Pedagang Kaki Lima (PKL) selalu saja menjadi masalah bagi kota-kota yang sedang berkembang apalagi bagi kota-kota besar yang sudah mempunyai predikat metropolitan. Kuatnya maknet bisnis kota-kota besar ini mampu memindahkan penduduk dari desa berurbanisasi ke kota dalam rangka beralih profesi dari petani menjadi pedagang kecil-kecilan. Ditambah lagi dengan berbagai krisis yang menimpah seluruh lapisan masyarakat di negara RI, sehingga menciptakan penganggur-penganggur secara cepat dan dalam jumlah yang besar. Kondisi ini memaksa mereka untuk menentukan pilihan “malu bekerja� atau “tidak makan�.
Gejolak betrokan antar etnis, agama juga menyumbang banyaknya penduduk yang berpindah dari satu daerah ke daerah yang lebih aman dengan bermodalkan seadanya untuk dapat hidup 1 atau 2 hari saja, setibanya di tempat aman mereka harus berusaha kecil-kecilan demi untuk memenuhi “kampung tenga�. Kini, tidak lagi kota yang memiliki predikat kosmopolitan atau metropolitan yang diserbu para calon pedagang tetapi juga dengan terpaksa kota atau daerah yang memiliki predikat “aman� adalah salah satu tujuan mereka. Wajar saja saya pikir. Ditinjau dari jenis usaha yang rata-rata dilakukan oleh kelompok ini maka mereka inilah yang dinamakan sebagai “pedagang kaki lima�.
Bagaimana sejarahnya kata kaki lima? ada yang memperkirakan bahwa kata kaki lima ada hubungannya dengan 2 kaki gerobak dorong abang tukang jualan ditambah dengan 2 kaki abang dan ditambah lagi dengan satu tiang yang dipasangnya pada saat mangkal.
Tapi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta, istilah kaki lima adalah lantai yang diberi atap sebagai penghubung rumah dengan rumah, arti yang kedua adalah lantai (tangga) di muka pintu atau di tepi jalan. Arti yang kedua ini lebih cenderung diperuntukkan bagi bagian depan bangunan rumah toko, dimana di jaman silam telah terjadi kesepakatan antar perencana kota bahwa bagian depan (serambi) dari toko lebarnya harus sekitar lima kaki dan diwajibkan dijadikan suatu jalur dimana pejalan kaki dapat melintas. Namun ruang selebar kira-kira lima kaki itu tidak lagi berfungsi sebagai jalur lintas bagi pejalan kaki, melainkan telah berubah fungsi menjadi area tempat jualan barang-barang pedagang kecil, maka dari situlah istilah pedagang kaki lima dimasyarakatkan. Terlepas yang mana arti yang paling benar, kedua-duanya adalah masalah yang dimaksud dan sedang dihadapi kota-kota di Indonesia saa ini.
Kota Manado tak luput dari permasalahan ini, terlihat semakin subur saja pedagang kaki lima mangkal di kota ini. Mereka ada dimana-mana, di simpul-simpul kegiatan kota Manado. Berbagai produk ditawarkan pedagang-pedagang ini baik berbentuk barang maupun jasa dengan bermodalkan keuletan dan harga yang sangat terjangkau bagi masyarakat kebanyakan di kota ini. Kenyataan yang ada (yang tidak diinginkan), kondisi ini mengakibatkan ketidakteraturannya posisi mereka dalam rangka menyambut pengunjung, sehingga kesemrawut, kemacetan lalulintas orang maupun kendaraan tak bisa lagi dihindari lagi. Dampak inipun serentak menumbuhkan titik-titik yang menganggu estetika wajah kota Manado.
Pedagang kaki lima (PKL) kebanyakan bermodal kecil yang menjalankan profesi ini hanya untuk memenuhi tuntutan biaya hidup yang makin tinggi. Kebanyakan pula dari mereka tidak mempunyai keahlian. Mereka hanya punya semangat untuk bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat saja.
Semakin berkurangnya lahan pertanian, telah memaksa sebagian besar masyarakat desa di Indonesia berpindah ke kota untuk menekuni usaha PKL ini. Seharusnya sisi ini yang mesti dipertimbangkan dalam membuat kebijakan dalam penataan pusat bisnis suatu kota, dimana tidak saja pedagang skala besar yang dipertimbangkan untuk ditata atau disiapkan lahan matang yang siap bangun, walaupun mungkin mereka baru mau diundang untuk berjualan di kota ini, yang selanjutnya mengakibatkan pemaksaan diri menambah lahan dan merusak alam untuk dijadikan lahan/tempat untuk berjualan bagi “calon pedagang skala besar�, sedangkan pedagang skala kecil diusahakan dan cenderung dipaksakan ditempatkan di lahan yang tidak direncanakan yang bakal menjadi anggota kontributor pengrusakan Teluk Manado.
