Monday, August 07, 2006

ESTETIKA LINGKUNGAN: MENENTUKAN KUALITAS TATA RUANG KOTA MANADO

Oleh: Veronica A. Kumurur

Mengapa orang melihat taman laut Bunaken sebagai sesuatu yang indah, mengapa orang melihat Gunung Lokon adalah suatu pemandangan yang permai, sedangkan tiang-tiang listrik tegangan tinggi dianggap merusak pemandangan? Kawasan kumuh di tengah-tengah kota dianggap merusak, tenda-tenda Pedagang Kaki Lima (PKL) yang tidak seragam , tumpukan sampah di pinggir jalan primer Sam Ratulangi dianggap merusak pemandangan? Ini semua merusak keindahan suatu kota.

Itu terjadi, karena manusia dibekali penciptanya indera untuk memberikan penilaian (termasuk membandingkan) terhadap apa yang dilihatnya atau yang dirasakannya. Dan manusiapun pada dasarnya dibekali kemampuan untuk memaknai objek yang tertangkap oleh inderanya dan memprosesnya sesuai dengan kebutuhan, itulah persepsi. Keindahan (estetika), adalah satu hasil proses memaknai objek yang ada di sekitar tempat manusia hidup. Estetika lingkungan adalah hasil dari persepsi dan sikap manusia terhadap lingkungannya. Masalah estetika lingkungan juga dipengaruhi oleh kesukaan terhadap lingkungan yang berbeda-beda. Misalkan, keteraturan (coherence), dimana taman-taman yang terpelihara rapi dan bunga-bunganya teratur rapi lebih disukai dari pada halaman yang tak terawat dan banyak ditumbuhi tanaman liar. Jadi, sebetulnya keteraturan adalah sesuatu yang diingini oleh setiap manusia baik yang ada di kota maupun di desa.

Estetika lingkungan inipun adalah bagian atau komponen yang penting dan merupakan aspek yang menentukan kualitas tata ruang secara mikro (kecil). Kota dan desa adalah kawasan yang berskala mikro. Ada 6 aspek yang menjadi parameter penilaian estetika lingkungan, dan menurut Ir. Aca Sugandhy, M.Sc (1999) dalam bukunya Penataan Ruang dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa estetika lingkungan itu terwujud dalam bentuk: (1)terjaganya arsitektural bangunan serta kesesuaian dengan lingkungan sekitar atau bentang alam serta ketinggian bangunan; (2)terbinanya landscaping dengan adanya pepohonan di setiap lingkungan perumahan dan kawasan kegiatan sesuai dengan ekosistem wilayah; (3)lingkungan pemukiman yang bebas dari gangguan bau; (4) lingkungan pemukiman yang bebas dari gangguan kebisingan; (5) lingkungan pemukiman yang bebas dari gangguan getaran; (6) lingkungan pemukiman yang bebas dari gangguan radiasi.
Nah, apakah aspek-aspek ini menunjang kualitas tata ruang kota Manado? Ada 3 aspek yang teramati, dan dapat dideskripsikan sebagai berikut:

terjaganya arsitektural bangunan serta kesesuaian dengan lingkungan sekitar atau bentang alam serta ketinggian bangunan

Kota Manado, termasuk kota tua yang tentunya memiliki bangunan-bangunan yang bergaya arsitektur dijamannya. Sebelum adanya bangunan-bangunan baru saat ini, bangunan–bangunan yang bergaya arsitektur kolonial dan bergaya modern menempati kawasan-kawasn penting di kota ini. Bilang saja, seperti bangunan-bangunan kuno yang ada di pelabuhan Manado, yang dibuat dengan gaya jaman itu. Bangunan bekas bioskop Star dan bekas bioskop Benteng, yang memiliki bentuk yang hampir sama (gaya arsitektur modern).

