan menjorok ke laut (reklamasi) harus terus dilakukan? Apakah Kabupaten Minahasa harus terus membangun kawasan perkotaannnya dengan melakukan reklamasi pantai Minahasa? Bukankah yang sedang dibangun saat ini adalah sarana mengumpulkan orang dalam jumlah yang banyak? Bagaimana pula jika monster berlidah gelombang panjang ini tiba-tiba datang menjulur dengan kecepatan ratusan km/jam? Sempatkah masyarakat yang terkumpul di suatu pusat bisnis berlari lebih cepat dari monster tsunami untuk menghindari terjangannya?


Menyadari posisi geografis kota Manado dan provinsi Sulawesi Utara, yang terletak di jalur sirkum Pasific (Circum Pacific Belt), mengapa pengembangan wilayah Kota Manado ke depan tidak menjauhi bibir pantai? Jarak tertentu dari bibir pantai dijadikan kawasan tertentu yang bukan sarana mengumpulkan manusia yang banyak dalam satu waktu. Dengan konsep demikian, kota ini telah menyelamatkan manusia-manusianya, sekaligus habitat perairan pantainya. Belum ada kata terlambat dalam mendisain kembali wilayah perkotaan di Propinsi Sulawesi Utara. Disain yang lebih mempertimbangkan keamanan terhadap potensi amukan tsunami dan demi untuk keselamatan seluruh masyarakat Propinsi Sulawesi Utara.


Penulis:

Dosen Prodi Arsitektur dan Prodi Perencanaan Wilayah & Kota, Fakultas Teknik, Universitas Sam Ratulangi, Manado


(Tulisan ini telah dipublikasi di kolom opini Harian Komentar Manado, tgl 17-18 Maret 2011)

Wednesday, December 01, 2010

NELAYAN TELUK MANADO TERGULUNG ARUS MODERNISASI PEMBANGUNAN KOTA*


Diskusi ini bukan berarti menyetujui model pembangunan yang sedang terjadi di Pantai Teluk Manado, tetapi, lebih menekankan pada pemikiran untuk mencari upaya melakukan minimalisasi kerusakan sistem lingkungan, paling tidak dari sudut subsistem sosial. Karena hanya itulah celah yang bisa dilakukan intervensi dari pada subsistem lain. Intervensi harus segera dilakukan agar pembangunan di Pantai Teluk Manado tidak menjadi “monster” yang semakin membesar dan menelan semua aset yang ada di sekitarnya sehingga menurunkan dayadukung subsistem lingkungan sosial dan akan mempengaruhi kemampuan sistem lingkungan hidup secara menyeluruh Kota Manado.

Hampir setiap sore menjelang malam, kami sekeluarga selalu berekreasi di tepi pantai Teluk Manado sambil membeli ikan segar yang dijajah para nelayan tradisional yang baru saja pulang melaut. Layaknya pemandangan pasar ikan kilat, suasana akbrab (interaksi sosial) yang indah dan sebetulnya sayang sekali untuk dimusnahkan. Tak pernah terbayangkan 25 tahun kemudian (saat ini), pemandangan seperti itu hilang dan entah gelombang apa yang telah menggulung habis, jejak titik koordinat pun entah kemana. Berton-ton bongkahan-bongkahan tanah, pasir dan batu telah diurug menutupi areal ‘pasar ikan kilat’ ini.

Perahu-perahu tradisional nelayan kini tak ada lagi yang membawa ikan-ikan segar hasil tanggkapan, mungkin mereka malu dan merasa tertinggal jaman dengan adanya perahu raksasa yang melaut “tak karuan” membawa orang-orang yang layaknya tak pernah naik perahu raksasa (kora-kora di Dunia Fantasi), kesana-kemari seolah menyoraki orang lain yang tak bisa naik di perahu itu (karena tak mampu membayar). Tingkah yang tidak berguna, yang mungkin malah mengundang bahaya dan rasa cemburu yang tidak karuan bagi masyarakat lain (biasanya masyarakat asli khususnya nelayan) sekitar yang harus terpaksa tergeser tanpa mampu menolak.

Kenangan ini hanya bisa di “recall” ketika meneguk secangkir “hot coffee latte” yang harganya lumayan bergengsi selayak namanya, sambil memandang “sun-set Manado Bay” yang tak lagi gratis hingga kini. Bukan lagi duduk bersila di atas pasir, bukan lagi menggunakan lampu petromaks untuk menerangi ikan-ikan yang siap dipanggang, dan tidak lagi ada teriakan asli nelayan menandingi bunyi ombak Pantai Teluk Manado, yang membuat kami bangga memiliki pantai indah ini. Semuanya telah digantikan dengan alunan “Richard Claiderman, Kenny G”R and B Usher, Craig David, and Destiny Child melatarbelakangi canda akrab masyarakat urban Kota Manado di bawa binaran lampu “café-café” di tepi pantai Teluk Manado. atau musik “

Semuanya dengan gaya yang teramat moderen, meski kadang masyarakat Sulawesi Utara harus memaksakan diri bergaya sesuai dengan musik gaya ‘urban-techno’, gaya bicaranya, ‘style’ duduk dan ‘shopping-style’ nya, pokoknya ‘lifestyle’ harus dipaksa berubah, baik di daratan sampai ke laut mengikuti irama-irama ‘gaul’ yang bergantian “suka-suka” operator musiknya.

Pembangunan industri perdagangan secara besar-besaran sedang terjadi di Kota Manado, di mana produksi barang-barang konsumsi dan barang-barang sarana produksi diadakan secara massal dan secara ekonomi, situasi inilah yang disebut modernisasi. Modernisasi merupakan istilah yang merangkum pelbagai macam perubahan sosial-ekonomi yang disebabkan penemuan serta inovasi ilmu dan teknologi, perkembangan industri yang sangat cepat, pergerakan penduduk, urbanisasi, pembentukan negara-bangsa, dan gerakan politik massa, yang semuanya didorong oleh meluasnya pasar dunia kapitalis (Madan Sarup, 2003).

Menurut M. Umer Capra dalam Harahap (2002) bahwa ada 5 ciri utama dari sistem ekonomi kapitalis, yaitu: (1)dalam meningkatkan kekayaan, memaksimumkan produksi dan memuasklan kebutuhan disesuaikan dan diutamakan berdasarkan preferensi individu, (2)kebebasan individu diberikan untuk mencapai kepuasan pribadi dan diatur secara swasta, (3)alokasi sumber yang ada diserahkan sepenuhnya kepada kekuatan dan mekanisme pasar, (4)tidak diakui perlunya campur tangan pemerintah dalam mengatasi berbagai ketimpangan masyarakat, (5)dengan memberikan inisiatif kepada individu dianggap otomatis akan memakmurkan seluruh masyarakat.

Modernisasi suatu masyarakat merupakan suatu proses transformasi atau suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Pergeseran nilai terjadi selama proses modernisasi dan Parson (sosiolog) memperkenalkan pembagian nilai yang universalistik dan partikularistik, dimana nilai partikularistik lebih menitikberatkan pada kebutuhan individu atau kelompok kecil sedangkan nilai universalistik lebih menitikberatkan pada kepentingan masyarakat banyak. Karena itu seberapa kuat sikap universalistik atau partikularistik ditentukan oleh keterikatan individu dengan lingkungannya dan hal ini pula ditentukan oleh seberapa jauh lingkungan itu sendiri memenuhi harapan dan kepentingan individu dan seberapa jauh individu berperan atau diakui oleh lingkungannya.