Kota Manado yang sedang berada pada kondisi berbenah diri atau sedang membuat suatu “image� bolehlah memikirkan bahwa PKL tidak mesti dimusuhi atau dimusnahkan total dari pusat bisnis kota Manado, melainkan memasukkan mereka didalam penataan kota Manado dengan cara menjadikan PKL sebagai pernak-pernik (elemen) kota.
PKL sangat diperlukan masyarakat “kebanyakan� (masyarakat yang mempunyai tingkatan ekonomi menengah kebawah) di kota Manado, sehingga PKL tidak mesti dibuat terpisah sama sekali dengan kios-kios permanen yang sudah ada, tetapi dibuat berdampingan, dengan demikian akan memberikan kemudahan bagi pengunjung untuk memilih dan mencari kebutuhannya. Penataan ini sebaiknya mengarah pada konsep “one stop shopping�, dimana pengunjung mendapatkan semua kebutuhannya di satu area perbelanjaan baik kebutuhan barang dari PKL maupun dari pedagang-pedagang kios-kios yang permanen.
Banyak sekali manfaatnya jika menggunakan konsep belanja demikian seperti menghemat ongkos transportasi, mengurangi kemacetan akibat lalu-lalang kendaraan serta manusia yang secara langsung telah mengurangi kesemrawutan.
Penataan kembali pusat perbelanjaan pasar ’45 kota Manado dapat dilakukan dengan memadukan pedagang di kios-kios permanen (beton) dengan pedagang-pedagang yang ingin berada dikios temporer. Penataan ini bisa saja dimulai dengan menentukan zona-zona atau area tempat berjualan di dalam pusat perbelanjaan ’45 berdasarkan suatu analisa kegiatan, besaran dan komposisi ruang. Selanjutnya menata bentuk bangunan seperti mengganti kios-kios temporer dari PKL yang lebih terlihat sebagai barang-barang rongsokan menjadi kios-kios yang tertata apik mulai dari bentuk, warna dan bahan (material) yang kuat dan tahan lama. sehingga membentuk suatu elemen penghias Bisa juga membedakan produk jualannya dengan warna kios, sehingga memudahkan konsumen mencari kebutuhannnya. Cara inipun membantu memperlancar sirkulasi pengunjung sehingga tidak terjadi kesemrawutan (cross circulation) di dalam bangunan PKL. Juga dilengkapi dengan sarana-sarana penunjang lainnya, seperti MCK umum yang apik, yang tidak menganggu kenyamanan pengunjung serta disiapkan tempat-tempat buang sampah yang serasi dengan model bangunan PKL ini. Bisa juga dipilih model bangunan dengan sistem “knockdown� (mudah dilepas-lepas) dan dibawa pulang bersama gerobaknya atau permanen yang tinggal hanyalah tenda tempat berjualan sementara gerobak dibawa pulang. Jika akan menggunakan sistem knockdown, tentunya material yang digunakan harus kuat dan tahan lama agar tidak mudah rusak pada saat dilepas-lepaskan, hanya saja cukup merepotkan. Cara ini bisa dilakukan jika lahan PKL ini dipakai bersama dengan kegiatan lain. Jika tidak, barangkali lebih cocok menggunakan model yang permanen, yang tentunya bagunan “tenda� dan gerobaknya harus memiliki konsistensi warna sehingga tidak menimbulkan kesan semrawut bagi pemandangan pengunjungnya.
Kesatuan (unity) warna dan bentuk, harmoni, keseimbangan (balance) bentuk adalah unsur-unsur estetika yang sangat diperlukan di dalam mendisain bangunan-bangunan PKL serta bangunan-bangunan pertokoan secara mikro dan mendisain bangunan-bangunan tersebut terhadap lingkungan pusat kota secara makro. Cara ini diterapkan pula di beberapa simpul kegiatan PKL yang berada di beberapa wilayah kota Manado. Apabila PKL telah ditata kembali dan dipercantik maka PKL inipun akan menebarkan kecantikannya di wajah kota Manado secara keseluruhan.
Memang, penataan PKL ini harus diikuti dengan langkah-langkah lainnya, seperti penataan kembali perparkiran di kawasan pusat kota yang sebagian digunakan oleh PKL, juga sirkulasi kendaraan bermotor yang memasuki kawasan ini serta pelaksanaan peraturan yang berdasarkan kesepakatan bersama seperti waktu (jam) berjualan sehingga tidak ada yang menginap di dalam kios-kios PKL. Untuk itu pula pemerintah kota kita harus memiliki wibawa, konsistensi, bersih, serta terbuka dalam memonitor atau mengawasi jalannnya pelaksanaan peraturan. Jika tidak demikian. maka semua usaha akan menjadi percuma,�lagu lama� tentang masalah Pedagang Kaki Lima akan selalu terdengar di kota ini.
