Saturday, August 19, 2006

KONDISI LINGKUNGAN HIDUP SULAWESI UTARA DI TAHUN 2001

Oleh : Veronica A. Kumurur

Pertumbuhan ekonomi yang masih terus berlangsung dengan angka tertinggi pada tahun 1997 ini telah melapaui daya dukung bumi yang menyediakan sumber daya alam sebagai bahan bakunya. Ekonomi global yang tersusun seperti sekarang ini tidak mungkin lagi berkembang lebih lama lagi jika ekosistem yang menjadi gantungannya semakin rusak dengan laju seperti sekarang ini, demikian laporan “State of the World” yang disusun oleh Worldwatch Institute sebagai analisis tahunan dampak perbuatan umat manusia pada lingkungan alamnya (Kompas, 12 Januari 1998). Lingkungan hidup masih dan akan terus menjadi pusat perhatian di mana saja di belahan bumi ini. Degradasi sumberdaya alam sebagai bahan baku yang ada di dalam wadah lingkungan hidup makin terjadi dari tahun ke tahun, sedangkan upaya rehabilitasi dan konservasi semakin menjadi soal yang sulit dan mungkin terasa janggal untuk di selesaikan. Lihat saja di sekitar tempat tinggal kita ini bumi “Sulawesi Utara” semakin menumpuk soal-soal tentang “kerusakan lingkungan hidup”, namun belum satupun terealisasi sempurna dan siknifikan (nyata).

Padahal inilah yang menjadi akar segala macam permasalahan yang terjadi saat ini. Rasa tidak adil di masyarakat, penindasan hak-hak manusia adalah akibat dari suatu perebutan sumberdaya alam di satu wilayah, karena wilayah yang lain tak lagi memiliki sumberdaya alam sebagai bahan dasar untuk melanjutkan proses kehidupan. Pertumbuhan populasi penduduk tak lagi sesuai dengan daya dukung lingkungan wilayah setempat yang mengakibatkan terjadinya perpindahan penduduk dengan jumlah yang besar. Ini memang fenomena alam yang kini sedang terjadi dimana-mana, yang terkadang kita pun terlena dan pasrah dengan kondisi ini.

Padahal kita semua manausia yang berpangkat “manager lingkungan hidup” mesti mempertahankan hidup tanpa melakukan tindakan yang tak manusiawi. Karena pangkat itu, kita mesti berpikir keras untuk melakukan satu tindakan yang namanya “management (pengelolaan)” terhadap tempat hidup kita ini. Kita masyarakat Sulawesi Utara, pasti punya catatan-catatan (termasuk yang tak tertulis) tentang persoalan kerusakan lingkungan hidup yang membuat kita kesal, marah dan akhirnya putus harap melihat situasi lingkungan hidup kita ini. Para perusak lingkungan hidup di Sulawesi Utara seakan diam dan “pura-pura lupa” dengan janji-janjinya. Perasaan “loba (tamak)” masih menaungi para perusak lingkungan, dimana setelah mendapatkan keuntungan maka kewajibannya untuk me "recovery"(memperbaiki kembali) sering menjadi urutan paling buncit atau bahkan lupa sama sekali. Catatan-catatan kita sebagai masyarakat yang sangat mencintai lingkungan hidup “Sulawesi Utara”, adalah bagian penting untuk mengingatkan kembali, bahwa hak hidup kita ada di keberlangsungan lingkungan hidup wilayah ini, oleh sebab itu wadah ini mesti dijaga jangan sampai tidak diperbaiki atau dirusak.

Tahun 2001 adalah tahun penumpukan persoalan tentang lingkungan hidup di Sulawesi Utara. Mulai dari “highland (dataran tinggi), lowland (dataran rendah)” hingga ke “Coastal Area (area pesisir pantai)”, di tahun ini tercatat memiliki persoalan yang belum memiliki penyelesaian yang melegahkan hati kita. Belum terlihat upaya penyelesaiannya yang dipaparkan secara terbuka (transparan) dan dapat dilihat oleh semua warga Sulawesi Utara sebagai salah satu hak masyarakat.

