Monday, August 07, 2006

KOTA MANADO MASIH SEPERTI “DESA YANG BESAR�

Oleh: Veronica A. Kumurur

Tanggal 14 Juli 2002, Kota Manado berulang tahun ke 379 tahun. Sejak didirikan kota ini pada tahun 1623 hingga saat ini, perubahan perluasan wilayah dari luas 2.369 ha menjadi 15.726 ha (0,57% dari luas wilayah Propinsi Sulawesi Utara).

Kota Manado yang menjadi ibukota Propinsi Sulawesi Utara (Kabupaten Minahasa, Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Sangihe Talaud, Kota Bitung dan Kota Manado sendiri) dituntut untuk menjadi satu kota yang tentunya bisa di sejajarkan dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia dan minimal seperti Makassar. Bukan hanya kategori dan jenis kotanya saja, tetapi juga bentuk, kondisi dan kegiatan yang terjadi di Kota Manado betul-betul bernuansakan suatu kota. Namun tentunya tak meninggalkan kualitas lingkungan perkotaan dan keberlanjutan semua yang ada di dalam ini. Pembangunan harus tetap terus menyeimbangkan lingkungan (lingkungan buatan/binaan) dengan lingkungan alam (ekosistem) juga lingkungan sosialnya. Keseimbangan lingkungan hidup akan ditentukan pula oleh kualitas rancangan kotanya (urban design). “Urban Design� adalah bagian dari proses perencanaan untuk mencapai kualitas fisik suatu lingkungan hidup (Hamid Shirvani dalam bukunya The Urban Design Process yang diterbitkan pada tahun 1985). Mengapa demikian? sebab di dalam proses merancang suatu kota, kita akan merancang bentuk fisik dan bentuk ruang dari lingkungan hidup itu. Jadi betapa pentingnya rancangan suatu kota untuk dianalisis dan diperhitungkan dengan baik dan jitu.

Kini diusianya ke 379 tahun, Kota Manado masih dengan “dandanan� atau rancangan yang memberikan kesan seperti suatu “desa yang besar�. Suasana Kota Manado minus kawasan Central Business District (CBD) barunya yang kegiatan dan fasilitas penunjangnya masih seperti umumnya desa-desa yang ada di sekitar kota Manado. Walaupun Kota Manado sudah tergolong orde dua namun secara kasat mata jika kita perhatikan elemen-elemen pembentuk kota, masih saja berorientasi pada kesan “desa�, sementara akibat informasi global, kondisi sebagian besar masyarakat penghuninya sedang menggunakan teknologi yang sudah berada pada posisi kriteria masyarakat kota.
Kota Manado yang diberikan “image� sebagai “water front city� dan ada juga yang menyebutkan sebagai “service city� sudah harus memaksa kota ini untuk melakukan peningkatan percepatan dalam pembangunan sarana-sarana penunjang kota. Kondisi yang tak dapat di tolak atau ditunda untuk terjadi di Kota Manado yang nyaris tak dapat diimbangi oleh tersedianya sarana dan prasarana layaknya suatu kota. Seolah virus “kota besar� terpaksa harus diderita oleh Kota Manado, tanpa menunggu apakah ini siap atau tidak. Tanpa menunggu apakah masyarakatnya mampu mengikuti perkembangan kota baik secara fisik maupun non-fisik dan apakah “tools� pelaksanaan sudah ada atau belum. Sehingga perlu adanya upaya antisipasi terlebih dahulu terhadap suasana ini, dengan cara membuat dokumen rencana pengembangan kota saat ini dan masa datang (contoh: dokumen Rencana Tata Ruang Kota). Upaya ini membimbing kita semua penghuni kota ini agar tidak bingung dan kaget terhadap pengembangan-pengembangan yang mesti dilakukan kota ini.

Suatu kota yang dicirikan oleh peningkatan aktivitas, peningkatan kepadatan penduduk dan peningkatan kemacetan, kini sedang terjadi di Kota Manado. Namun, diusia yang tua ini, kota Manado masih berada diposisi transisi atau semi kota (menurut Kriteria Rancangan Pedoman Perencanaan Lingkungan Perumahan untuk Kota-kota di Indonesia) dimana sebagian kegiatan dan kehidupan kotanya masih dipengaruhi oleh suasana perdesaan. Contohnya, lokasi tempat bekerja belum terpisah sama sekali atau masih bercampur dengan lokasi hunian. Begitu pula dengan pemanfaatan lahan di kota Manado, dimana luas lahan terbesar masih diperuntukkan bagi kegiatan perkebunan/pertanian (11.267,35 ha). Tentunya kegiatan perkebunan/pertanian masih merupakan kegiatan andalan Kota Manado. Suasana perdesaan, dapat kita lihat pula pada beberapa aspek lainnya.

KONDISI JALAN & FASILITAS BAGI PEJALAN KAKI


Ketersediaan sarana infrastruktur seperti jalan-jalan (lebar dan fasilitas jalan) yang kelihatannya tak layak lagi mendukung kegiatan Kota Manado. Jalan yang harusnya memiliki badan jalan yang cukup untuk lalu-lalang kendaraan-kendaraan bermotor yang melintasi Kota Manado, juga jalan bagi pejalan kaki. Kota Manado yang masih dikelilingi oleh jalan raya sekualitas jalan raya di desa-desa sekitarnya. Yang kita tau bersama bahwa jalan-jalan desa tersebut hampir tak pernah dilewati oleh kendaraan-kendaraan beroda empat, sehingga jalan-jalan tersebut masih utuh, walaupun hanya dibuat dengan kualitas campuran konstruksi jalan yang kurang baik (sesuai dengan standar desa itu). Jalan-jalan desa yang sebagian besar jalannya tak memiliki trotoar. Saya memperhatikan dan mengamati, bahwa sarana infrastruktur suatu kota, seharusnya lebih ramah dan manusiawi dibandingkan dengan sarana infrastruktur suatu desa. Misalkan, suatu kota harus melengkapi kotanya dengan lintasan-lintasan bagi pejalan kakinya (juga bagi orang cacat) baik anak-anak maupun orang dewasa ataupun bagi pengendara sepeda. Namun apa yang kita lihat di kota yang tua ini? Sebagian besar wilayahnya tak memiliki sarana bagi masyarakatnya. Masyarakatnya harus dengan hati-hati dan was-was berjalan di jalan raya yang tak memiliki trotoar, sebab bisa saja tersambar oleh kendaraan-kendaraan yang disupiri oleh pengendara yang baru lulus dari pelatihan.

Apalagi kondisi jalan raya yang naik-turun mengikuti kontur/topografi kota ini dengan ukuran lebar yang pas-pasan untuk 2 kendaraan dari jalur yang berbeda dan tak cukup dilewati kendaraan apabila ada pejalan kaki disana. Kondisi ini membuat pejalan kaki dan pengendara sama-sama was-was melewati jalan tersebut. Di jalan yang lain, masyarakat dengan susah payah melakukan perlawanan terhadap padatnya kendaraan-kendaraan bermotor saat menyeberangi jalan. Saya melihat Kota Singapura sangat memperhatikan kenyamanan warganya. Disiapkannya lintasan bagi penyeberang jalan, dan penyeberang jalan sangat dihormati haknya oleh kendaraan-kendaraan bermotor. Ada lintasan khusus bagi pejalan kaki yang tak menganggu lalu-lintas yang ada di ini. Di Kota Bangkok, pejalan kaki dapat melintasi jalan “high-way� yang begitu menakutkan itu, melalui jalan-jalan yang sengaja dibuat (walaupun mahal harga konstruksinya) bagi pejalan kaki. Sangat dihormati hak-hak pejalan kaki disana, kita tidak akan takut tertabrak kendaraan-kendaraan yang berkecepatan tinggi. Ada fasilitas halte (tempat menunggu bis) disana dan kendaraan-kendaraan umum patuh berhenti di tempat yang telah disiapkan (Jakarta sudah memulai itu). Di kota tua ini, hanya ada halte-halte yang sudah sejak 20 tahun yang lalu (tahun 1982) berdiri disana tanpa di rehabilitasi, ada juga jembatan penyeberangan disana yang mungkin satu saat konstruksi besi bajanya akan lelah dan roboh seketika.

Kembali lagi kita melihat kondisi jalan raya kita. Jika ada trotoar, lebarnya tak lagi ideal atau sesuai stardar yang ditentukan untuk pejalan kaki. Tidak dapat dipahami ini, apakah memang rancangan trotoar memang di buat demikian (tak memperhitungkannya dengan baik) ataukah trotoar ini dibuat sesuai dengan pesanan anggaran yang telah ditetapkan. Jadi bukan dibuat karena memang dibutuhkan dan fungsinya diperlukan, tetapi dibuat hanya untuk menjadi “prong-prong� (hiasan) jalan saja. Namun, jika diamati ada dilema juga, apabila ada trotoar yang lebar, langsung saja menjadi area penjualan bagi kaki lima, dan sanksi tegaspun tak dilakukan.

KONDISI FASILITAS UMUM LAINNYA


Kondisi fasilitas umum seperti angkutan umum, telpon umum, toilet umum, area parkir, masih saja menjadi masalah yang serius dan tidak diperhatikan di Kota Manado yang sudah tua ini. Warna kendaraan-kendaraan angkutan umum (omprengan) di kota tua ini sudah mengikuti standar nasional, yaitu warna biru. Namun cara mengoperasikannya masih menggunakan cara-cara tradisional. Masih ada tawar menawar harga untuk mencapai tujuan tertentu. Saya ingat, hal itu terjadi pada waktu kota tua ini masih menggunakan kendaraan umum yang namanya bemo. Saya harus menanyakan, apakah dia mau mengantarkan saya menuju lokasi rumah saya di “Zipur-Pakowa�, dan untuk memastikan itu, saya harus menggunakan beberapa waktu untuk menunggu supirnya berkata “ya� (itu 21 tahun yang lalu). Saat itu saya pikir tak menjadi soal sebab kondisi kota tua Manado masih sepi dan waktu belum menjadi hal penting. Kini, disaat waktu menjadi ukuran segala-galanya, situasi itu masih ada, dan apa akibatnya? banyak waktu terbuang percuma dan inilah yang merupakan salah satu biang kemacetan padahal “trayek� sudah ditetapkan. Herannya, sopirnya pun “aji-mumpung� (kebetulan) dan menjadi tidak soal baginya. Jika anda datang ke Jakarta, dan menggunakan omprengan disana situasi ini tak akan pernah dijumpai. Dan ada satu hal lagi yang menjadi biang kemacetan, yaitu cara membayar. Sebagian besar penumpang yang saya amati, seringkali tidak mempersiapkan “ongkos� opletnya terlebih dahulu, sehingga pas penumpang itu turun, mesti mencari lagi dari dompetnya yang sudah susah payah dia keluarkan dari tas atau kantong celana.

Tentunya cara ini memerlukan waktu, sehingga tak heran jika terjadi kemacetan (misalkan di jalan raya Kampus Unsrat) hanya karena penunmpangnya sedang membayar ongkos omprengan. Saya pikir tindakan ini jangan dipraktekkan di Kota Jakarta. Para penumpang sekaligus dengan supir dan kondekturnya rame-rame akan “menggerutui� anda. Si kondektur ikut juga memberikan tambahan kata-kata bagi anda, seperti ini “makanya disiapin dong ongkosnya sebelum turun, ngabisin waktu aja� (maka itu uangnya disiapkan terlebih dahulu sebelum turun, sehingga tak menghabiskan waktu menunggu). Ini tandanya betapa berharganya waktu itu, menunggu semenit saja serasa tidak bisa terjadi bagi omprengan ini.

Di Kota Manado, tidak hanya “omprengan� saja yang demikian (tawar-menawar harga), ternyata yang namanya taksi-pun demikian. Di kota tua ini masih ada taksi yang tak punya argo beroperasi keliling kota tua Manado, padahal taksi ini dipanggil dengan menggunakan radio panggil yang canggih. Saya sempat bertanya pada pak’ supir taksi dua hari yang lalu, kenapa argonya tidak di pasang? Dengan tenangnya pak’ supir berkata “memang bagitu ini taksi ini diai� (memang demikian taksi ini). “Kalu mo pesan, musti bilang pesan oto baru� (jika mau pesan katakan pesan mobil yang baru), wah, cilakan saya bilang, berapa banyak orang asing atau pendatang yang akan “kecele� (ketipu) dengan menaiki taksi yang model demikian. Ternyata kondisi ini sudah berlangsung lama, setua mobil taksi tersebut.


Dan sepertinya kondisi ini tidak menjadi soal bagi masyarakat pengguna jasa taksi ini. Yang penting naik taksi (mungkin), uang yang dicari dengan susah paya bukan menjadi ukuran bahwa sudah tertipu, yang penting gengsi naik taksi. Barangkali pemikiran demikian masih merebak di kepala setiap masyarakat pengguna jasa ini sehingga ada rasa tak peduli dengan fasilitas publik yang satu ini. Padahal masyarakat dan kotanya ingin memajukan industri pariwisatanya, tapi mustahil maju dan berkembang jika fasilitas umum seperti ini tak diurus. Siapa instansi yang berwenang untuk mengevaluasi dan menindakinya semua ini? Pariwisatakah atau Perhubungan?

Satu hal lagi yang janggal atau aneh disini, lebih banyak warung telpon (wartel) dibandingkan dengan fasilitas telpon umum yang ada di gardu-gardu telpon. Jika kita akan buru-buru saat akan menggunakan telpon gardu, kita tak mudah mendapatkannya disini. Miskin telpon umum (gardu), rasanya kita tinggal di desa yang sulit mencari telpon umum. Di kota lain seperti Yogyakarta, Surabaya, Makasar tak sulit untuk mencari telpon umum. Saya sempat bertanya sendiri di tengah kekesalan, kenapa susah mencari telpon umum ya? Dan saya mendapati jawabannya, ternyata sebagian besar box telpon umum tersebut telah berada di lokasi warung-warung telpon tertentu. Mengapa demikian? Apakah sengaja meniadakan telpon-telpon gardu hanya untuk memajukan wartel-wartel itu. Kasihan masyarakat kita, tidak semua memiliki telpon genggam dan bukankah dengan adanya telpon gardu ini sudah mengajari dan memberikan pengalaman pada masyarakatnya untuk menggunakan telpon gardu. Pengalaman inikan’ dapat dipraktekkan jika mendapat kesempatan untuk datang ke kota lain di Indonesia maupun di luar negeri yang rata-rata menggunakan fasilitas telpon gardu ini. Itulah fasilitas komunikasi yang paling mudah didapat dan juga melatih kita untuk menggunakan fasilitas umum secara baik dan benar.

KONDISI MASYARAKATNYA


Dari semua itu, tak terlepas pula dengan kondisi masyarakat penghuni kota tua ini. Akibat tidak adanya fasilitas-fasilitas yang memadai, terpaksa masyarakat harus “survive� atau bertahan dengan kondisi ini. Kota Manado tak memiliki fasilitas fisik yang dapat merubah perilaku masyarakat menjadi perilaku masyarakat kota. Sehingga mustahil pula perilaku “ndeso� bisa berubah menjadi perilaku orang kota. Bukan pula saya memvonis bahwa orang desa tidak tau aturan. Masyarakat desa yang homogen itu tentunya punya aturan adat atau norma kampungnya sendiri yang seringkali aturan desa yang satu berbeda dengan desa yang lain. Bisa saja aturan A cocok di desa sana tetapi tidak sesuai dengan di desa sini. Nah, kota dihuni oleh masyarakat dari berbagai desa dengan berbagai ragam budaya (heterogen), sehingga harus ada aturan baru yang bersifat komunal (umum) dan dapat diterima oleh semua orang yang datang ke kota itu. Aturan yang cenderung membentuk perilaku yang sama dan seragam bagi masyarak kota. Jika tidak demikian, dimana setiap masyarakat pendatang membawa aturan desanya sendiri-sendiri, maka kacaulah kota itu.

Jika kita mengamati perilaku masyarakat yang ada di kota-kota besar seperti Jakarta, Singapura kita akan mendapati perilaku masyarakat kota ini spontan sama. Coba kita lihat, mereka akan bersama-sama menyeberangi jalan; mereka akan bersama-sama menggunakan jembatan penyeberangan; mereka akan bersama-sama antri di bank, di mesin ATM, di gardu telpon; mereka akan mencari tempat sampah yang sama apabila dia berada di satu lokasi yang sama sebab sudah diketahui dimana tempatnya; mereka akan bersama-sama tidak merokok di sembarangan tempat; mereka akan bersama-sama berjalan kaki di zona yang telah ditentukan tidak boleh dilewati oleh kendaraan (contoh: Pasar Baru Jakarta). Semua serentak secara bersama-sama terjadi. Mengapa demikian? Karena telah disiapkan perangkat untuk mengatur perilaku masyarakat kotanya.

Di Kota Manado, para pejalan kaki, yang masih saja berjalan di tengah jalan, mereka tidak takut dan tidak menghiraukan kendaraan yang akan lewat di jalan itu. Mereka bukan hanya berjalan, tetapi “ngerumpi� (diskusi) ditengah jalan, tak peduli dengan klakson mobil di belakangnya. Saya sempat berpikir, “mungkin kasiang ini orang-orang baru datang dari kampung kang?� (mungkin mereka baru datang dari kampungnya?). Di kampung/desa itu, justru mobil yang harus mengalah apabila secara bersamaan jalan tersebut sedang dilewati oleh “tua-tua kampung� atau “jawara-jawara kampung� (jagoan kampung) atau yang merasa jagoan. Kendaraan yang lewat mesti maklum dan tak boleh memprotesnya, jika ingin mobilnya mulus tak bercacat lewat dengan baik di kampung yang dilintasinya. Ini juga dilakukan oleh supir-supir kendaraan-kendaraan omprengan di Manado yang tanpa dosa berhenti di tengah jalan hanya untuk mengambil penumpang. Merekapun tak peduli mobil yang sedang antri di belakangnya dan tak bisa lewat karenanya. Yang lebih gila lagi, sopir tersebut yang malah memarahi kendaraan yang meminta jalan di belakangnya. Inilah kebiasaan di desanya yang dia bawa masuk ke kota, dimana jalan raya di kota adalah daerah kekuasaannya seperti juga jalan di desa. Nah, situasi kampung masih dibawa oleh sebagian masyarakat di Kota Manado yang mengakibatkan Kota Manado terlihat masih seperti suasana desa. Itu terjadi dimana-mana di Kota Manado, sehingga terlihat melebar dan meluas sehingga terkesan suasana Kota Manado masih seperti desa yang besar.

Ini baru ditinjau dari beberapa aspek saja, yang bisa saya amati. Masih banyak aspek dan hal lain lagi yang dapat diamati dan dilihat dalam rangka mengevaluasi apakah Kota Manado yang sudah tua ini, memang betul-betul sudah memiliki kriteria suatu kota ataukah masih sebuah desa besar yang bernama “Kota Manado� yang masih perlu banyak sekali pembenahan. Rasanya inilah hal-hal yang perlu dievaluasi, agar rencana pengaturan kembali sistem dan fisik kota Manado melalui rencana pembangunan kota dapat menjadi suatu rencana yang matang dan dapat diimplementasikan oleh pemimpin-pemimpin kota ini di masa datang.

1 comment:

gadabinausaha said...

Setuju..Pembangunan Infrastruktur mesti menjadi Prioritas Pemerintah daerah maupun Pusat.terutama Indonesia bagian timur.
Nice Blog