Masyarakat nelayan selama kurang lebih 32 tahun kekuasaan Orde Baru hampir sama sekali tidak mendapatkan sentuhan kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi. Persoalannya adalah pengambil kebijakan di negeri ini belum memahami secara komprehensif apa sebenarnya akar permasalahan nilai yang digunakan lebih partikularistik atau lebih menitikberatkan pada kebutuhan individu atau kelompok, yang artinya bahwa masyarakat pesisir (khususnya nelayan) tidak lagi menjadi bagian dari masyarakat Kota Manado. Nilai laut dan kawasan pesisir bukan lagi menjadi nilai yang universal, artinya dapat dinikmati oleh semua masyarakat Kota Manado. Alam laut dan pesisir menjadi milik kelompok tertentu dengan kepentingan tertentu.

Mereka terpaksa harus menggusurkan diri dan secara perlahan kearifan tradisional mereka tergusur dan mulai membentuk cara menilai kepentingan terhadap sesuatu, dimana kepentingan individu lebih penting baginya. Nilai-nilai kebersamaan yang pernah mereka lakukan sewaktu masih berada di kawasan pesisir menjadi hilang dan berganti menjadi nilai-nilai individu. Nilai individu ini menjadi nilai kolektif atau bersama, meskipun tidak semua masyarakat dapat menerima perubahan nilai ini. Dan menurut Parson masyarakat yang sedang mengalami perubahan sistem sosial sedang mengalami fase perubahan, dan hal ini disebut dengan “instabilitas” sosial.

Masyarakat nelayan Teluk Manado tidak lagi memiliki kebebasan, tidak lagi dapat menguasai sumberdaya alam atau yang lebih ekstrim lagi mereka tidak lagi diakui masyarakat pelaku ekonomi. Mereka tidak semestinya menjadi korban nafsu pelaku dan perencana pembangunan di Sulawesi Utara, atau bukan menjadi tumbal bagi pencapain suatu tujuan kemakmuran pembangunan (dimanapun). Nelayan adalah masyarakat tradisional yang merupakan aset sosial yang mesti dimasukkan dalam perencanaan pembangunan. Memang betul, pembangunan akan merubah budaya masyarakat, namun bukan berarti tergulung dan hanyut bersama derasnya gelombang modernisasi pembagunan. Masyarakat lokal atau masyarakat asli atau lebih detil lagi masyarakat nelayan (maskot masyarakat Sulawesi Utara) seharusnya menjadi “Agent of Change” atau agen perubahan dalam pembangunan. Masyarakat ikut serta dalam proses perubahan pembagunan, namun bukan berarti merubah tradisinya, semisal merubah nelayan menjadi “satpam” (security) atau memaksa mereka harus menjadi pedagang kaki lima (tidak ada pilihan). Tidak demikian, melainkan tetap mereka nelayan dengan menambah kegiatan mereka dalam konteks modernisasi pembangunan yang terjadi di Teluk Manado.

Ini bukan berarti bahwa kegiatan pembangunan menjadi hal yang sangat eksploitatif bagi sudut pandang para environmentalis. Bukan pula pelaku pembangunan dan para pendukung selalu berlindung pada pernyataan bahwa “pembangunan sudah semestinya menurunkan kualitas lingkungan hidup”. Pandangan itu tidak seharusnya demikian, melainkan “proses pemaduan antara moderen dan tradisional” itu yang dicari dan dilakukan dalam pembangunan agar proses pembangunan berkelanjutan terjadi.

Di saat nanti, generasi penerus akan menjadikan ini suatu peninggalan budaya dan budaya inilah menurut Foster (1973) merupakan suatu proses dimana suatu aturan dijadikan sebagai panduan hidup dari anggota suatu kelompok sosial atau masyarakat tertentu. Bagaimana jadinya jika peninggalan budaya yang tidak lagi mencerminkan dialog antara manusia dan alam? padahal alam menjadi partner manusia di dalam usahanya mencapai kemanusiaan mulia dan memuliakan alam dan penciptaNya.


* Sudah dipublikasi di Tabloid Lestari – Manado Post tgl. 24 Desember 2005