Gejolak betrokan antar etnis, agama juga menyumbang banyaknya penduduk yang berpindah dari satu daerah ke daerah yang lebih aman dengan bermodalkan seadanya untuk dapat hidup 1 atau 2 hari saja, setibanya di tempat aman mereka harus berusaha kecil-kecilan demi untuk memenuhi “kampung tenga�. Kini, tidak lagi kota yang memiliki predikat kosmopolitan atau metropolitan yang diserbu para calon pedagang tetapi juga dengan terpaksa kota atau daerah yang memiliki predikat “aman� adalah salah satu tujuan mereka. Wajar saja saya pikir. Ditinjau dari jenis usaha yang rata-rata dilakukan oleh kelompok ini maka mereka inilah yang dinamakan sebagai “pedagang kaki lima�.
Bagaimana sejarahnya kata kaki lima? ada yang memperkirakan bahwa kata kaki lima ada hubungannya dengan 2 kaki gerobak dorong abang tukang jualan ditambah dengan 2 kaki abang dan ditambah lagi dengan satu tiang yang dipasangnya pada saat mangkal.
Tapi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta, istilah kaki lima adalah lantai yang diberi atap sebagai penghubung rumah dengan rumah, arti yang kedua adalah lantai (tangga) di muka pintu atau di tepi jalan. Arti yang kedua ini lebih cenderung diperuntukkan bagi bagian depan bangunan rumah toko, dimana di jaman silam telah terjadi kesepakatan antar perencana kota bahwa bagian depan (serambi) dari toko lebarnya harus sekitar lima kaki dan diwajibkan dijadikan suatu jalur dimana pejalan kaki dapat melintas. Namun ruang selebar kira-kira lima kaki itu tidak lagi berfungsi sebagai jalur lintas bagi pejalan kaki, melainkan telah berubah fungsi menjadi area tempat jualan barang-barang pedagang kecil, maka dari situlah istilah pedagang kaki lima dimasyarakatkan. Terlepas yang mana arti yang paling benar, kedua-duanya adalah masalah yang dimaksud dan sedang dihadapi kota-kota di Indonesia saa ini.
Kota Manado tak luput dari permasalahan ini, terlihat semakin subur saja pedagang kaki lima mangkal di kota ini. Mereka ada dimana-mana, di simpul-simpul kegiatan kota Manado. Berbagai produk ditawarkan pedagang-pedagang ini baik berbentuk barang maupun jasa dengan bermodalkan keuletan dan harga yang sangat terjangkau bagi masyarakat kebanyakan di kota ini. Kenyataan yang ada (yang tidak diinginkan), kondisi ini mengakibatkan ketidakteraturannya posisi mereka dalam rangka menyambut pengunjung, sehingga kesemrawut, kemacetan lalulintas orang maupun kendaraan tak bisa lagi dihindari lagi. Dampak inipun serentak menumbuhkan titik-titik yang menganggu estetika wajah kota Manado.
Pedagang kaki lima (PKL) kebanyakan bermodal kecil yang menjalankan profesi ini hanya untuk memenuhi tuntutan biaya hidup yang makin tinggi. Kebanyakan pula dari mereka tidak mempunyai keahlian. Mereka hanya punya semangat untuk bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat saja.
Semakin berkurangnya lahan pertanian, telah memaksa sebagian besar masyarakat desa di Indonesia berpindah ke kota untuk menekuni usaha PKL ini. Seharusnya sisi ini yang mesti dipertimbangkan dalam membuat kebijakan dalam penataan pusat bisnis suatu kota, dimana tidak saja pedagang skala besar yang dipertimbangkan untuk ditata atau disiapkan lahan matang yang siap bangun, walaupun mungkin mereka baru mau diundang untuk berjualan di kota ini, yang selanjutnya mengakibatkan pemaksaan diri menambah lahan dan merusak alam untuk dijadikan lahan/tempat untuk berjualan bagi “calon pedagang skala besar�, sedangkan pedagang skala kecil diusahakan dan cenderung dipaksakan ditempatkan di lahan yang tidak direncanakan yang bakal menjadi anggota kontributor pengrusakan Teluk Manado.
Kota Manado yang sedang berada pada kondisi berbenah diri atau sedang membuat suatu “image� bolehlah memikirkan bahwa PKL tidak mesti dimusuhi atau dimusnahkan total dari pusat bisnis kota Manado, melainkan memasukkan mereka didalam penataan kota Manado dengan cara menjadikan PKL sebagai pernak-pernik (elemen) kota.
PKL sangat diperlukan masyarakat “kebanyakan� (masyarakat yang mempunyai tingkatan ekonomi menengah kebawah) di kota Manado, sehingga PKL tidak mesti dibuat terpisah sama sekali dengan kios-kios permanen yang sudah ada, tetapi dibuat berdampingan, dengan demikian akan memberikan kemudahan bagi pengunjung untuk memilih dan mencari kebutuhannya. Penataan ini sebaiknya mengarah pada konsep “one stop shopping�, dimana pengunjung mendapatkan semua kebutuhannya di satu area perbelanjaan baik kebutuhan barang dari PKL maupun dari pedagang-pedagang kios-kios yang permanen.
Banyak sekali manfaatnya jika menggunakan konsep belanja demikian seperti menghemat ongkos transportasi, mengurangi kemacetan akibat lalu-lalang kendaraan serta manusia yang secara langsung telah mengurangi kesemrawutan.
Penataan kembali pusat perbelanjaan pasar ’45 kota Manado dapat dilakukan dengan memadukan pedagang di kios-kios permanen (beton) dengan pedagang-pedagang yang ingin berada dikios temporer. Penataan ini bisa saja dimulai dengan menentukan zona-zona atau area tempat berjualan di dalam pusat perbelanjaan ’45 berdasarkan suatu analisa kegiatan, besaran dan komposisi ruang. Selanjutnya menata bentuk bangunan seperti mengganti kios-kios temporer dari PKL yang lebih terlihat sebagai barang-barang rongsokan menjadi kios-kios yang tertata apik mulai dari bentuk, warna dan bahan (material) yang kuat dan tahan lama. sehingga membentuk suatu elemen penghias Bisa juga membedakan produk jualannya dengan warna kios, sehingga memudahkan konsumen mencari kebutuhannnya. Cara inipun membantu memperlancar sirkulasi pengunjung sehingga tidak terjadi kesemrawutan (cross circulation) di dalam bangunan PKL. Juga dilengkapi dengan sarana-sarana penunjang lainnya, seperti MCK umum yang apik, yang tidak menganggu kenyamanan pengunjung serta disiapkan tempat-tempat buang sampah yang serasi dengan model bangunan PKL ini. Bisa juga dipilih model bangunan dengan sistem “knockdown� (mudah dilepas-lepas) dan dibawa pulang bersama gerobaknya atau permanen yang tinggal hanyalah tenda tempat berjualan sementara gerobak dibawa pulang. Jika akan menggunakan sistem knockdown, tentunya material yang digunakan harus kuat dan tahan lama agar tidak mudah rusak pada saat dilepas-lepaskan, hanya saja cukup merepotkan. Cara ini bisa dilakukan jika lahan PKL ini dipakai bersama dengan kegiatan lain. Jika tidak, barangkali lebih cocok menggunakan model yang permanen, yang tentunya bagunan “tenda� dan gerobaknya harus memiliki konsistensi warna sehingga tidak menimbulkan kesan semrawut bagi pemandangan pengunjungnya.
Kesatuan (unity) warna dan bentuk, harmoni, keseimbangan (balance) bentuk adalah unsur-unsur estetika yang sangat diperlukan di dalam mendisain bangunan-bangunan PKL serta bangunan-bangunan pertokoan secara mikro dan mendisain bangunan-bangunan tersebut terhadap lingkungan pusat kota secara makro. Cara ini diterapkan pula di beberapa simpul kegiatan PKL yang berada di beberapa wilayah kota Manado. Apabila PKL telah ditata kembali dan dipercantik maka PKL inipun akan menebarkan kecantikannya di wajah kota Manado secara keseluruhan.
Memang, penataan PKL ini harus diikuti dengan langkah-langkah lainnya, seperti penataan kembali perparkiran di kawasan pusat kota yang sebagian digunakan oleh PKL, juga sirkulasi kendaraan bermotor yang memasuki kawasan ini serta pelaksanaan peraturan yang berdasarkan kesepakatan bersama seperti waktu (jam) berjualan sehingga tidak ada yang menginap di dalam kios-kios PKL. Untuk itu pula pemerintah kota kita harus memiliki wibawa, konsistensi, bersih, serta terbuka dalam memonitor atau mengawasi jalannnya pelaksanaan peraturan. Jika tidak demikian. maka semua usaha akan menjadi percuma,�lagu lama� tentang masalah Pedagang Kaki Lima akan selalu terdengar di kota ini.
1 comment:
menarik sekali yup.....
kebetulan sy punya niat mw lakukan pemetaan terestrial PKL di desa wisata pesisir pangandaran ciamis, jabar..infonya sangat membantu, haturnuhun.......
Post a Comment