Ada lagi bangunan-bangunan pertokoan di China Town di pusat kota Manado yang saat ini sedang dipulihkan lagi. Ada juga bangunan rumah sakit bergaya arsitektur serupa dengan bangunan bekas bioskob Benteng dan bioskop Star, namun kini telah diratakan (dibongkar). Ada kesan bahwa bangunan-bangunan tersebut dibangun dengan saling menyesuaikan diri, sebab bangunan-bangunan tersebut berada di pusat kota Manado dan memiliki fungsi yang hampir sama yaitu bangunan “service�. Berbeda dengan gaya bangunan sekolah, seperti sekolah Don Bosco dan sekolah Yayasan Joseph (kini telah berubah bentuk). Gaya arsitektur khusus untuk sekolah, dimana perpaduan antara gaya moderen dengan gaya arsitektur tropis (bentuk atapnya). Tinggi bangunan-bangunan tersebut tidak saling mendahului satu dengan yang lain, mereka membentuk satu kesatuan bentuk dan serasi terhadap bentang alam yang bergunung-gunung serta bangunan satu dengan yang lainnya di kota Manado.

Itu dulu yang sempat teramati dan terekam, yang tentunya bisa kita bedakan dengan kondisi saat ini. Bangunan-bangunan tua yang memiliki ciri bangunan tropis yang cocok dengan situasi kota Manado, kini mulai dirombak atau bahkan dimusnahkan. Salah satu bangunan yang benar-benar sudah dimusnahkan adalah bangunan rumah sakit Gunung Wenang dan bakal menyusul bangungan-bangunan yang bercirikan arsitektur tua di masa kota ini dibangun.

Bangunan-bangunan baru yang berarsitektur masa kini, mulai dibangun, dan secara tidak sadar telah meniadakan ciri khas kota Manado. Ornamen-ornamen tua yang menjadi ciri bangunan-bangunan di kota Manado tidak digunakan lagi. Kita tidak merasa berada di kota kita sendiri. Wajah kota Manado menjadi mirip dengan wajah kota-kota lain di Indonesia atau bahkan di luar Indonesia. Bangunan-bangunan yang tidak lagi memikirkan bentang alamnya, bangunan-bangunan yang tidak lagi memikirkan situasi sekitarnya banyak di bangun di kota Manado.
Contoh saja, bangunan Gedung Juang yang memiliki karakter bangunan yang sangat berbeda dengan bangunan lain di sekitarnya. Gedung baru yang berdiri kokoh dan sombong seolah tidak peduli dengan kondisi sekitarnya. Tinggi bangunannya yang tidak sesuai dengan lingkungan sekitarnya, sehingga bangunan ini seolah merusak estetika lingkungan sekitarnya yang telah dibentuk oleh bangunan gereja Sentrum dan bangunan-bangunan pertokoan yang ada di simpang empat serta bangunan angkatan laut yang ada di depannya. Ini sebetulnya yang tidak diinginkan, bangunan yang berdiri sendiri dan tidak menyatu dengan keadaan sekitarnya. Padahal pula, kesatuan bentuk (unity) adalah bagian dari estetika dalam ilmu arsitektur bangunan.

Bangunan-bangunan modern saat inipun dibangun di seluruh penjuru kota Manado, melalui bentuk-bentuk bangunan pertokoan baru, dimana secara perlahan ciri khas kota Manado mulai punah atau hilang. Pengrusakan bentang alam (landscape), pengrusakan sempadan pantai, pengrusakan sempadan sungai, dalam upaya mendirikan bangunan-bangunan yang nyaris tidak memikirkan wadah tempat dia dibangun (lingkungan hidup).

Padahal dengan menjaga bentuk arsitektural bangunan tua sudah menyediakan sarana lingkungan sosial bagi masyarakat kota. Dimana, masyarakat kota dapat bernostalgia disana, masyarakat kota dapat mempelajari sejarah, menjadi sarana wisata kota, menjadi sarana edukasi. Bukankah itu menjaga stabilitas sifat sosial manusia?

Dengan membuat bentuk bangunan yang serasi dengan kondisi alamnya, memberikan pengalaman memandang sesuatu yang indah dan meningkatkan apresiasi seni bagi masyarakat kota Manado. Dengan demikian, masyarakat kota ini akan selalu melatih diri untuk menghargai apa yang mereka lihat dan juga akan meningkatkan kepeduliannya terhadap lingkungan sekitarnya. Coba bayangkan, jika yang dilihat bangunan-bangunan yang kotor dan semrawut, bangunan-bangunan yang tanpa bentuk, bangunan-bangunan yang tidak serasi dan tidak estetis. Pastilah, membuat setiap orang merasa bosan melihat kekiri dan kekanan dan tidak memiliki pengalaman visual yang menarik sehingga membuat pikirannyapun “gundah�. Dan tentunya, kotanya akan selalu diingat sebagai kota yang tidak memiliki nilai estetika.

terbinanya landscaping dengan adanya pepohonan di setiap lingkungan perumahan

Pohon selain sebagai elemen kota yang bermanfaat menyerap CO2 dan mengeluarkan O2 dan juga menjaga tata air tanah di kota, melalui fungsi akar-akar pohon yang menjaga cadangan air tanah di kawasan perkotaan, juga berfungsi sebagai elemen estetika. Penataan pepohonan di kawasan perkotaan, dapat memberikan pola “landscape� kota. Sebagai unsur pembatas, misalkan pohon pinus menjadi pembatas antara pemukiman dan jalan raya. Juga sebagai elemen pembatas kawasan satu dengan kawasan lainnya. Dan secara keseluruhan, apabila setiap rumah atau bangunan memiliki pohon, maka suasana landscape kota akan terlihat teratur dan sejuk tentunya.

Kita lihat saja landscape kota Manado apakah sudah tertata baik dan indah? Rasanya belum ya, jumlah pohon yang ditanam masih bisa dihitung dan belum memberikan arti terhadap bentang alam (landscape) kota Manado. Padahal, kota Manado memerlukan rekayasa iklim sebab kota ini sangat panas dan tidak nyaman bagi pejalan kaki dan seringkali panasnya menurunkan stamina pejalan kami.

Apalagi masyarakat di kota Manado cenderung tidak ingin memiliki ruang-ruang terbuka yang ditanami pohon. Kalaupun ada pohon, cenderung ingin ditebangnya agar tidak mengotori halaman rumah. Cenderung ruang-ruang terbukanya ditutup dengan “concrete� (beton). Akibatnya, suasana di lingkungan pemukiman menjadi terasa panas dan tidak ada pepohonan yang me “reduce� (mengurangi) cahaya matahari yang masuk kerumahnya. Dan yang paling bahaya adalah mulai berkurangnya cadangan air tanah, akibat tak ada lagi ruang untuk penyerapan air tanah. Dan apabila hujan datang, air hujan tak terserap ke dalam tanah malah terbuang percuma dan mengakibatkan banjir di lingkungan pemukiman tersebut dan jika kita lihat hampir di seluruh kota Manado (dataran yang rendah) sudah ketimpa banjir saat hujan lebat.

Yang paling nyata, apabila kita melihat kota Manado dari pesawat terbang, yang terlihat adalah gersang dan tidak teratur. Tidak ada pola landscape yang baik di kota Manado. Kita tidak bisa menangkap suatu ciri khas yang indah “civic center� yang terbentuk dari tata hijau di kota Manado.

lingkungan pemukiman yang bebas dari gangguan bau

Bau yang tidak enak, adalah suatu yang sangat menganggu kenyamanan manusia. Apalagi bau itu mendampingi kehidupan kita terus, dikala bangun pagi, siang dan malam disaat beristirahat maka kita akan merasa tidak nyaman atau terganggu. Contoh saja, kehidupan masyarakat di kelurahan Pakowa (lingkungan I), yang setiap saat (pagi, siang, sore) selalu saja mencium bau yang tak enak dari arah pasar Pinasungkulan. Masyarakat setempat kelihatannya sudah terbiasa dengan bau yang tak sedap itu, padahal secara tidak sadar bau yang tak sedap itu sudah menganggu ketenangan dalam melakukan proses kehidupan. Jendela rumah yang mengarah ke pasar tidak sering dibuka, karena kuatir bau itu menyusup bersama udara dan tercium oleh penghuni rumah. Akibatnya, tidak ada lagi udara segar yang masuk ke rumah tempat tinggal, rumah menjadi lembab dan tak sehat untuk ditinggali. Selain itu pula, menghirup udara yang tak berbau mulai menjadi barang langka bagi masyarakat di kawasan hunian ini.

Kota Manado, yang semakin berkembang pesat mengakibatkan pesat pula pertambahan penduduknya. Hunian penduduk yang terjadi secara spontanitas (mendadak) dan akhirnya membentuk kawasan yang kumuh di pusat kota maupun di sepanjang aliran sungai. Akibatnya sungai-sungai tersebut menjadi bagian belakang penduduk tepi sungai dan bahkan kota Manado seluruhnya, sehingga sampah-sampah yang menjadi produk akhir kegiatan rumah tangga dan industri peternakan dimasukkan kedalam sungai-sungai itu. Gangguan bau akhirnya melanda hunian di pinggir sungai.

Kondisi ini diperparah oleh kebijakan pemerintah kota menempatkan lokasi pasar di pinggir sungai, seperti posisi pasar Pinasungkulan. Demikian pula dengan perletakkan lokasi pasar-pasar lain seperti pasar Bahu yang dekat dengan lingkungan pemukiman. Dan masih banyak lagi lokasi-lokasi pemukiman lainnya di kota Manado yang harus menerima gangguan bau, karena perletakkan tempat buang sampah sementara, tempat buang akhir sampah, rumah potong hewan (RTH), selokan-selokan (sistim drainase) yang tidak baik.

lingkungan pemukiman yang bebas dari gangguan kebisingan

Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Ada ketentuan terhadap baku mutu kebisingan yang bisa ditoleransi oleh manusia. Dampak kebisingan terhadap tingkah laku sosial, menurut Matthews, Cannon dan Alexander menemukan bahwa di lingkungan bising, jarak personal space lebih lebar dari pada di tempat yang tidak bising. Sedangkan dari hasil penelitian Apple dan Lintell bahwa hubungan informal dengan antar tetangga makin berkurang jika suara bising lalulintas di sekitar tempat pemukiman meningkat.

Mari kita lihat kondisi kebisingan saat ini di kota Manado seperti di jalan Arnold Mononutu, jalan yang menuju ke pasar Pinasungkulan seringkali terjadi kemacetan yang panjang dan terjadi dalam waktu yang lama. Kendaraan-kendaraan yang antri selain mengeluarkan asap-asap dari kendaraannya, juga menghasilkan bunyi secara serentak dan dalam waktu yang cukup lama. Kondisi ini sangat menganggu lingkungan pemukiman yang ada di kawasan itu.
Belum lagi kebisingan yang dihasilkan oleh kegiatan pasar plus terminal itu, suara-suara gaduh yang terdengar dari pasar membuat gangguan bising bagi lingkungan pemukiman di daerah ini. Jika diamati, pembangunan sarana servis bagi masyarakat di kota Manado, selalu berada dekat pemukiman penduduk, sehingga efeknya bisingnya saat ini mulai menganggu kenyamanan masyarakat di lingkungan pemukimannya. Seharusnya, lingkungan pemukiman jauh dari gangguan kebisingan, sehingga masyarakatnya merasa memiliki ruang yang nyaman untuk hidup.


Melalui ketiga aspek yang kita tinjau di beberapa lokasi ruang mikro di kota Manado (2 aspek yang belum ) secara umum menggambarkan kondisi yang terjadi dihampir seluruh ruang-ruang mikro di kota Manado. Secara konkrit bahwa kualitas ruang mikro di kota Manado masih kurang baik. Ini tentunya akan mempengaruhi kualitas ruang kota Manado secara keseluruhan.
Yang menjadi tantangan kita bersama, adalah bagaimana menghadirkan ruang-ruang kota (mikro) yang memiliki bangunan-bangunan yang serasi, memiliki ruang terbuka hijau yang terbina baik, memiliki masyarakat yang berbudaya menanam pohon, tidak memiliki sumber-sumber yang menghasilkan bau dan bising. Dengan meningkatnya kualitas ruang kota Manado secara keseluruhan, akan memberikan kenyamanan dan pengalaman visual yang baik dan indah bagi masyarakat kota Manado.

1 comment:

Unknown said...

a good article.....emang manusia hanya krn egonya sdh melupakan Estetika dan kesehatan Lingkungan ....
Save our earth... !!!

Salam : Yonny Koen