Sulawesi Utara yang kaya akan sumber daya alam, sumberdaya manusia, daerah yang aman saat ini sangat menjadi surga bagi pelaku ekonomi semisal investor. Hanya saja kondisi ini semakin membuat lingkungan hidup propinsi ini semakin terekploitasi. Darat, laut dan udara semakin menjadi korban akibat kegiatan–kegiatan eksploitasi. Tidak ada upaya “law enforcement ” penegakan hukum disana sehingga membuat perusak-perusak lingkungan hidup Sulawesi Utara semena-mena tanpa peduli apa jadinya lingkungan ini. Perusahaan-perusahaan raksasa dengan ambisinya mulai mengeruk permukaan bumi sampai pada isi perut bumi Sulawesi Utara tanpa ada rasa bersalah bagi empunya tanah ini. Kekosongan dan pelecehan hukum terjadi bersama proses berjalannya pengrusakan lingkungan. Masyarakat lokal yang mulai “anggap enteng” dengan kerusakan lingkungan hidupnya, “ach, masa hanya dorang (pengusaha besar) boleh so, kong torang nemboleh” ungkapan yang sering dilontarkan komunitas lokal (masyarakat lokal) daerah ini, yang cenderung mulai terlihat masa bodoh dan tak pikir panjang lagi tentang berlanjut tidaknya lingkungan hidup ini.. Lingkungan hidup tidak lagi dipandang sebagai aset alami bagi suatu perusahaan yang hanya berorientasi pada ekonomi, demikian pula bagi yang empunya lingkungan hidup ini, tak rasa memiliki aset ini.

Hanya dagang saja yang terlintas di alam pikiranya tanpa memberikan ongkos perbaikan atau ongkos pemeliharaan aset alaminya (baik alam maupun manusianya). Seringkali kesalahan pembangunan pada daerah-daerah yang dilindungi menjadi hal yang biasa, “so bangun no, masa mo bongkar?” (ungkapan klasik) padahal ada satu saat dimana pengambil keputusan dan pembuat kebijakan diberikan kesempatan untuk berpikir, menganalisa dan mendengarkan “kata hati”, bahwa itu adalah tindakan atau kebijakan yang salah. Namun “cuek” itu yang menjadi lebih dominan, “yang penting mendatangkan uang”. Pola ini seolah menjadi biasa dilakukan dengan asumsi bahwa masyarakat akan memakluminya. Mungkin betul, masyarakat akan maklum, tapi apakah alam ini akan maklum adanya? Rasanya tidak akan, alam hanya mengerti “rusak” dan “tidak rusak”, maka yang menderita jika alam ini rusak adalah kita manusia dan sebaliknya. Banyak persoalan tentang pengrusakan lingkungan hidup ditahun 2000 dan 2001 yang berhasil dicatat dan perlu perbaikan dan perlindungan lingkungan segera di tahun 2002. Mengapa segera di tahun 2002? Sebab tahun 2003 adalah saat yang tidak bisa kita hindarkan bahwa segala macam kegiatan perdagangan jasa dan barang akan secara bebas diperdagangkan, dan tentunya kita hanya mengandalkan kualitas barang dan jasa tersebut, selain produknya berkualitas juga diproduksi pada perusahaan yang berkualitas pula (layak produksi dan layak lingkungan). Kita tak bisa menolak atau mem”blocking” kondisi ini dan kita juga tak bisa membiarkan diri kita terlindas dengan keleluasaan para pelaku bisnis dari berbagai negara yang dilegalkan untuk melintas dan membuang sampah-sampah dan merusak lingkungan hidup kita. Paling realistis adalah kita menghadapinya berbekal perangkat lunak (tools) yang dapat dijadikan saringan bagi pelaku bisnis yang akan melintas daerah ini atau negara ini.

Berikut beberapa catatan persoalan lingkungan hidup yang berskala besar yang memerlukan penyelesaian (realisasi) segera di tahun 2002 dalam rangka menghadapi era penting di tahun 2003.

PEMBABATAN HUTAN YANG BERDAMPAK BANJIR BANDANG
Pasti kita masih ingat bencana “banjir bandang” yang menyerang Kota Manado di akhir tahun 2000 yang membuat pusat kota Manado termasuk tempat berlangsungnya pemerintahan kota Manado terendam setinggi “dengkul (lutut)” lebih. Sungai-sungai yang melintas kota Manado menyikat semua penghuni yang berada di bantaran sungainya, seolah meminta hak area “sempadan sungai”. Arus yang datang dari hulu sungai yang begitu derasnya merontokkan konstruksi jembatan di sungai legenda “Ranoyapo”, sejenak masyarakat di kawasan Minahasa Selatan terpisah dari saudara-saudaranya di Minahasa. Daerah aliran sungai (Watershed area) di Sulawesi Utara total terganggu karena terganggunya area alam berupa hutan yang bertugas menangkap air untuk dialirkan ke dalam tanah. Air terlepas percuma, meningkatkan lajunya erosi yang membawa humus-humus penyubur tanah dan sebagai makanan tanaman yang bakal menjadi hutan kembali. Stabilitas tanah di daratan yang memiliki kemiringan (slope) yang lebih 30 persen terganggu dan tidak kuat lagi menahan beban air yang menerobos masuk ke dalam tanahnya dan akhirnya mengakibatkan berpindahnya tanah ke tempat lain atau “longsor”. Air-air yang terlepas dari lahan yang seharusnya menjadi daerah tangkapan air terlepas mencari daratan yang lebih rendah dan bersatu dengan air-air yang tergenang di daratan rendah akibat tersumbatnya saluran-saluran air (got) dan menghasilkan debit air yang di melebihi batas normal atau “banjir”.

Tahun 2000 sampai dengan awal tahun 2001 banjir bandang sangat mempengaruhi kualitas lingkungan hidup di Sulawesi Utara (khususnya kabupaten Minahasa dan Kotamadya Manado). Semua warga masyarakat panik dan bingung, tak ada kemampuan menahan bajir bandang tersebut. Kekesalan terhadap alam tanpa memperhatikan perilaku kehidupan sehari-hari seakan keluar dari setiap warga yang menderita banjir. Pemerintah setempat (baik Minahasa maupun Manado) dan Sulawesi Utara, seolah tak mau disalahkan akibat bencana alam ini. Padahal, kondisi ini adalah satu kondisi yang tidak mesti menjadi ajang umpatan “saking” kesal melainkan menjadi ajang instrospeksi diri dari semua pihak baik terhadap diri sendiri maupun terhadap program-program pemerntah di dalam membangun Sulawesi Utara, bukan saling menuding. Memang, diperlukan juga saling jujur antar “pengatur daerah” ini, bukan saling mengambil keuntungan satu dengan yang lain dalam rangka meng “kapling” porsinya akibat kekuasaan yang dimilikinya atau menggunakan satu ilmu “aji-mumpung”, yang artinya “mumpung berkuasa, rauplah yang banyak, kapan lagi?”. Ilmu yang seringkali digunakan terhadap penguasaan sumberdaya alam (yang bisu itu) tanpa memperhatikan masyarakat di dalamnya yang juga termasuk saudara-saudara (family) dan anak-anak si “penguasa”. Sangat tragis jika “penyakit” seperti itu mengidap pada diri para pemimpin negeri Sulawesi Utara.

Dampak positif dari bencana banjir lalu, terlihat membuat masyarakat berbondong-bondong bekerjasama membersihkan lingkungannya dari sampah-sampah yang dicanangkan pada setiap hari Jumat (Jumat bersih). Dan itu sangat baik jika di pupuk terus dan dipertahankan, karena lahir dari kesadaran pribadi setiap masyarakat. Itulah partisipasi di sudut bagian kecil masyarakat Sulawesi Utara.

Namun, tidak saja masyaakat yang dituntut untuk berlaku demikian, tapi juga perencana pembangunan, pengambil keputusan daerah Sulawesi Utara juga harus berpartisipasi, tentunya melalui program-program yang ditetapkan. Karena hanya dengan ketetapan, peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pembuat aturan negeri ini semuanya dapat di kendalikan dan dikelola. Namun, apa yang kita lihat di tahun ini tahun 2002, masih saja aturan di larang membuka hutan-hutan lindung di hulu-hulu sungai tidak pernah ditegakkan. Pembabatan hutan Liando (1600 ha) contohnya, masih saja dilakukan, padahal hutan di areal ini sangat bermanfaat menjaga stabilitas dan ketahanan lingkungan alam (ekosistem) di daerah yang menjadi hulu daerah “watershed” di kawasan Minahasa dan Manado. Model pembabatan hutan “tebang habis” yang akan merubah kawasan lindung ini menjadi kawasan budidaya bakal tetap memberikan peluang untuk warga Sulawesi Utara menikmati banjir setiap tahun.

Penebangan hutan lindung di kawasan Minahasa dan Bolaang Mongondow untuk dijadikan daerah hunian pengungsi dan masyarakat di Kakenturan kawasan sekitar Danau Mooat sangat tidak dipikirkan. Padahal kawasan lindung tersebut terdapat hulu dari sungai-sungai yang masuk (inlet) ke Danau Mooat, sementara air Danau Mooat saat ini sedang dimanfaatkan sebagai sumberdaya bagi PLTA Wulurmaatus (Modoinding). Jika kawasan lindung tersebut telah dibuka dan dirubah menjadi kawasan hunian (kawasan budidaya) maka debit air yang mengalir di sungai-sungai yang sebagai inlet bagi danau Mooat akan berkurang dan berkurang pula debit air D. Mooat dan bakal menganggu debit air D. Iloloi yang menjadi sumber air bagi pergerakan turbin PLTA Wulurmaatus (yang telah dibangun dengan biaya yang sangat mahal). Akibat lain, jika masih terus saja diekploitasi lahan lindung di sekitar danau Mooat ini, maka satu saat danau ini bakal menjadi legenda di masa datang.

Melihat semua yang terjadi akibat eksploitasi sumberdaya alam hutan, danau di kawasan Sulawesi Utara, dan bencana alam yang datang di akhir tahun 2000 dan awal tahun 2001 menjadi masukan di dalam membuat program-program pembangunan jangka pendek bagi bumi Sulawesi Utara ini. Program perbaikan lingkungan hidup bukan hanya dicanangkan saja, melainkan di “lakoni” atau dilaksanakan dan dinyatakan. Rame-rame meningkatkan PAD dan rame-rame mewujudkan Otonomi Daerah masing-masing daerah di Sulawesi Utara, bukan diwujudkan dengan membabat habis sumberdaya alam hutan, dan danau yang ada di daerahnya. Yang harus dan mesti diingat bahwa otonomi daerah boleh berlangsung, tapi sumberdaya alam hutan, sungai, danau, udara adalah hak semua orang di bumi ini. Biarpun masyarakat itu tinggal di lain wilayah misalkan di Bolaang Mongondow dan sumber daya alam ada di Minahasa, bukan berarti fungsi dan “benefit/keuntungan” yang dihasilkan sumberdaya alam itu semata-mata adalah hak orang Minahasa saja. Tidak demikian. Memang itulah rumitnya dan harus kita hadapi dan barangkali itulah yang dimaksud oleh pencipta bahwa kita adalah manusia sosial yang harus memikirkan orang lain. Hal ini tidak saja terjadi di bumi Sulawesi Utara, melainkan juga terjadi di negara tetangga kita di Asia, seperti China, Vietnam, Kambodia dimana ada satu sungai besar yang mengalir dan melintas di negara-negara ini. Akibatnya negara-negara tersebut harus menyatukan programnya di dalam meng “konservasi” aliran sungai ini. Mereka saja yang berbeda negara, beda bahasa, beda suku bangsa bisa dengan sadar melakukan, apalagi kita-kita ini di Sulut. Pengolahan bersama sumberdaya alam yang dimiliki di wilayah yang berbeda di Propinsi Sulut ini sangat diperlukan dan dilakukan. Daerah satu dengan daerah lain di Sulut saling membutuhkan sumberdaya alam. Bukan dengan menantang untuk membuat pemerintahan sendiri seolah tidak membutuhkan sumberdaya alam di wilayah lain. Tidak benar demikian dan itu yang menjadi tantangan untuk diselesaikan.

PROYEK REKLAMASI PANTAI YANG BERDAMPAK PADA LINGKUNGAN SOSIAL DAN EKOSISTEM PANTAI MANADO
Kerusakan sumberdaya alam (air, udara, tanah) seolah hanya menjadi hal yang biasa atau bahkan sudah menjadi bahasa klise dari konsekuensi (resiko) suatu kemauan untuk melakukan pembangunan fisik ekonomi. Sehingga upaya perbaikan terkesan lamban dilakukan dan lebih cenderung menjadikan alam sebagai penyebab kerusakan. Pemanfaatan lahan di tepi sungai yang seharusnya sebagai sempadan sungai (kawasan lindung) menjadi sah-sah saja. Penimbunan pantai menjadi resmi dilakukan hanya untuk menambah lahan sebagai kawasan komersial dan untuk menunjang bentuk “kota Pantai”.atau membuat “Cetral Bussiness” baru. Padahal lahan itu adalah lahan lindung yang seharusnya tidak mesti digunakan sebagai lahan budidaya., apalagi tidak berusaha meminimalkan resiko yang bakal terjadi jika kawasan terbangun ini sudah beroperasi. Tentunya, tidak adal lagi zona “barier (pembatas)” untuk melindungi lestarinya habitat alam laut yang kita miliki. Belum lagi, akibat dari pembangunan yang cenderung hanya berorientasi pada kemajuan ekonomi “sepihak” telah dengan paksa merampas hak-hak masyarakat kota ini untuk menikmasti indahnya alam secara gratis. Dengan demikian kondisi ini telah menambah biaya (cost) kehidupan di dalam masyarakat dengan secara terpaksa harus membayar pajak hanya untuk menikmati “sunset” dan indahnya laut. Hak masyarakat tak ada lagi, kini semakin terpilih saja “masyarakat mana” yang boleh menikmati hasil reklamasi. Sebenanrnya itu adalah salah satu bencana “sosial” yang bakal terjadi di masa datang jika sekali lagi tak pernah di gubris dan diantisipasi dengan baik. Pelaksanaan kegiatan penimbunan laut yang dianggap sama dengan pelaksanaan pembangunaan di atas lahan matang hasil reklamasi. Padahal kedua kegiatan ini “penimbunan laut” dan “pelaksanaan konstruksi bangunan komersial” menghasilkan dampak penting dan besar yang berbeda sehingga perlu cara penanganan dampak negatif yang rinci dan jelas untuk masing-masing kegiatan ini mulai dari pra-konstruksi, konstruksi sampai pada pasca-konstruksi. Namun apa yang terjadi? Tidak ada kejelasan penanganan dampak negatif dari masing-masing kegiatan ini. Seolah laut Manado yang tenang itu tak dimiliki siapa-siapa, sehingga dengan semena-mena menimbun laut tanpa aturan dan tidak memenuhi persyaratan teknis yang seharusnya dilakukan, apabila memang laut Manado mesti dikorbankan untuk suatu kegiatan pembangunan fisik ekonomi di lahan ini.

KEGIATAN PERTAMBANGAN EMAS YANG BERDAMPAK PADA KUALITAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KUALITAS HIDUP MASYARAKAT SEKITARNYA
Salah satu sumberdaya alam yang dimiliki Sulawesi Utara adalah emas (sumberdaya alam yang memerlukan waktu yang sangat panjang untuk dapat pulih kembali sehingga jenis sumberdaya alam ini seringkali disebut sumberdaya alam tak terbaharui (non renewable resources). Lebih dari setengah juta hektar lahan yang memiliki potensi sumberdaya alam ini (Manado Post, 14 September 2000). Dari data yang dikeluarkan Kanwil Pertambangan dan Energi Sulut, April 2000 menyebutkan bahwa di daerah Sulawesi Utara terdapat 7 pemegang Kontrak Karya (KK), 11 pemengang Kuasa Pertambangan (KP), 4 Pertambangan Skala Kecil (PSK), dan 4 lokasi Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Newmont Minahasa Raya salah satu pemegang kontrak karya (menguasai 13.904 ha) yang sudah pada tahap produksi. Perusahaan tambang emas Newmont Minahasa Raya (NMR) adalah perusahaan Penananaman Modal Asing (PMA), anak perusahaan Newmont Gold Company,USA yang didirikan dengan Akte Notaris Nomor 163 tanggal 18 November 1986. Masuk di Sulawesi Utara melalui Kontrak Karya (KK) yang disetujui Presiden RI tanggal. 6 November 1986, ditandatangani oleh Soeharto, bersama 33 naskah kontrak karya lainnya yang disetujui waktu itu. Persetujuan Kontrak Karya PT. NMR, disepakati dan dibuat di Jakarta pada tanggal. 2 Desember 1986 antara Pemerintah Indonesia dalam hal ini Meteri Pertambangan dan Energi, dan PT Newmont Mtinahasa Raya. Sahamnya dimiliki oleh PT. Tanjung Sarapung dengan andil 20 % sedangkan 80 % sisanya dimiliki Newmont Indonesia Ltd. yang berkantor di Australia. PT. Newmont Minahasa Raya hingga akhir tahun 2000 telah berhasil “mengembangkan” enam lokasi tambang terbuka (open pit) dan telah dihasilkan ampas (tailings) sebanyak 2.000 ton setiap hari. Ampas yang mengandung bahan-bahan kimia yang toksik terhadap kesehatan manusia melalui rantai makanan tersebut dibuang masuk kedalam perairan Teluk Buyat pada kedalaman 82 meter melalui pipa yang memilki panjang 900 meter (diukur dari tepi laut ke arah laut). Dari beberapa penelitian yang sudah dilakukan telah terbukti bahwa ampas pengolahan emas PT. NMR yang mengandung Merkuri dan Arsen tersebut tidak saja terkontaminasi pada biota perairan Teluk Buyat tapi juga di dalam darah masyarakat desa Buyat yang ada di sekitar lokasi buangan ampas. Selain mengantarkan Merkuri dan Arsen pada biota laut dan manusia, ampas sisa olahan batuan Ore ini mengendap dan menutupi areal produktif Teluk Buyat, yang mengakibatkan bergesernya lahan tangkapan ikan (fishing ground) yang lebih jauh ke arah laut. Akibatnya menambah faktor kesulitan nelayan untuk menangkap ikan secara manual. Secara keseluruhan akibat kegiatan membuang ampas sisa olahan emas di areal Teluk Buyat ini secara otomatis telah menurunkan kualitas hidup masyarakat lokal yang ada di sekitar lokasi buangan.

Selain merusak ekosistem laut, kegiatan ekploitasi batuan Ore dari dalam tanah untuk diolah menjadi lempengan emas telah membabat vegetasi (pepohonan dan tanaman lain) di areal eksplorasi, yang secara ekologi telah menganggu iklim mikro dan stabilitas tanah di daerah tersebut. Pohon-pohon yang menghasilkan oksigen yangmerupakan bagian dari rangkaian siklus hidrologi di daerah Ratatotok, kini tak ada lagi. Peningkatan suhu/temperatur, erosi, dan berkurangnya air tanah (ground water) mengancam area ini. Sangat kompleks kerusakan lingkungan di areal pertambangan skala besar ini, hampir semua siklus telah terganggu bahkan terputus. Kualitas lingkungan menjadi menurun dan inilah awal tidak berlanjutnya lingkungan hidup di daerah ini (unsustainable environment). Buangan limbah akibat kegiatan eksploitasi mineral kini baik dari pengusaha besar maupun kecil kini telah memberikan dampak negatif yang sangat merugikan, dengan terkontaminasinya ikan-ikan produktif dengan zat-zat beracun, juga dari hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh beberapa penduduk yang bermukim di sekitar pantai yang tercemar telah terkontamisnasi oleh zat beracun seperti arsen dan merkuri. Bukan saja itu yang terjadi, pengrusakan lahan, tanaman sebagai sumber hidup manusia terjadi di areal eksploitasi mineral ini. Ini adalah persoalan yang mesti diutamakan. Namun seperti pembicaraa kita terdahulu bahwa ekonomi masih menjadi tameng dan menjadi ujung dari segala kegiatan di daerah ini. Padahal lingkungan hidup yang bersisikan sumberdaya alam adalah wadah bagi kegiatan ekonomi yang seharusnnya dijaga agar wadah ini tidak retak atau tidak hancur akibat “overload” kegiatan ekonomi.

Tidak hanya kegiatan pertambangan pada tingkatan skala besar yang mesti menjadi perhatian, tetapi juga perhatian terhadap kegiatan pertambangan skala kecil yang kini menjadi lahan mengais rejeki masyarakat lokal di daerah Sulut ini. Jumlah tromol yang tersebar di Sulut, Bolaang Mongondow 166 unit, Sangihe Talaud 5 unit, Minahasa 250 unit, yang masing-masing proses pengelohan batuan “Repp” menggunakan merkuri. Proses yang sangat tradisional dan sangat memberikan resiko tinggi bagi pekerjanya dan bagi lingkungan hidup. Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang tentunya mesti dilengkapi dengan teknologi pengolahan emas yang aman perlu dilaksanakan oleh setiap pengusaha tromol skala kecil.

KOMITMEN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMERINTAH DAERAH SULUT UNTUK LINGKUNGAN HIDUP
Hampir semua kegiatan pembangunan ekonomi di Sulawesi Utara sangat tidak memiliki program meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Rata-rata hanya memikirkan dan melakukan ekpolitasi sumberdaya alamnya. Kini bencana akibat dari “keteledoran” mulai terwujud. Banjir bandang salah satu dampak yang besar dan penting dan sangat merugikan masyarakat telah terjadi, dan bakal menyusul kerusakan-kerusakan lingkungan lainnya apabila tidak segera bangun dari ketidakpedulian dan melakukan tindakan-tindakan konkrit dan nyata dalam menyelamatkan lingkungan hidup ini.

Pertambangan yang merupakan salah satu sektor yang belum 100% diserahkan pada kewenangan daerah untuk mengelola menjadi perhatian khusus Menteri negara Lingkungan Hidup/Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Sonny Keraf (dahulu) dimana melalui jumpa pers dengan Jatam, Walhi, Jaringan Pela dan beberapa LSM dari Canada & Amerika pada tanggal 4 Mei 2001 di Jakarta menyatakan komitmen bahwa “Pemerintah memutuskan untuk tidak lagi mengeluarkan izin pembuangan limbah tailing ke laut” dan mudah-mudahan ini masih menjadi komitmen menteri kita saat ini. Komitmen besar ini memiliki kekuatan dalam melindungi laut Indonesia, khususnya laut di Propinsi Sulut ini. Komitmen besar ini diresponi baik dan positif oleh Gubernur Propinsi Sulawesi Utara Drs. A.J Sondakh, beliau mengatakan ''kita juga tidak mentolelir berbagai pelanggaran terhadap standar dan mutu bagi perlindungan lingkungan,'' ujar Sondak, harus disadari oleh semua, khususnya pengusaha, perhatian terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar merupakan aspek yang sangat menentukan bagi kelangsungan usaha ekonomi yang dikembangkan. Karena itu diharapkannya, kita wajib melaksanakan dan menjaga usaha ekonomi yang bekerja berdasarkan standar dan mutu yang tinggi terhadap perlindungan lingkungan serta memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar”. Komitmen ini digunakan sebagai titik tolak dalam memprioritaskan keberlangsungan lingkungan di Propinsi Sulawesi Utara, dimana dua kepentingan disandingkan untuk dijadikan patokan serta tolok ukur dalam melakukan pembangunan di daerah ini. Lingkungan dan Ekonomi menjadi “point of interest” di dalam pelaksanaan detail pembangunan. Sungguh ini suatu komitmen yang sangat bijaksana. Ini bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, hanya memerlukan pembenahan dan penegasan sedikit pada aturan-aturan yang telah ada. Masih ada peluang untuk membenahi semua itu, masih ada peluang untuk me “redesign” dan me”planning”kan kembali. Asal saja kita mau melakukannya. Masih ada kesempatan untuk membenahinya. Komitmen ini juga menjadi dasar bagi investor atau pengusaha untuk bekerja dan berusaha di Sulawesi Utara.

TINDAKAN YANG PERLU SEGERA DIREALISASI DALAM RANGKA MENYELAMATKAN LINGKUNGAN HIDUP DI SULUT

Komitmen ini sangat baik apabila dibarengi dengan tindakan nyata berupa perwujudan “penegakan hukum” yang jelas dan tegas. Jangan dilupakan begitu saja, sehingga tak terasa kita sedang menanam kekeliruan dan bakal menuai bencana lingkungan (ecocatastrope) yang menyeluruh. Tindakan perbaikan lingkungan harus secara tegas dilakukan, adalah:
  1. Daerah “watershed/aliran sungai” bekas hutan yang kini telah ditebang, harus segera dihijaukan kembali dengan cara menanam pohon-pohon. Jangan sampai dialihfungsikan menjadi kawasan budidaya (lahan perkebunan).
  2. Melakukan re-design (merancang kembali) areal reklamasi pantai Manado untuk menciptakan area milik masyarakat umum (public area), memiliki sistem drainase dan sanitasi yang baik, memiliki unit pengolahan air limbah.
  3. Mengelola pertambangan rakyat dengan cara men-disain wilayah pertambangan rakyat berdasarkan step/proses pengolahan emas, dimana disain step/proses yang berlangsung tidak berhubungan langsung dengan sumberdaya alam yang ada di wilayah tersebut maupun sekitarnya. Selain itupula mencari alternatif pengganti merkuri di dalam proses pengolahan emas, jika tidak bisa maka pemantauan yang ketat harus terjadi pada setiap proses mendulang emas yang menggunakan merkuri.
  4. Memberikan teknologi tepat guna bagi masyarakat lokal dalam melakukan pengolahan emas.
  5. PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) harus melakukan kegiatan rehabilitasi (pasca tambang) pada lokasi ekploitasi seluas kurang lebih 510 ha lahan, dan merehabilitasi masyarakat yang telah terkontaminasi Merkuri dan Arsen di Desa Buyat.
Ini semua adalah catatan penting yang harus di laksanakan, jika kita mau betul-betul mencanangkan tahun 2002 sebagai tahun Kasih dan Peduli Lingkungan Hidup di Sulawesi Utara, sebab kita masyarakat di Sulawesi Utara yang akan menuai semua itu, baik ataupun buruk. Alam itu akan menjadi baik jika kita mau mengasihinya atau bersahabat dengannya. Ini pula yang akan menjadikan “perfomance” daerah kita diperhitungkan oleh pelaku bisnis. Sulawesi Utara bakal menjadi sstu-satunya “sea-port” di kawasan Timur Indonesia, yang berarti pula menjadi pintu gerbang sebelah Timur bagi masuknya pelaku-pelaku ekonomi dari berbagai negara seperti China, Amerika Utara, Jepang, Korea untuk menanamkan modal di daerah ini. Kejelasan prosedur dan ketegasan peraturan (disegala bidang) 2 hal yang bukan menjadi kendala bagi para investor, melainkan menjadi hal yang sangat kompetitif bagi propinsi Sulawesi Utara dengan daerah-daerah lain di Indonesia atau bahkan di dunia. “Environmental Perfomance”, adalah salah satu cara menampilkan 2 hal tersebut. Mari kita merajut kembali mutu penampilan lingkungan hidup “Bumi Nyiur melambai”.

No comments: