Tuesday, August 08, 2006

PEMBANGUNAN FISIK DI KOTA MANADO SELALU “KOMPROMI� DENGAN PENGRUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

Oleh: Veronica A. Kumurur

Mewujudkan kota Manado yang asri, berorientasi pada kepentingan masyarakat dan peran global, dengan meningkatkan kualitas pelayanan umum berdasarkan rencana penataan ruang kota.

Itulah salah satu misi pembangunan jangka panjang Kota Manado yang tercantum pada Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2001 tentang Rencana Strategis Kota Manado 2000-2025. Suatu cita-cita yang ideal yang rasanya sulit digapai, jika melihat kondisi kota Manado saat ini. Namun, memang katanya jika membuat misi harus yang ideal, tentunya harapannya bahwa pembangunan di kota Manado paling tidak mendekati kondisi ideal ini. Dan seharusnya misi itulah yang menjadi target pembangunan segala bidang di kota Manado termasuk pembangunan fisiknya. Misi bersama berarti cita-cita bersama berarti pula komitmen bersama.

Walaupun ideal rasanya, bukan berarti komitmen itu hanya suatu slogan yang mempermanis laporan-laporan, pidato-pidato para pemimpin di depan para tamu dan juga masyarakat. Bukan pula misi tersebut hanya menjadi syarat dari suatu pergantian kepemimpinan. Bukan hanya menjadi lip service atau sorga talinga (telinga) atau kata-kata yang sulit dicerna dan akhirnya sampai pada “tau ach gelap (yang artinya tidak mengerti). Tidak semestinya demikian. Kini, visi, misi adalah sesuatu yang ideal yang mesti diwujudkan secara perlahan-lahan didalam suatu rangkaian pembangunan. Bisa dievaluasi secara kasat mata, dan juga menjadi ajang penilaian sukses tidaknya suatu kinerja seorang kepala dinas misalkan, penggunaan retribusi yang tepat dan sesuai misalkan, dan lain sebagainya.

"Sapa so" nyandak suka mo lia pembangunan di kota Manado? (siapa yang tidak ingin melihat pembangunan di kota Manado?). Semua warga kota Manado suka dengan pembangunan. Torang suka investor maso pa torang pe wilayah kecamatan, torang masyarakat so setuju dengan pembangunan mall itu (kami suka investor masuk di wilayah kecamatan kami, kami setuju pembangunan mall itu) ya, suara-suara masyarakat dari wilayah-wilayah kecamatan-kecamatan di kota Manado. Ramai-ramai masyarakat mengeluarkan suara tanda setuju, tanpa memikirkan lagi apakah betul bangunan itu cocok dengan wilayah kecamatannya yang memiliki pesisir pantai yang panjang, memiliki sungai-sungai yang rawan banjir. Yang penting bahwa kecamatannya memiliki kompleks perdagangan, dimana ada bangunan-bangunan mega, ada pusat perbelanjaan. Terlihat ini pula menjadi ajang penilaian suksesnya pembangunan di wilayah kecamatan itu. Apakah ini tandanya, otonomi daerah sukses dilaksanakan? Entah. Terlepas dari semua itu, itulah ekspresi masyarakat Manado yang selalu senang menerima pembangunan dan kemajuan kota tercinta ini.

Dapat dimaklumi, bahwa dengan adanya pusat-pusat bisnis, tentunya bakal meningkatkan prestise wilayah tersebut. Di lain sisi pula, dengan adanya pusat-pusat bisnis ini dapat menyebarkan penduduk kota Manado. Penduduk kota ini tidak lagi menumpuk di satu titik seperti di pasar 45, tetapi tersebar di beberapa wilayah kecamatan di kota Manado. Solusi yang baik sebetulnya. Namun, aplikasi solusi (jalan keluar) ini perlu di studi kelayakannya (feasibility), baik dari aspek teknis, aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Kita masyarakat kota Manado, menginginkan bersama agar kota Manado menjadi kota yang berkelanjutan dan secara perlahan dan pasti akan segera menjadi kota yang memiliki masyarakat seperti yang dicita-citakan seperti tergambar pada misi pembangunan jangka panjang kota ini. Dan semua itu bukan lagi hanya menjadi angan-angan.

Keseimbangan lingkungan hidup (sosial, buatan dan alam) menjadi syarat utama bagi suatu wadah atau ruang (suatu kota misalkan) agar menjadi berkelanjutan dan manusiawi. Secara konkrit (nyata) ketiga aspek kelayakan inilah yang menjadi parameter yang menentukan kelangsungan hidup suatu wilayah. Aspek ekonomi, dimana kajian ekonomi yang memperhatikan kelangsungan siklus-siklus ekonomi. Kajian ekonomi dilakukan agar pembiayan terhadap pembangunan terus terjadi (kontinu). Aspek teknis, aspek yang mengkaji tentang kekuatan dan keberlangsungan bangunan itu tegak berdiri. Kajian terhadap keamanan bangunan itu bagi pemakainya. Aspek lingkungan, kajian yang mengulas apakah kegiatan atau usaha ini layak terhadap lingkungan dimana akan diletakkannya. Apakah sumberdaya alam tidak terganggu akibat kegiatan-kegiatan ini, apakah kegiatan-kegiatan akan menghasilkan dampak negatif penting dan besar terhadap lingkungan sosial dimana lokasi ini berada. Itu makanya semua aspek dikaji agar tidak membuat kekeliruan dalam membangun kota tercinta kita ini.

Barangkali kita sudah sering melihat atau membaca kajian-kajian kelayakan ekonomi dan kelayakan teknis suatu usaha atau kegiatan yang seringkali disebut dengan studi kelayakan (feasibility study/FS). Jangan lupa, masih ada dokumen satu lagi yang mestinya dilampirkan bersama dengan FS tersebut, itulah dokumen kelayakan lingkungan atau dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Jika semua dokumen itu dibuat benar dan baik, maka cita-cita untuk menjadikan kota yang terpelihara dengan masyarakat yang sehat jasmani dan rohani serta masyarakat yang sejahtera bakal tercapai.

Kini, mari kita lihat kota kita Manado. Kota yang semakin sarat dengan pembangunan fisik. Jika dihitung, kota Manado berkembang setiap jam. Mau buktinya? Lihat saja, batu bata yang setiap menit disusun oleh para pekerja di kawasan pusat bisnis menjadi satu dinding bangunan. Lihat saja, pekerjaan pemancangan tiang-tiang fondasi bangunan, yang setiap jam bertambah masuk 1 meter ke dalam tanah, yang artinya semakin tertancapnya tiang-tiang itu maka siap memikul dinding-dinding bata yang bakal ada diatasnya. Setiap detik, setiap jam berubah dengan cepat. Perairan Pantai Teluk Manado pun ikut berubah dari ekosistem perairan menjadi ekosistem daratan. Semua dirampas begitu saja oleh lajunya dinding-dinding bata membentuk bangunan-bangunan masif yang kokoh dan sombong.

Dan kini sebagian masyarakat hanya memaklumi itu sebagai satu kesalahan di era orde baru, walaupun ada gerutuanya, torang so nya ada pante for mo batobo akang (ya, kami tak punya pantai lagi untuk tempat berenang). Dan ada juga yang mensyukurinya, untung sekarang so reklamasi, so bagus, kalu dulu blum reklamasi, itu pinggir pante jadi tampa buang tinja dengan sampah-sampah, begitulah komentar dari beberapa masyarakat yang hanya melihat meganya bangunan-bangunan itu.

Betul! siapa yang tidak suka dengan gagahnya bangunan-bangunan itu, gemerlapnya lampu-lampu di malam hari, dari pada mencium bau tidak enak terbawa angin laut ke darat. Namun perlu diingat bahwa tidak semua strata masyarakat yang hidup di kota Manado ini dapat menikmati semua itu dengan baik, karena fasilitas ini, hanya akan menjangkau strata masyarakat menengah ke atas.

Berbeda, jika ruang-ruang itu disulap dengan fasilitas yang dapat dinikmati oleh semua strata (tingkatan), di mana di satu wadah atau ruang diciptakan fasilitas untuk masyarakat strata menengah ke bawah (seperti ruang-ruang umum bebas biaya/gratis for tampa lewat deng tampa batobo/tempat lewat dan tempat berenang) dan di bagian lainnya adalah fasilitas untuk strata masyarakat menengah ke atas seperti toko-toko dengan barang-barang mewah dengan suasana yang membuat orang lupa bahwa sudah 5 jam mengitari area mewah nan menyenangkan itu. Tersadar, saat akan membayar biaya parkir yang tercatat otomatis oleh mesin pencatat waktu lima ribu perak. Kedua kebutuhan ini sebaiknya dicampur menjadi satu untuk digunakan secara bersama tanpa harus memilih (mix use). Paling tidak area tersebut mengakomodir kebutuhan beragam masyarakat kota Manado yang tidak hanya dihuni oleh kaum yang bisa membayar ongkos parkir 5 jam dengan 5000 rupiah. Itulah kenyataan yang sedang kita hadapi saat ini.

Perkiraan bahwa, tidak akan terulang lagi kesalahan yang sama di wilayah lain di kota Manado, kini ternyata meleset. Perkiraan bahwa para pembuat keputusan dalam kebijakan kota Manado untuk tidak akan membuat kesalahan baru dimana melaksanakan pembangunan fisik yang merusakan lingkungan kota ternyatapun tidak terwujud. Kawasan bisnis di Boulevard yang disetujui di era orde baru menjadi referensi suatu kebenaran pembangunan di kota Manado. Cilakanya, terlihat para pembuat keputusan kebijakan menyetujui cara membangun yang demikian, cara membangun yang memporakporandakan lingkungan hidup tanpa terlihat membuat perimbangan perlindungan terhadap lingkungan.

Slogan membawa kota Manado dan masyarakatnya sehat jasmani dan rohani dan meningkatkan derajat kualitas hidup semakin jauh saja jaraknya. Buktinya, pembangunan demi pembangunan fisik yang terjadi di kota ini tidak selaras dengan rencana tata ruang kota Manado yang sudah ditetapkan dan dirancang guna untuk kesejahteraan manusia.
Bukti nyatanya, pembangunan-pembangunan fisik bangunan yang sengaja dibangun di atas kawasan yang rawan yang semestinya dilindungi, seperti kawasan sempadan sungai. Pembangunan fisik bangunan yang sengaja dibangun dan memusnahkan sumber daya alam seperti sungai-sungai di kota Manado. Pembangunan yang sengaja merubah garis-garis pantai, seolah tidak ada model lain lagi bagi pemrakarsa pembangunan untuk bersahabat dengan alam tempat mereka berusaha. Itu bukan urusannya, pikirnya. Secara loba dan bandel memaksakan lahan tanahnya untuk menjorok ke laut, yang hanya semata-mata menambah lantai-lantai bangunan strata tittle yang bisa disewakan untuk dijadikan uang bagi pemrakarsa. Segala macam rupa alasan dilontarkan untuk mensahkan niatnya yang dia tahu pun itu adalah tindakan yang salah. Atau dia tahu bahwa itu akan merusak alamnya (dengan catatan jika masih punya mata dan rasa). Dalih, bahwa bangunan-bangunan tersebut sebagai pelengkap dari suatu kawasan peruntukkan sebagai kawasan wisata bahari (tertera dalam Rencana Tata Ruang Kota Manado 2000-2010). Pembenaran yang dilakukannya seolah masyarakat Manado tidak paham dengan peruntukkan suatu ruang kotanya.

Secara nyata atau dalam praktek membuat/mendisain suatu kawasan, dimana di dalamnya ada kawasan bisnis misalkan atau ada kawasan wisata misalkan. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) merupakan satu alat pengendalian penggunaan lahan dan ruang. Jika kawasan bisnis/komersil (didalamnya ada toko-toko atau kawasan pertokoan) biasanya ditetapkan KDB 80-85% bahkan ada yang hampir 100%. Untuk kawasan wisata, KDB ditetapkan 20-30%. Misalkan, kita memiliki lahan 100 ha di kawasan wisata (sesuai RTRK), maka lahan yang bisa ditutupi bangunan seluas 20-30 ha (20-30% dari 100 ha). Sisanya 70-80 ha adalah ruang terbuka (tidak ditutupi atap dan beton). Contoh lain lagi, jika kita memiliki tanah 1000 meter persegi di kawasan bisnis (komersil) maka luas bangunan yang boleh kita bangun di kawasan ini adalah 800-850 meter persegi atau 80-85% dari 1000 meter persegi. Sisanya 150-200 meter persegi adalah ruang terbuka. Prosentase KDB inipun dibuat berdasarkan situasi dan kondisi potensi ruang dan wilayah dari suatu daerah kabupaten/kota.

Jadi, apabila KDB suatu lahan telah mencapai 80-85% dan ditempatkan di kawasan wisata, itu berarti telah merobah peruntukkan ruangnya. Tidak usah lagi dikelabui dengan kegiatan membangun fasilitas penunjang wisata sehingga kegiatannya menjadi sah. Tidak begitu. Lihat jumlah lahan yang tertutup atap dan atau beton. Dari situ saja, tanpa melihat untuk apa kegiatan atau usaha itu, kita semua dapat menghitung, bahwa dimaksudkan oleh pembangunan fisik tersebut bukanlah semata-mata untuk wisata, tetapi membuat pusat bisnis baru yang masuk dalam peruntukkan kawasan komersil. Arti semua itu adalah merubah peruntukkan ruang dari kawasan wisata menjadi kawasan komersil. Yang selanjutnya pula, kawasan yang rentan ini telah dihuni oleh bangunan-bangunan yang mempunyai kegiatan-kegiatan yang akan mempengaruhi bahkan merusak sumberdaya alam di wilayah tersebut. Sangat ketat dan sangat teliti pengawasannya, karena itu, lebih baik kawasan wisata sekaligus kawasan lindung, jangan dijadikan kawasan komersil. Sebab, melakukan pengawasan dengan ketelitian tinggi masih merupakan pekerjaan yang sulit untuk dilaksanakan di kota Manado ini. Banyak bukti yang sudah terjadi.

Kejadian lain lagi, coba kita lihat pembangunan-pembangunan fisik lainnya seperti pembangunan rumah toko, fasilitas umum lainnya seperti rumah sakit yang dibangun di sempadan sungai-sungai dan sengaja menutupi sungai-sungai. Dan tragisnya lagi bahwa, pembangunan fisik ini bukanlah mempertimbangkan dengan kondisi alam di lokasinya melainkan cenderung merusak.

Betul, sejak belum ada RTRK Manado, sempadan sungai-sungainya sudah dihuni oleh masyarakat. Namun, saat ini semua berubah dengan cepat, dengan pertambahan penduduk yang begitu cepat, dengan meningkatnya usia harapan hidup, dengan kondisi kompetisi yang begitu tinggi, maka manusia yang menghuni bantaran sungai pun semakin meningkat. Tak terkecuali di kota Manado. Dan kini, mulai menjadi masalah. Tentulah kita akan mencari jalan yang lebih baik untuk membenahi kondisi lingkungan kota Manado yang kita miliki saat ini. Saya pikir, andapun setuju, jika kita bukan melihat contoh-contoh yang kita anggap tidak harus demikian saat ini, seperti hunian di pinggir sungai. Karena sudah diketahui dampak negatifnya, yaitu banjir dan menurun kualitas air sungai sebagai sumber air bersih kita. Perlahan-lahan pembangunan di Kota Manado harus diperbaiki, hunian di tepi sungai dibenahi, sungai-sungai dikonservasi. Maka itulah ada RTRK, agar kita semua memiliki pola pemanfaatan ruang yang baik di kota Manado kini dan untuk masa datang. Bergerak menuju perubahan, itu yang diperlukan, bukan ikut memperlambat gerak itu dengan membuat pembangunan fisik yang tidak mengacu pada RTRK yang sudah susah payah dibuat.

Pemahaman tentang sumberdaya alam yang dimiliki kota Manado yang seharusnya menjadi suatu yang dipertimbangkan seolah tidak pernah dimiliki oleh para pemberi ijin lokasi untuk kegiatan-kegiatan seperti ini. Dokumen rencana tata ruang yang sudah dibuat yang memakan biaya yang sangat mahal, hanya dijadikan pajangan (hiasan) di atas meja saja, bukan menjadi dasar pertimbangan memberikan ijin. Surat keputusan-surat keputusan menjadi alat legitimasi untuk mensahkan kegiatan yang melanggar rencana tata ruang kota Manado.
Lucu, jika kita cermati keputusan-keputusan dari pengambil kebijakan di kota ini. Berperang dengan keputusan yang telah ditetapkan sendiri, bingung dengan kebijakan yang telah ditetapkannya sendiri atau gamblangnya, bingung dengan aturannya sendiri. Kenapa demikian ya? Mau dibilang, tidak tahu tentang aturan, merekalah yang membuatnya, mau dibilang mengerti dengan aturan, kenapa aturan itu dilanggarnya sendiri? Masyarakatpun menjadi bingung melihat semua ini. Ataukah motto aturan dibuat untuk dilanggar menjadi pijakan para pengambil keputusan, sehingga apapun yang dibuat atau diputuskan menjadi sah karena motto yang telah dianggap wajar itu.

Melihat semua pembangunan fisik yang ada, semuanya hanya berangkat dari suatu konsep investasi adalah segala-galanya dan masih boleh baku ator (saling atur) sehingga aturan-aturan yang sudah dibuatnya, mulai dari rencana tata ruang kota (RTRK) Manado, ijin lokasi, ijin mendirikan bangunan (IMB) semuanya dilanggar karena baku ator (maknanya: ngana ator pa kita kita ator pa ngana/kamu atur saya, saya atur kamu) itu. Yang artinya RTRK bakal dilanggar dan tidak dijadikan arahan pembangunan yang juga sama artinya merusak lingkungan hidup kota ini. Padahal, RTRK itu dibuat dalam upaya memberikan arahan keseimbangan pemanfaatan lahan dan ruang bagi kegiatan-kegiatan manusia. RTRK dibuat untuk menyeimbangkan kawasan lindung dan kawasan budidaya dan secara umum untuk menyeimbangkan lingkungan hidup di suatu wadah tempat kita hidup. RTRK kota Manado ini dirancang atau didisain berdasarkan potensi dari masing-masing wilayah yang ada di kota ini, di mana disatu wilayah adalah kawasan lindung dan wilayah lainnya adalah kawasan budidaya (termasuk di dalamnya kawasan komersil). Tapi apa jadinya, RTRK tak berfungsi baik, dan tata letak kawasan menjadi amburadul.

Melihat semua ini, pembangunan fisik kota Manado masih saja berkompromi dengan pengrusakan lingkungan hidupnya. Melalui ijin-ijin lokasi yang dikeluarkan untuk tempat-tempat yang tidak betul yang kesemuanya itu akibat makna kegiatan baku ator.
Jika ini tetap demikian, maka, menjadi pertanyaan kita semua, apakah kita akan bisa sampai pada suatu MASYARAKAT YANG BERADAB dan SEJAHTERA seperti yang sudah di visi kan kota Manado? Wallahualam.

No comments: