Tuesday, August 08, 2006

PERILAKU MANUSIA DIRUBAH OLEH KONDISI LINGKUNGAN HIDUPNYA

Oleh: Veronica A. Kumurur

“Sulit sekali merubah perilaku orang, tetapi yang paling mudah adalah merubah lingkungan, dan apabila lingkungan berubah maka orang akan mudah merubah perilakunya�, suatu pernyataan yang bijaksana (menurut saya) dalam upaya mencari jalan keluar (solusi) di tengah kemelut berbagai persoalan lingkungan hidup yang makin kusut saja.


Mari kita lihat beberapa contoh dari pernyataan di atas, bagaimana perilaku manusia dirubah oleh kondisi lingkungan hidupnya. Orang Indonesia pada umumnya jika dia berada di negaranya (atau di daerahnya masing-masing) tak mau antri di dalam menunggu sesuatu, tak mau membuang sampah pada tempatnya, tak mau menggunakan jembatan penyeberangan saat menyeberang jalan, tak mau menjadi pengemudi yang santun di jalanan. Sehingga seringkali kita melihat situasi yang semrawut, sampah-sampah berserakan, orang-orang menyeberang jalan tanpa aturan, kendaraan umum yang ugal-ugalan tak tau aturan di dalam berlalu-lintas, sampah-sampah berserakan, cekcok dan rasa tak nyaman gara-gara tak antri. Situasi ini sering kita lihat di kota-kota besar di Indonesia, seperti juga kota Manado saat ini. Situasi lingkungan perkotaan yang terjadi di kota ini adalah hasil dari suatu akal sehat bersama yang cenderung berbentuk aksi negatif. Kondisi tersebut sangat memalukan diri sendiri, apalagi dilihat oleh bangsa lain yang sedang berkunjung ke daerah kita. Dan yang paling penting situasi ini membuat tak nyaman bagi masyarakat kota ini yang masih mau mengikuti aturan.

Nah, mari kita lihat perilaku orang-orang Indonesia (umumnya), apabila berada di luar negara Indonesia, seperti di negara tetangga Singapura (contoh). Mereka melakukan tindakan/aksi yang positif dimana semuanya pada “nurut� atau patuh dengan situasi negara ini. Harus antri untuk menunggu apa saja seperti menunggu taksi, antri di toko, dll, pokoknya semuanya mesti antri. Dilarang meludah di lantai, dilarang buang sampah sebab akan dikenakan denda. Tak ada satupun orang Indonesia bahkan orang Manado barangkali yang ingin mencoba di denda di Singapura (misalkan) gara-gara menyeberang sembarangan atau meludah dan membuang sampah sembarangan. Selain mahal bayarannya, juga ada rasa malu terhadap tuan rumah negara itu. Begitulah, perilaku orang-orang Indonesia (termasuk di dalamnya orang dari Sulawesi Utara) yang dengan cepat beradaptasi membentuk perilaku yang baik mereka di negara orang. Ternyata yang namanya orang Indonesia termasuk didalamnya orang Sulawesi Utara itu umumnya bisa diajak teratur di negeri orang dan ini suatu yang sangat luar biasa (fantastik). Mengapa demikian? Ya, pasti ada sesuatu yang membuat manusia-manusia itu melakukan perubahan-perubahan tersebut. Menurut S. Kaplan dalam buku Psikologi Lingkungan (Sarwono, 1992) bahwa manusia itu pada dasarnya adalah mahkluk yang berakal sehat (man is reasonable person). Sebagai makhluk berakal sehat, maka ia selalu ingin menggunakan akal sehatnya, namun ia tidak selalu dapat melakukannya.

Hal ini bergantung pada faktor yang mempengaruhinya seperti situasi dan kondisi lingkungan. Masih menurut S. Kaplan bahwa manusia sebagai makhluk berakal sehat berbeda dari manusia sebagai makhluk rasional. Selanjutnya menurut Prof. Sarlito Wirawan Sarwono (pakar psikologi) bahwa rasio tidak bergantung pada situasi, sedangkan akal sehat bergantung pada situasi. Sebagai makhluk rasional, misalkan manusia tahu apabila membuang sampah sembarangan, ia akan mengotori lingkungan dan hal ini berlaku dimana saja dan kapan saja. Namun, jika manusia itu kebetulan sedang berada di tempat yang memang sudah kotor dan penuh dengan sampah, akal sehatnya berkata bahwa tidak apalah ia menambah sedikit sampah lagi di tempat itu daripada dia harus membawanya ke tempat sampah yang belum tentu ada di sekitar tempat itu.

Apabila ia berada di suatu tempat yang memang terjaga kebersihannya, akal sehatnya akan mengatakan bahwa tidak layak ia mengotori tempat itu walau hanya dengan setitik abu. Tempat sampah sudah tersedia disitu sehingga manusia dengan akal sehatnya membuang sampah pada tempatnya.

Beberapa contoh yang kita lihat di Singapura (salah satu negara contoh), lingkungan perkotaannya memperhatikan akal sehat manusianya, dimana pemerintah negara ini sengaja menyediakan sarana-sarana yang mendukung aturan-aturan yang mereka buat. Ada “zebra cross� yang kira-kira berjarak 100 meter melintas di jalan raya “Orchard Road� sebagai area tempat menyeberang untuk menunjang disiplin bagi pejalan kaki. Ada tempat-tempat sampah yang disiapkan disana untuk menunjang aturan kebersihan lingkungan. Ada ruang khusus bagi perokok baik di kotanya maupun di tempat-tempat pusat keramaian untuk menunjang “saling menghormati orang lain� didalam mendapatkan hak udara bersih. Ada tulisan “Please Queue�/silahkan antri dan ada lintasan khusus untuk itu. Ada jalan-jalan khusus di “High way�/jalan tol-nya yang bertuliskan “Keep Left�/silahkan ambil jalur kiri bagi truk-truk, dan jalur itu jelas bagi pengemudinya. Tidak ada satupun yang tidak “Keep Left� sebab ada sanksi disana. Semua itu menunjang suatu kesepakatan bersama dalam berdisiplin. Akal sehat mereka dilatih untuk melakukan aksi positif yang menguntungkan orang banyak.

Melatih memiliki kesadaran dan sportifitas apabila telah berbuat kesalahan atau penyimpangan terhadap kesepakatan yang sudah disetujui. Satu contoh, ada teman saya (warganegara Singapura) yang sengaja membayar sekian dollar Singapura yang dimasukkan pada satu kotak yang tersedia, sebab dia sadar sudah melewati kecepatan kendaraan yang telah ditentukan oleh pemerintah negaranya dan ia harus membayar denda. Dia tidak mau menunda membayarnya, sebab jika ia terlambat ia dengan mudah diketahui dan dia akan mendapatkan sanksi lebih berat sebab nomor plat mobilnya sudah otomatis tercatat melalui kamera-kamera yang terpasang di jalan raya. Tak heran, jika berkunjung di negara ini, polisi yang berkeliaran hanya cukup dihitung dengan jari tangan saja, mungkin karena masyarakatnya kurang melakukan pelanggaran.

Ada situasi fisik yang terlihat dan langsung mengatur gerak-gerik atau perilaku manusia-manusianya. Saling percaya disana dan terlebih saling menghormati hak hidup orang lain dan hak mendapatkan sumberdaya alam tercipta akibat lingkungan fisik yang teratur. Tidak ada yang main curang disana, yang sengaja mencari-cari kesalahan masyarakat disana hanya untuk mendapatkan tambahan pendapatan kota atau negara. Umumnya semuanya patuh, karena mereka sangat merasakan akibat kepatuhannya. Negara dan kota mereka menjadi baik, tertata rapih, indah dan sehat. Tak heran jika mereka mendapatkan predikat kebersihan “Mr. Clean of Asia�. Jadi ada aturan disana, ada sanksi bagi pelanggar aturan dan semua itu (aturan & sanksi) di tunjang oleh kelengkapan fisik (sarana-sarana) lingkungan tersebut.

Kembali ke negara kita Indonesia atau langsung saja kita ke kota Manado (misalkan), kota kecil yang semakin marak saja pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, dan semakin marak pula pengrusakan lingkungan dan pelanggaran-pelanggaran di berbagai sektor. Orang-orang yang patuh di negara orang (seperti Singapura) yang baru pulang, kini berbondong-bondong melakukan pelanggaran, membuang sampah dimana-mana, melakukan pengrusakan jalan-jalan raya melalui truk-truk yang mengangkut tanah-tanah bakal urugan ke laut untuk keperluan usaha pribadinya, melanggar jam-jam angkut tanah yang sudah disepakati (malam hari), dan melakukan tindakan-tindakan kompromi yang merugikan masyarakat, merampas hak masyarakat terhadap sumberdaya alam, masyarakat menyeberang sembarangan di jalan-jalan raya tanpa ada rasa takut, meludah di sembarangan tempat, buang air kecil di sembarangan tempat (umumnya dilakukan kaum lelaki, maaf), sengaja mengotori depan rumah orang dengan tumpukan sampah, parkir sembarangan di jalan raya yang mengakibatkan macet, mengotori sungai-sungai dengan kotoran-kotoran ternak dan sampah, menebang pohon-pohon peneduh, “menyegat� taksi dan kendaraan umum di sembarang tempat, merokok di ruang AC tak peduli apa akibatnya bagi yang tidak merokok dan menghirup asapnya. Begitulah yang terjadi di kota Manado, semuanya serba bisa dilakukan dan umumnya akal sehat masyarakatnyapun seolah menyetujui kondisi ini. Tak ada aturan lagi rasanya.

Masyarakat terkena sindrom “cuek� atau tak peduli lagi dengan sekelilingnya. Semua menjadi hal yang biasa dan layak dilakukan. Mengapa demikian? Ya, karena yang ada di kota Manado hanyalah aturan dan sanksinya yang “½ matang� atau kurang jelas dan tidak “membumi� dibuatnya atau cenderung “asal ada saja�. Aturan-aturan tersebut belum ditunjang dengan pembentukan lingkungan fisik, misalkan tidak adanya lokasi tempat menyeberang yang benar dan direncanakan, tidak memiliki jembatan penyeberangan, tidak memiliki halte yang memadai yang dirancang dengan perhitungan matang, tidak memiliki terminal yang terencana baik, tidak memiliki “guidelines/penuntun� bagi pemanfaatan lahan kota Manado, tidak digunakannya aturan bagi pengusaha lahan penimbunan pantai Manado dan tidak memiliki aturan-aturan yang siap dilaksanakan atau “applicable’ bagi masyarakat kota ini. Tidak siknifikan sanksi langsung bagi masyarakat kota ini (pemerintah, rakyat dan pelaku ekonomi) terhadap pelanggaran aturan-aturan yang ada . Semuanya tidak teratur, itulah yang membentuk perilaku “cuek-bebek/tidak peduli sama sekali� masyarakat kota ini terhadap lingkungan sekitarnya. Kalaupun ada yang peduli, seringkali menjadi orang aneh di tempat ini, dan seolah orang yang peduli itu tak lagi memiliki akal sehat karena telah tertutup oleh akal sehat orang yang tak peduli yang jumlahnya masih lebih banyak dibandingkan yang peduli.
Masyarakat membentuk dirinya melalui proses penyesuaian diri yang begitu hebatnya, sehingga situasi yang semrawut ini membuatnya bisa hidup dan “survive� padahal kondisi fisik lingkungannya sangat tidak sehat lagi. Berdasarkan teori bahwa manusia masih mempunyai kecenderungan untuk selalu mengerti lingkungan dimana ini merupakan salah satu ciri utama manusia sebagai makhluk berakal sehat (S. Kaplan dalam Sarwono 1992) maka kita masih mempunyai harapan untuk membenahi lingkungan hidup kota Manado dan Sulawesi Utara.

Menurut Baker dalam buku Sarwono.W (1992) bahwa tingkah laku tidak hanya ditentukan oleh lingkungan dan sebaliknya, melainkan kedua hal itu saling menentukan dan tidak dapat dipisahkan, teori ini sering membuat kita bingung di dalam mengambil keputusan dimana kita akan memulai melakukan pembenahan ibarat teori “ayam dan telur�, mana duluan. Teori yang sering berkonotasi “mencari kambing hitam� didalam penyelesaian permasalahan.

Namun, tanpa melupakan siapa penyebab kerusakan lingkungan hidup di kota Manado dan bahkan di Sulawesi Utara, mari kita menatap kedepan, mencari solusi, mencari “point�awal untuk memulai pembenahan. Saya mengusulkan untuk memilih “point� memperbaiki lingkungan hidup saja dulu daripada memilih memperbaiki perilaku. Di dalam pembenahan lingkungan hidup ini kita memilih sub-lingkungan buatan (fisik) kota Manado saja, dimana tujuan kita adalah membenahi lingkungan fisik yang dilengkapi oleh aturan-aturan dan sanksi yang akan memberikan perubahan perilaku (behaviour) seluruh masyarakat penghuni kota ini.

Merubah perilaku masyarakat kota Manado maupun Sulawesi Utara yang pada umumnya tak hanya patuh/“nurut�, menghormati aturan dan menjaga lingkungan hidup bangsa/negara orang lain, tetapi juga melakukan sikap positif tersebut di negerinya sendiri. Berdasarkan pengamatan dibeberapa tempat, di beberapa negara dan berdasarkan referensi serta teori-teori yang dibaca, bahwa membenahi lingkungan tempat kita hidup merupakan hal yang tak sulit dibandingkan dengan membenahi atau me�luruskan� langsung sifat atau perilaku masyarakatnya.

Jadi ayo! Marilah kita mulai bersepakat membenahi “point� lingkungan hidup kota Manado. Saatnya kini, kita mesti mulai, jangan menunda lagi sebab kerusakan lingkungan hidup terus saja terjadi yang tentunya bakal merusak perilaku masyarakat kita juga (saat ini dan masa datang).

PEMBANGUNAN FISIK DI KOTA MANADO SELALU “KOMPROMI� DENGAN PENGRUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP

Oleh: Veronica A. Kumurur

Mewujudkan kota Manado yang asri, berorientasi pada kepentingan masyarakat dan peran global, dengan meningkatkan kualitas pelayanan umum berdasarkan rencana penataan ruang kota.

Itulah salah satu misi pembangunan jangka panjang Kota Manado yang tercantum pada Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2001 tentang Rencana Strategis Kota Manado 2000-2025. Suatu cita-cita yang ideal yang rasanya sulit digapai, jika melihat kondisi kota Manado saat ini. Namun, memang katanya jika membuat misi harus yang ideal, tentunya harapannya bahwa pembangunan di kota Manado paling tidak mendekati kondisi ideal ini. Dan seharusnya misi itulah yang menjadi target pembangunan segala bidang di kota Manado termasuk pembangunan fisiknya. Misi bersama berarti cita-cita bersama berarti pula komitmen bersama.

Walaupun ideal rasanya, bukan berarti komitmen itu hanya suatu slogan yang mempermanis laporan-laporan, pidato-pidato para pemimpin di depan para tamu dan juga masyarakat. Bukan pula misi tersebut hanya menjadi syarat dari suatu pergantian kepemimpinan. Bukan hanya menjadi lip service atau sorga talinga (telinga) atau kata-kata yang sulit dicerna dan akhirnya sampai pada “tau ach gelap (yang artinya tidak mengerti). Tidak semestinya demikian. Kini, visi, misi adalah sesuatu yang ideal yang mesti diwujudkan secara perlahan-lahan didalam suatu rangkaian pembangunan. Bisa dievaluasi secara kasat mata, dan juga menjadi ajang penilaian sukses tidaknya suatu kinerja seorang kepala dinas misalkan, penggunaan retribusi yang tepat dan sesuai misalkan, dan lain sebagainya.

"Sapa so" nyandak suka mo lia pembangunan di kota Manado? (siapa yang tidak ingin melihat pembangunan di kota Manado?). Semua warga kota Manado suka dengan pembangunan. Torang suka investor maso pa torang pe wilayah kecamatan, torang masyarakat so setuju dengan pembangunan mall itu (kami suka investor masuk di wilayah kecamatan kami, kami setuju pembangunan mall itu) ya, suara-suara masyarakat dari wilayah-wilayah kecamatan-kecamatan di kota Manado. Ramai-ramai masyarakat mengeluarkan suara tanda setuju, tanpa memikirkan lagi apakah betul bangunan itu cocok dengan wilayah kecamatannya yang memiliki pesisir pantai yang panjang, memiliki sungai-sungai yang rawan banjir. Yang penting bahwa kecamatannya memiliki kompleks perdagangan, dimana ada bangunan-bangunan mega, ada pusat perbelanjaan. Terlihat ini pula menjadi ajang penilaian suksesnya pembangunan di wilayah kecamatan itu. Apakah ini tandanya, otonomi daerah sukses dilaksanakan? Entah. Terlepas dari semua itu, itulah ekspresi masyarakat Manado yang selalu senang menerima pembangunan dan kemajuan kota tercinta ini.

Dapat dimaklumi, bahwa dengan adanya pusat-pusat bisnis, tentunya bakal meningkatkan prestise wilayah tersebut. Di lain sisi pula, dengan adanya pusat-pusat bisnis ini dapat menyebarkan penduduk kota Manado. Penduduk kota ini tidak lagi menumpuk di satu titik seperti di pasar 45, tetapi tersebar di beberapa wilayah kecamatan di kota Manado. Solusi yang baik sebetulnya. Namun, aplikasi solusi (jalan keluar) ini perlu di studi kelayakannya (feasibility), baik dari aspek teknis, aspek ekonomi dan aspek lingkungan. Kita masyarakat kota Manado, menginginkan bersama agar kota Manado menjadi kota yang berkelanjutan dan secara perlahan dan pasti akan segera menjadi kota yang memiliki masyarakat seperti yang dicita-citakan seperti tergambar pada misi pembangunan jangka panjang kota ini. Dan semua itu bukan lagi hanya menjadi angan-angan.

Keseimbangan lingkungan hidup (sosial, buatan dan alam) menjadi syarat utama bagi suatu wadah atau ruang (suatu kota misalkan) agar menjadi berkelanjutan dan manusiawi. Secara konkrit (nyata) ketiga aspek kelayakan inilah yang menjadi parameter yang menentukan kelangsungan hidup suatu wilayah. Aspek ekonomi, dimana kajian ekonomi yang memperhatikan kelangsungan siklus-siklus ekonomi. Kajian ekonomi dilakukan agar pembiayan terhadap pembangunan terus terjadi (kontinu). Aspek teknis, aspek yang mengkaji tentang kekuatan dan keberlangsungan bangunan itu tegak berdiri. Kajian terhadap keamanan bangunan itu bagi pemakainya. Aspek lingkungan, kajian yang mengulas apakah kegiatan atau usaha ini layak terhadap lingkungan dimana akan diletakkannya. Apakah sumberdaya alam tidak terganggu akibat kegiatan-kegiatan ini, apakah kegiatan-kegiatan akan menghasilkan dampak negatif penting dan besar terhadap lingkungan sosial dimana lokasi ini berada. Itu makanya semua aspek dikaji agar tidak membuat kekeliruan dalam membangun kota tercinta kita ini.

Barangkali kita sudah sering melihat atau membaca kajian-kajian kelayakan ekonomi dan kelayakan teknis suatu usaha atau kegiatan yang seringkali disebut dengan studi kelayakan (feasibility study/FS). Jangan lupa, masih ada dokumen satu lagi yang mestinya dilampirkan bersama dengan FS tersebut, itulah dokumen kelayakan lingkungan atau dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Jika semua dokumen itu dibuat benar dan baik, maka cita-cita untuk menjadikan kota yang terpelihara dengan masyarakat yang sehat jasmani dan rohani serta masyarakat yang sejahtera bakal tercapai.

Kini, mari kita lihat kota kita Manado. Kota yang semakin sarat dengan pembangunan fisik. Jika dihitung, kota Manado berkembang setiap jam. Mau buktinya? Lihat saja, batu bata yang setiap menit disusun oleh para pekerja di kawasan pusat bisnis menjadi satu dinding bangunan. Lihat saja, pekerjaan pemancangan tiang-tiang fondasi bangunan, yang setiap jam bertambah masuk 1 meter ke dalam tanah, yang artinya semakin tertancapnya tiang-tiang itu maka siap memikul dinding-dinding bata yang bakal ada diatasnya. Setiap detik, setiap jam berubah dengan cepat. Perairan Pantai Teluk Manado pun ikut berubah dari ekosistem perairan menjadi ekosistem daratan. Semua dirampas begitu saja oleh lajunya dinding-dinding bata membentuk bangunan-bangunan masif yang kokoh dan sombong.

Dan kini sebagian masyarakat hanya memaklumi itu sebagai satu kesalahan di era orde baru, walaupun ada gerutuanya, torang so nya ada pante for mo batobo akang (ya, kami tak punya pantai lagi untuk tempat berenang). Dan ada juga yang mensyukurinya, untung sekarang so reklamasi, so bagus, kalu dulu blum reklamasi, itu pinggir pante jadi tampa buang tinja dengan sampah-sampah, begitulah komentar dari beberapa masyarakat yang hanya melihat meganya bangunan-bangunan itu.

Betul! siapa yang tidak suka dengan gagahnya bangunan-bangunan itu, gemerlapnya lampu-lampu di malam hari, dari pada mencium bau tidak enak terbawa angin laut ke darat. Namun perlu diingat bahwa tidak semua strata masyarakat yang hidup di kota Manado ini dapat menikmati semua itu dengan baik, karena fasilitas ini, hanya akan menjangkau strata masyarakat menengah ke atas.

Berbeda, jika ruang-ruang itu disulap dengan fasilitas yang dapat dinikmati oleh semua strata (tingkatan), di mana di satu wadah atau ruang diciptakan fasilitas untuk masyarakat strata menengah ke bawah (seperti ruang-ruang umum bebas biaya/gratis for tampa lewat deng tampa batobo/tempat lewat dan tempat berenang) dan di bagian lainnya adalah fasilitas untuk strata masyarakat menengah ke atas seperti toko-toko dengan barang-barang mewah dengan suasana yang membuat orang lupa bahwa sudah 5 jam mengitari area mewah nan menyenangkan itu. Tersadar, saat akan membayar biaya parkir yang tercatat otomatis oleh mesin pencatat waktu lima ribu perak. Kedua kebutuhan ini sebaiknya dicampur menjadi satu untuk digunakan secara bersama tanpa harus memilih (mix use). Paling tidak area tersebut mengakomodir kebutuhan beragam masyarakat kota Manado yang tidak hanya dihuni oleh kaum yang bisa membayar ongkos parkir 5 jam dengan 5000 rupiah. Itulah kenyataan yang sedang kita hadapi saat ini.

Perkiraan bahwa, tidak akan terulang lagi kesalahan yang sama di wilayah lain di kota Manado, kini ternyata meleset. Perkiraan bahwa para pembuat keputusan dalam kebijakan kota Manado untuk tidak akan membuat kesalahan baru dimana melaksanakan pembangunan fisik yang merusakan lingkungan kota ternyatapun tidak terwujud. Kawasan bisnis di Boulevard yang disetujui di era orde baru menjadi referensi suatu kebenaran pembangunan di kota Manado. Cilakanya, terlihat para pembuat keputusan kebijakan menyetujui cara membangun yang demikian, cara membangun yang memporakporandakan lingkungan hidup tanpa terlihat membuat perimbangan perlindungan terhadap lingkungan.

Slogan membawa kota Manado dan masyarakatnya sehat jasmani dan rohani dan meningkatkan derajat kualitas hidup semakin jauh saja jaraknya. Buktinya, pembangunan demi pembangunan fisik yang terjadi di kota ini tidak selaras dengan rencana tata ruang kota Manado yang sudah ditetapkan dan dirancang guna untuk kesejahteraan manusia.
Bukti nyatanya, pembangunan-pembangunan fisik bangunan yang sengaja dibangun di atas kawasan yang rawan yang semestinya dilindungi, seperti kawasan sempadan sungai. Pembangunan fisik bangunan yang sengaja dibangun dan memusnahkan sumber daya alam seperti sungai-sungai di kota Manado. Pembangunan yang sengaja merubah garis-garis pantai, seolah tidak ada model lain lagi bagi pemrakarsa pembangunan untuk bersahabat dengan alam tempat mereka berusaha. Itu bukan urusannya, pikirnya. Secara loba dan bandel memaksakan lahan tanahnya untuk menjorok ke laut, yang hanya semata-mata menambah lantai-lantai bangunan strata tittle yang bisa disewakan untuk dijadikan uang bagi pemrakarsa. Segala macam rupa alasan dilontarkan untuk mensahkan niatnya yang dia tahu pun itu adalah tindakan yang salah. Atau dia tahu bahwa itu akan merusak alamnya (dengan catatan jika masih punya mata dan rasa). Dalih, bahwa bangunan-bangunan tersebut sebagai pelengkap dari suatu kawasan peruntukkan sebagai kawasan wisata bahari (tertera dalam Rencana Tata Ruang Kota Manado 2000-2010). Pembenaran yang dilakukannya seolah masyarakat Manado tidak paham dengan peruntukkan suatu ruang kotanya.

Secara nyata atau dalam praktek membuat/mendisain suatu kawasan, dimana di dalamnya ada kawasan bisnis misalkan atau ada kawasan wisata misalkan. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) merupakan satu alat pengendalian penggunaan lahan dan ruang. Jika kawasan bisnis/komersil (didalamnya ada toko-toko atau kawasan pertokoan) biasanya ditetapkan KDB 80-85% bahkan ada yang hampir 100%. Untuk kawasan wisata, KDB ditetapkan 20-30%. Misalkan, kita memiliki lahan 100 ha di kawasan wisata (sesuai RTRK), maka lahan yang bisa ditutupi bangunan seluas 20-30 ha (20-30% dari 100 ha). Sisanya 70-80 ha adalah ruang terbuka (tidak ditutupi atap dan beton). Contoh lain lagi, jika kita memiliki tanah 1000 meter persegi di kawasan bisnis (komersil) maka luas bangunan yang boleh kita bangun di kawasan ini adalah 800-850 meter persegi atau 80-85% dari 1000 meter persegi. Sisanya 150-200 meter persegi adalah ruang terbuka. Prosentase KDB inipun dibuat berdasarkan situasi dan kondisi potensi ruang dan wilayah dari suatu daerah kabupaten/kota.

Jadi, apabila KDB suatu lahan telah mencapai 80-85% dan ditempatkan di kawasan wisata, itu berarti telah merobah peruntukkan ruangnya. Tidak usah lagi dikelabui dengan kegiatan membangun fasilitas penunjang wisata sehingga kegiatannya menjadi sah. Tidak begitu. Lihat jumlah lahan yang tertutup atap dan atau beton. Dari situ saja, tanpa melihat untuk apa kegiatan atau usaha itu, kita semua dapat menghitung, bahwa dimaksudkan oleh pembangunan fisik tersebut bukanlah semata-mata untuk wisata, tetapi membuat pusat bisnis baru yang masuk dalam peruntukkan kawasan komersil. Arti semua itu adalah merubah peruntukkan ruang dari kawasan wisata menjadi kawasan komersil. Yang selanjutnya pula, kawasan yang rentan ini telah dihuni oleh bangunan-bangunan yang mempunyai kegiatan-kegiatan yang akan mempengaruhi bahkan merusak sumberdaya alam di wilayah tersebut. Sangat ketat dan sangat teliti pengawasannya, karena itu, lebih baik kawasan wisata sekaligus kawasan lindung, jangan dijadikan kawasan komersil. Sebab, melakukan pengawasan dengan ketelitian tinggi masih merupakan pekerjaan yang sulit untuk dilaksanakan di kota Manado ini. Banyak bukti yang sudah terjadi.

Kejadian lain lagi, coba kita lihat pembangunan-pembangunan fisik lainnya seperti pembangunan rumah toko, fasilitas umum lainnya seperti rumah sakit yang dibangun di sempadan sungai-sungai dan sengaja menutupi sungai-sungai. Dan tragisnya lagi bahwa, pembangunan fisik ini bukanlah mempertimbangkan dengan kondisi alam di lokasinya melainkan cenderung merusak.

Betul, sejak belum ada RTRK Manado, sempadan sungai-sungainya sudah dihuni oleh masyarakat. Namun, saat ini semua berubah dengan cepat, dengan pertambahan penduduk yang begitu cepat, dengan meningkatnya usia harapan hidup, dengan kondisi kompetisi yang begitu tinggi, maka manusia yang menghuni bantaran sungai pun semakin meningkat. Tak terkecuali di kota Manado. Dan kini, mulai menjadi masalah. Tentulah kita akan mencari jalan yang lebih baik untuk membenahi kondisi lingkungan kota Manado yang kita miliki saat ini. Saya pikir, andapun setuju, jika kita bukan melihat contoh-contoh yang kita anggap tidak harus demikian saat ini, seperti hunian di pinggir sungai. Karena sudah diketahui dampak negatifnya, yaitu banjir dan menurun kualitas air sungai sebagai sumber air bersih kita. Perlahan-lahan pembangunan di Kota Manado harus diperbaiki, hunian di tepi sungai dibenahi, sungai-sungai dikonservasi. Maka itulah ada RTRK, agar kita semua memiliki pola pemanfaatan ruang yang baik di kota Manado kini dan untuk masa datang. Bergerak menuju perubahan, itu yang diperlukan, bukan ikut memperlambat gerak itu dengan membuat pembangunan fisik yang tidak mengacu pada RTRK yang sudah susah payah dibuat.

Pemahaman tentang sumberdaya alam yang dimiliki kota Manado yang seharusnya menjadi suatu yang dipertimbangkan seolah tidak pernah dimiliki oleh para pemberi ijin lokasi untuk kegiatan-kegiatan seperti ini. Dokumen rencana tata ruang yang sudah dibuat yang memakan biaya yang sangat mahal, hanya dijadikan pajangan (hiasan) di atas meja saja, bukan menjadi dasar pertimbangan memberikan ijin. Surat keputusan-surat keputusan menjadi alat legitimasi untuk mensahkan kegiatan yang melanggar rencana tata ruang kota Manado.
Lucu, jika kita cermati keputusan-keputusan dari pengambil kebijakan di kota ini. Berperang dengan keputusan yang telah ditetapkan sendiri, bingung dengan kebijakan yang telah ditetapkannya sendiri atau gamblangnya, bingung dengan aturannya sendiri. Kenapa demikian ya? Mau dibilang, tidak tahu tentang aturan, merekalah yang membuatnya, mau dibilang mengerti dengan aturan, kenapa aturan itu dilanggarnya sendiri? Masyarakatpun menjadi bingung melihat semua ini. Ataukah motto aturan dibuat untuk dilanggar menjadi pijakan para pengambil keputusan, sehingga apapun yang dibuat atau diputuskan menjadi sah karena motto yang telah dianggap wajar itu.

Melihat semua pembangunan fisik yang ada, semuanya hanya berangkat dari suatu konsep investasi adalah segala-galanya dan masih boleh baku ator (saling atur) sehingga aturan-aturan yang sudah dibuatnya, mulai dari rencana tata ruang kota (RTRK) Manado, ijin lokasi, ijin mendirikan bangunan (IMB) semuanya dilanggar karena baku ator (maknanya: ngana ator pa kita kita ator pa ngana/kamu atur saya, saya atur kamu) itu. Yang artinya RTRK bakal dilanggar dan tidak dijadikan arahan pembangunan yang juga sama artinya merusak lingkungan hidup kota ini. Padahal, RTRK itu dibuat dalam upaya memberikan arahan keseimbangan pemanfaatan lahan dan ruang bagi kegiatan-kegiatan manusia. RTRK dibuat untuk menyeimbangkan kawasan lindung dan kawasan budidaya dan secara umum untuk menyeimbangkan lingkungan hidup di suatu wadah tempat kita hidup. RTRK kota Manado ini dirancang atau didisain berdasarkan potensi dari masing-masing wilayah yang ada di kota ini, di mana disatu wilayah adalah kawasan lindung dan wilayah lainnya adalah kawasan budidaya (termasuk di dalamnya kawasan komersil). Tapi apa jadinya, RTRK tak berfungsi baik, dan tata letak kawasan menjadi amburadul.

Melihat semua ini, pembangunan fisik kota Manado masih saja berkompromi dengan pengrusakan lingkungan hidupnya. Melalui ijin-ijin lokasi yang dikeluarkan untuk tempat-tempat yang tidak betul yang kesemuanya itu akibat makna kegiatan baku ator.
Jika ini tetap demikian, maka, menjadi pertanyaan kita semua, apakah kita akan bisa sampai pada suatu MASYARAKAT YANG BERADAB dan SEJAHTERA seperti yang sudah di visi kan kota Manado? Wallahualam.

PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) DAN POTENSINYA MEMPERCANTIK

Pedagang Kaki Lima (PKL) selalu saja menjadi masalah bagi kota-kota yang sedang berkembang apalagi bagi kota-kota besar yang sudah mempunyai predikat metropolitan. Kuatnya maknet bisnis kota-kota besar ini mampu memindahkan penduduk dari desa berurbanisasi ke kota dalam rangka beralih profesi dari petani menjadi pedagang kecil-kecilan. Ditambah lagi dengan berbagai krisis yang menimpah seluruh lapisan masyarakat di negara RI, sehingga menciptakan penganggur-penganggur secara cepat dan dalam jumlah yang besar. Kondisi ini memaksa mereka untuk menentukan pilihan “malu bekerja� atau “tidak makan�.

Gejolak betrokan antar etnis, agama juga menyumbang banyaknya penduduk yang berpindah dari satu daerah ke daerah yang lebih aman dengan bermodalkan seadanya untuk dapat hidup 1 atau 2 hari saja, setibanya di tempat aman mereka harus berusaha kecil-kecilan demi untuk memenuhi “kampung tenga�. Kini, tidak lagi kota yang memiliki predikat kosmopolitan atau metropolitan yang diserbu para calon pedagang tetapi juga dengan terpaksa kota atau daerah yang memiliki predikat “aman� adalah salah satu tujuan mereka. Wajar saja saya pikir. Ditinjau dari jenis usaha yang rata-rata dilakukan oleh kelompok ini maka mereka inilah yang dinamakan sebagai “pedagang kaki lima�.

Bagaimana sejarahnya kata kaki lima? ada yang memperkirakan bahwa kata kaki lima ada hubungannya dengan 2 kaki gerobak dorong abang tukang jualan ditambah dengan 2 kaki abang dan ditambah lagi dengan satu tiang yang dipasangnya pada saat mangkal.

Tapi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta, istilah kaki lima adalah lantai yang diberi atap sebagai penghubung rumah dengan rumah, arti yang kedua adalah lantai (tangga) di muka pintu atau di tepi jalan. Arti yang kedua ini lebih cenderung diperuntukkan bagi bagian depan bangunan rumah toko, dimana di jaman silam telah terjadi kesepakatan antar perencana kota bahwa bagian depan (serambi) dari toko lebarnya harus sekitar lima kaki dan diwajibkan dijadikan suatu jalur dimana pejalan kaki dapat melintas. Namun ruang selebar kira-kira lima kaki itu tidak lagi berfungsi sebagai jalur lintas bagi pejalan kaki, melainkan telah berubah fungsi menjadi area tempat jualan barang-barang pedagang kecil, maka dari situlah istilah pedagang kaki lima dimasyarakatkan. Terlepas yang mana arti yang paling benar, kedua-duanya adalah masalah yang dimaksud dan sedang dihadapi kota-kota di Indonesia saa ini.

Kota Manado tak luput dari permasalahan ini, terlihat semakin subur saja pedagang kaki lima mangkal di kota ini. Mereka ada dimana-mana, di simpul-simpul kegiatan kota Manado. Berbagai produk ditawarkan pedagang-pedagang ini baik berbentuk barang maupun jasa dengan bermodalkan keuletan dan harga yang sangat terjangkau bagi masyarakat kebanyakan di kota ini. Kenyataan yang ada (yang tidak diinginkan), kondisi ini mengakibatkan ketidakteraturannya posisi mereka dalam rangka menyambut pengunjung, sehingga kesemrawut, kemacetan lalulintas orang maupun kendaraan tak bisa lagi dihindari lagi. Dampak inipun serentak menumbuhkan titik-titik yang menganggu estetika wajah kota Manado.

Pedagang kaki lima (PKL) kebanyakan bermodal kecil yang menjalankan profesi ini hanya untuk memenuhi tuntutan biaya hidup yang makin tinggi. Kebanyakan pula dari mereka tidak mempunyai keahlian. Mereka hanya punya semangat untuk bertahan di tengah persaingan yang semakin ketat saja.

Semakin berkurangnya lahan pertanian, telah memaksa sebagian besar masyarakat desa di Indonesia berpindah ke kota untuk menekuni usaha PKL ini. Seharusnya sisi ini yang mesti dipertimbangkan dalam membuat kebijakan dalam penataan pusat bisnis suatu kota, dimana tidak saja pedagang skala besar yang dipertimbangkan untuk ditata atau disiapkan lahan matang yang siap bangun, walaupun mungkin mereka baru mau diundang untuk berjualan di kota ini, yang selanjutnya mengakibatkan pemaksaan diri menambah lahan dan merusak alam untuk dijadikan lahan/tempat untuk berjualan bagi “calon pedagang skala besar�, sedangkan pedagang skala kecil diusahakan dan cenderung dipaksakan ditempatkan di lahan yang tidak direncanakan yang bakal menjadi anggota kontributor pengrusakan Teluk Manado.

Kota Manado yang sedang berada pada kondisi berbenah diri atau sedang membuat suatu “image� bolehlah memikirkan bahwa PKL tidak mesti dimusuhi atau dimusnahkan total dari pusat bisnis kota Manado, melainkan memasukkan mereka didalam penataan kota Manado dengan cara menjadikan PKL sebagai pernak-pernik (elemen) kota.

PKL sangat diperlukan masyarakat “kebanyakan� (masyarakat yang mempunyai tingkatan ekonomi menengah kebawah) di kota Manado, sehingga PKL tidak mesti dibuat terpisah sama sekali dengan kios-kios permanen yang sudah ada, tetapi dibuat berdampingan, dengan demikian akan memberikan kemudahan bagi pengunjung untuk memilih dan mencari kebutuhannya. Penataan ini sebaiknya mengarah pada konsep “one stop shopping�, dimana pengunjung mendapatkan semua kebutuhannya di satu area perbelanjaan baik kebutuhan barang dari PKL maupun dari pedagang-pedagang kios-kios yang permanen.

Banyak sekali manfaatnya jika menggunakan konsep belanja demikian seperti menghemat ongkos transportasi, mengurangi kemacetan akibat lalu-lalang kendaraan serta manusia yang secara langsung telah mengurangi kesemrawutan.

Penataan kembali pusat perbelanjaan pasar ’45 kota Manado dapat dilakukan dengan memadukan pedagang di kios-kios permanen (beton) dengan pedagang-pedagang yang ingin berada dikios temporer. Penataan ini bisa saja dimulai dengan menentukan zona-zona atau area tempat berjualan di dalam pusat perbelanjaan ’45 berdasarkan suatu analisa kegiatan, besaran dan komposisi ruang. Selanjutnya menata bentuk bangunan seperti mengganti kios-kios temporer dari PKL yang lebih terlihat sebagai barang-barang rongsokan menjadi kios-kios yang tertata apik mulai dari bentuk, warna dan bahan (material) yang kuat dan tahan lama. sehingga membentuk suatu elemen penghias Bisa juga membedakan produk jualannya dengan warna kios, sehingga memudahkan konsumen mencari kebutuhannnya. Cara inipun membantu memperlancar sirkulasi pengunjung sehingga tidak terjadi kesemrawutan (cross circulation) di dalam bangunan PKL. Juga dilengkapi dengan sarana-sarana penunjang lainnya, seperti MCK umum yang apik, yang tidak menganggu kenyamanan pengunjung serta disiapkan tempat-tempat buang sampah yang serasi dengan model bangunan PKL ini. Bisa juga dipilih model bangunan dengan sistem “knockdown� (mudah dilepas-lepas) dan dibawa pulang bersama gerobaknya atau permanen yang tinggal hanyalah tenda tempat berjualan sementara gerobak dibawa pulang. Jika akan menggunakan sistem knockdown, tentunya material yang digunakan harus kuat dan tahan lama agar tidak mudah rusak pada saat dilepas-lepaskan, hanya saja cukup merepotkan. Cara ini bisa dilakukan jika lahan PKL ini dipakai bersama dengan kegiatan lain. Jika tidak, barangkali lebih cocok menggunakan model yang permanen, yang tentunya bagunan “tenda� dan gerobaknya harus memiliki konsistensi warna sehingga tidak menimbulkan kesan semrawut bagi pemandangan pengunjungnya.

Kesatuan (unity) warna dan bentuk, harmoni, keseimbangan (balance) bentuk adalah unsur-unsur estetika yang sangat diperlukan di dalam mendisain bangunan-bangunan PKL serta bangunan-bangunan pertokoan secara mikro dan mendisain bangunan-bangunan tersebut terhadap lingkungan pusat kota secara makro. Cara ini diterapkan pula di beberapa simpul kegiatan PKL yang berada di beberapa wilayah kota Manado. Apabila PKL telah ditata kembali dan dipercantik maka PKL inipun akan menebarkan kecantikannya di wajah kota Manado secara keseluruhan.

Memang, penataan PKL ini harus diikuti dengan langkah-langkah lainnya, seperti penataan kembali perparkiran di kawasan pusat kota yang sebagian digunakan oleh PKL, juga sirkulasi kendaraan bermotor yang memasuki kawasan ini serta pelaksanaan peraturan yang berdasarkan kesepakatan bersama seperti waktu (jam) berjualan sehingga tidak ada yang menginap di dalam kios-kios PKL. Untuk itu pula pemerintah kota kita harus memiliki wibawa, konsistensi, bersih, serta terbuka dalam memonitor atau mengawasi jalannnya pelaksanaan peraturan. Jika tidak demikian. maka semua usaha akan menjadi percuma,�lagu lama� tentang masalah Pedagang Kaki Lima akan selalu terdengar di kota ini.


KOTA MANADO: LINGKUNGAN YANG NYAMAN BAGI PENGHUNINYA ?


Abad ke-21 ini telah dicanangkan sebagai era perkotaan, karena lebih separuh penduduk dunia akan berada di daerah perkotaan. Melihat perkembangan kota-kota di dunia di abad ini menurut Prof. Eko Budihardjo bahwa kondisi kota-kota kecil akan berubah menjadi kota besar, kota-kota besar akan berkembang jadi kota raya (metropolis), kota-kota rayapun akan mekar menjadi kota mega (megapolis), dan jika tidak hati-hati kota ini akan berakhir dengan kedudukan tragis sebagai kota mayat (necropolis). Tak pelak lagi model ini mewabah pada kota-kota di Indonesia, termasuk kota Manado.


Kota Manado yang kian hari kian mengalami perubahan baik pada wajah kota maupun pada kebijakan-kebijakan yang merupakan akses dari suatu perkembangan kota. Tentunya semua itu bertujuan untuk membuat kota Manado menjadi lebih baik, menjadi kota ini lebih ideal. Namun, yang menjadi pertanyaan bagi kita sebagai masyarakatnya adalah: kota ini lebih ideal dan lebih baik untuk siapa? Apakah untuk masyarakat penghuninya ataukah untuk masyarakat yang hanya menjadi pengunjung kota ini (wisman, wisnu dan investor)? Pembangunan yang begitu pesat sedang terjadi di kota ini, yang lebih cenderung berkembang pada dua jalur yang berbeda yang sama-sama berkembang dan memiliki kecepatan berkembang yang tidak sama. Perubahan wajah kota Manado dari wajah yang “biasa saja “ atau “sederhana� menjadi wajah yang memiliki polesan-polesan yang menakjubkan yang mengikuti perkembangan jaman ini atau yang dikenal dengan istilah “water front city�, “kota di bibir Pasific�, dan lain-lain. Harapan pembuat konsep ini adalah menggoda setiap Wisnu dan Wisman maupun investor untuk berkunjung di kota ini, sehingga disadari atau tidak sudah mengorbankan kenyamanan penghuni kota ini.

Kota Manado kini tidak lagi memiliki lokasi pemandangan dan pantai (di dalam kota) yang gratis bagi pengunjungnya, semuanya mesti bayar, apalagi jika bangunan-bangunan “mall� sudah rampung di bangun. Saat ini sudah bisa kita saksikan bersama apabila melewati lokasi pembangunan “mall� ini di sepanjang pantai Teluk Manado, dimana “main entrance� atau pintu-pintu masuk yang siap dioperasikan dan lengkap dijaga “satpam’ nya jika bangunan-bangunan ini sudah berfungsi. Apa artinya? kita masyarakat Manado tidak bisa lagi menikmati sejuknya air laut dan indahnya pantai dari dekat yang pernah menjadi milik kita. Hanya orang-orang tertentu yang membayar parkir ataupun hanya pemandangan laut hanya bisa dinikmati pada jam-jam tertentu.

Dan bisa dipastikan barisan bangunan di sepanjang pantai Teluk Manado akan menjadi indah apabila di pandang dari laut. Menjadi elemen kota yang menarik minat penonton untuk ikut memainkan modalnya di kota ini.

Tapi, sudahkah kita membayangkan apa yang akan kita alami nanti jika sepanjang jalan Boulevard itu menjadi pusat kegiatan belanja atau menjadi zona komersil? Apalagi ada rencana membuat terminal di areal ini dan lokasi pedagang kaki lima. Kemacetan lalulintas akibat keluar-masuk kendaraan ke pusat perbelanjaan yang berada sepanjang jalan Boulevard yang akan sering mengalami “cross circulation� atau sirkulasi silang antara kendaraan yang satu dengan kendaraan yang lain, apalagi jalan Boulevard merupakan jalan utama (dilihat dari ukuran) kota Manado. Dapat dibayangkan kondisi kemacetan lalulintas yang akan terjadi jika ditambah lagi dengan terminal kota yang akan dibangun di lokasi “reklamasi� ini, jika hal ini tidak diantisipasi.

Padahal dalam disiplin ilmu perencanaan kota yang dikenal kaidah, bahwa kota adalah cerminan peradaban manusia yang merupakan senyawa kontekstual dari lingkungan fisik alam maupun buatan, fungsi pelayanan dan jasa, estetika, dan implikasi politik-sosial-ekonomi-budaya-pertahanan-keamanan dengan tujuan akhir adalah peningkatan kesejahteraan dan kenyamanan warganya. Untuk itu perencanaan kota Manado tidak sekedar terpatok pada aspek fisik dan visual saja yang hanya bersifat “kosmetik� melainkan harus sangat serius mempertimbangkan faktor “kebetahan� penghuninya (masyarakatnya) dan faktor ekologi atau keseimbangan lingkungannya. Kedua faktor ini yang akan menghantarkan kota ini pada kota yang Manusiawi dan kota yang berlanjut.

Kita (masyarakat kota Manado) terdiri dari masyarakat yang normal dan yang tidak normal (cacat). Semua fasilitas kota cenderung hanya diperuntukan bagi masyarakat yang normal, bagi yang cacat yang memakai kursi roda, tidak bisa berjalan sendiri, karena tidak ada jalur untuk mereka. Secara nyata mereka menjadi "the outsider" di kota ini.

Sedangkan fasilitas umum bagi yang bisa jalan sendiripun hampir-hampir tidak ada, misalnya shelter, jembatan penyeberangan, pedestrian yang merangkap tempat berteduh. Bagi masyarakat yang hanya mengandalkan kendaraan umum, setiap saat harus mengalami siksaan terik matahari (yang yang menyengat kulit dan menurunkan stamina kerja. Belum lagi siksaa macet dan asap-asap kendaraan yang tidak laik jalan sehingga mengakibatkan polusi udara yang mengakibatkan meningkatkan "stress". Perbaikan ini sangat penting dilakukan dan harus didahulukan dibandingkan dengan pemolesan wajah kota yang hanya bersifat visualisasi bentuk bangunan-bangunan yang dianggap “entry point�.

Saat ini, kota dengan konsep perencanaan yang sederhana dan naturalpun akan menjadi lebih bernilai efektif jika memberikan pertimbangan yang besar terhadap keberadaan masyarakat kota ini. Sekarang, apakah konsep perencanaan ruang (pola pemanfaatannya dan wujud struktural) kota Manado hanya akan memberikan ketertarikan visual bagi pengunjung (wisnu, wisman dan investor) yang hanya datang dan pergi begitu saja? Ataukah sudah/sedang memperhitungkan nilai “kenyamanan� dan “kebetahan� masyarakat sebagai penghuni tetap kota Manado ini?

Melihat kenyataan ini, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa pembangunan yang sedang terjadi lebih mementingkan masyarakat pengunjung (wisnu, wisman dan investor) kota ini daripada kenyamanan masyarakat penghuni kota ini. Jika tidak segera diantisipasi dengan serius dan sedini mungkin konsep kota seperti ini akan membuat tingkat kenyamanan masyarakat kota Manado menjadi berkurang dan akan memungkinkan masalah-masalah sosial yang tidak terkendali terjadi. Dan jika alam terluka dan menjadi tidak seimbang akibat ulah manusia pasti disuatu waktu alam akan membalas dan mengamuk.



MANADO KOTA PANTAI vs LINGKUNGAN/SUMBERDAYA ALAM

Veronica Kumurur

Keindahannya suatu karya arsitektur tidak saja dinilai dari penampilannya di siang hari, di mana komposisi dan warnanya karya itu menjadi faktor penentu nilai keindahan. Penampilan estetika di malam hari sangat menentukan penilaiannya. Kota Manado sedang berbenah diri dan sudah memilih predikat “Kota Pantai (water-front city)". Dulu kurang lebih 10 tahun lalu, jika kita memandang Kota Manado dari Tinoor di malam hari, hanya sekumpulan kedipan-kedipan lampu yang tidak beraturan. Kini jika kita berada di daerah yang lebih tinggi dari daratan kota ini, misalnya dari arah pegunungan Sea akan terlihat suatu pemandangan yang cantik sekali, dimana ada satu garis yang terdiri dari sekumpulan lampu membentuk hampir setengah lingkaran di daerah pinggir pantai Teluk Manado.

Terlihat ada satu keteraturan yang dipancarkan dari sinar-sinar lampu yang tentunya di pasang secara beraturan. Indah, itulah yang bisa diucapkan saat kita memandang penampilan pantai Manado di malam hari. Memang itulah yang musti ditampilkan jika kota ini memilih predikat kota Pantai, karena itu yang akan menjadi nilai jual nantinya. Kota Singapura adalah contoh yang sangat baik dari suatu kota Pantai. Kota ini tidak saja tampil menawan di siang hari dengan komposisi-komposisi massa bangunan yang teratur baik dari model, tinggi bangunan dan bentuk bangunan, tapi juga tampil menakjubkan di malam hari, yang tidak saja di tepi pantainya, tapi sampai di pusat kotanya dan di sepanjang jalan-jalan di kota ini. Penataan lampu-lampu yang sudah diatur sedemikian rupa dan seragam di setiap bangunannya. Walaupun sudah selesai melayani konsumen, bangunan dan kota ini masih ingin menampilkan keindahannya di malam hari. Seolah kota ini tidak ingin tidur dan masih mau berkata �saya ingin tetap indah sepanjang hari (24 jam)�. Singapura yang tindak saja kota Pantai tapi juga dibentuk sebagai “service city�. Sukses suatu pembangunan pasti memiliki konsekuensi kerusakan lingkungan, apalagi yang tidak direncanakan dengan baik (unwell-planned), hanya bagaimana kita mampu meminimalkan kerusakan yang terjadi.

Kota Manado yang memilih lingkungan buatannya sebagai kota pantai, telah merelakan sebagian besar lingkungan alamnya untuk di konversi menjadi lingkungan buatan, dengan demikian tentunya banyak konsekuensi yang harus di terima. Sempadan pantai Teluk Manado yang seharusnya adalah kawasan lindung yang bertugas sebagai zona pelindung terhadap lingkungan alam pantai Manado, kini menjadi lahan lingkungan buatan (kawasan budidaya) yang sangat memiliki potensi merusak lingkungan pantai ini (ekosistem laut & pantai). Zona pertahanan lingkungan perairan laut sudah terbuka, sehingga sangat besar kemungkinan kerusakan yang akan di akibatkan oleh kegiatan di lahan ini, jika tidak diminimalkan.

Bisa kita bayangkan daerah sepanjang sempadan pantai kota Manado seluas (48,5 ha) akan dibangun kegiatan/usaha komersil seperti pertokoan (Mall), Hotel, dan kegiatan privat seperti perumahan mewah, marina, dan fasilitas pendukung lainnya. Masing-masing kegiatan ini sangat memberikan kontribusi yang besar terhadap pencemaran pantai dan laut, melalui limbah-limbah domestik (rumah tangga, hotel, marina). Jika tidak di kelola secara cermat dan diawasi secara ketat, kondisi ini akan menjadi seperti kondisi perairan Teluk Jakarta tepatnya di lokasi Taman Impian Jaya Ancol, dimana secara kasat mata tidak bisa lagi melihat ikan-ikan yang asik berenang, perairan sudah tertutupi sampah minyak (oil) dari kegiatan marinanya. Belum lagi sampah-sampah rumah tangga lannya yang membuat airnya tak memiliki bau yang khas air laut lagi.

Bagi kota Manado hal ini belum terlambat dilakukan, konsekuensi menggunakan teknologi maju dalam mengelolah limbah di lahan ini harus dilakukan. Barangkali pengolahan limbah (sewage treatment plant/STP) secara bersama (community) di lahan ini sudah dan sangat diperlukan, dimana STP ini dikelola oleh pemerintah daerah kita agar mudah dipantau dan tidak ada lagi keluhan tentang kerusakan alat yang sering dilontarkan oleh para pengusaha yang menggunakan lahan ini.

Konsekuensi ini harus diambil dan dilakukan agar Kota Manado ini tetap dengan predikat Kota Pantai yang indah, yang tidak saja dilihat dari Tinoor atau pegunungan Sea atau hanya “Lip Service� saja, tetapi benar-benar indah apabila kita berada di dalam Kota Manado dimana adanya keserasian antara suatu lingkungan buatan (techno-system) dan lingkungan alam (eco-system). Memang tidak gampang apabila kita tidak melakukan “tindakan yang nyata �, dan tidak juga sulit untuk dilakukan jika kita semua warga di kota Manado memiliki komitmen yang sama untuk menampilkan “Wajah Kota Pantai yang serasi dengan Lingkungannya�.





Monday, August 07, 2006

KOTA MANADO MASIH SEPERTI “DESA YANG BESAR�

Oleh: Veronica A. Kumurur

Tanggal 14 Juli 2002, Kota Manado berulang tahun ke 379 tahun. Sejak didirikan kota ini pada tahun 1623 hingga saat ini, perubahan perluasan wilayah dari luas 2.369 ha menjadi 15.726 ha (0,57% dari luas wilayah Propinsi Sulawesi Utara).

Kota Manado yang menjadi ibukota Propinsi Sulawesi Utara (Kabupaten Minahasa, Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Sangihe Talaud, Kota Bitung dan Kota Manado sendiri) dituntut untuk menjadi satu kota yang tentunya bisa di sejajarkan dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia dan minimal seperti Makassar. Bukan hanya kategori dan jenis kotanya saja, tetapi juga bentuk, kondisi dan kegiatan yang terjadi di Kota Manado betul-betul bernuansakan suatu kota. Namun tentunya tak meninggalkan kualitas lingkungan perkotaan dan keberlanjutan semua yang ada di dalam ini. Pembangunan harus tetap terus menyeimbangkan lingkungan (lingkungan buatan/binaan) dengan lingkungan alam (ekosistem) juga lingkungan sosialnya. Keseimbangan lingkungan hidup akan ditentukan pula oleh kualitas rancangan kotanya (urban design). “Urban Design� adalah bagian dari proses perencanaan untuk mencapai kualitas fisik suatu lingkungan hidup (Hamid Shirvani dalam bukunya The Urban Design Process yang diterbitkan pada tahun 1985). Mengapa demikian? sebab di dalam proses merancang suatu kota, kita akan merancang bentuk fisik dan bentuk ruang dari lingkungan hidup itu. Jadi betapa pentingnya rancangan suatu kota untuk dianalisis dan diperhitungkan dengan baik dan jitu.

Kini diusianya ke 379 tahun, Kota Manado masih dengan “dandanan� atau rancangan yang memberikan kesan seperti suatu “desa yang besar�. Suasana Kota Manado minus kawasan Central Business District (CBD) barunya yang kegiatan dan fasilitas penunjangnya masih seperti umumnya desa-desa yang ada di sekitar kota Manado. Walaupun Kota Manado sudah tergolong orde dua namun secara kasat mata jika kita perhatikan elemen-elemen pembentuk kota, masih saja berorientasi pada kesan “desa�, sementara akibat informasi global, kondisi sebagian besar masyarakat penghuninya sedang menggunakan teknologi yang sudah berada pada posisi kriteria masyarakat kota.
Kota Manado yang diberikan “image� sebagai “water front city� dan ada juga yang menyebutkan sebagai “service city� sudah harus memaksa kota ini untuk melakukan peningkatan percepatan dalam pembangunan sarana-sarana penunjang kota. Kondisi yang tak dapat di tolak atau ditunda untuk terjadi di Kota Manado yang nyaris tak dapat diimbangi oleh tersedianya sarana dan prasarana layaknya suatu kota. Seolah virus “kota besar� terpaksa harus diderita oleh Kota Manado, tanpa menunggu apakah ini siap atau tidak. Tanpa menunggu apakah masyarakatnya mampu mengikuti perkembangan kota baik secara fisik maupun non-fisik dan apakah “tools� pelaksanaan sudah ada atau belum. Sehingga perlu adanya upaya antisipasi terlebih dahulu terhadap suasana ini, dengan cara membuat dokumen rencana pengembangan kota saat ini dan masa datang (contoh: dokumen Rencana Tata Ruang Kota). Upaya ini membimbing kita semua penghuni kota ini agar tidak bingung dan kaget terhadap pengembangan-pengembangan yang mesti dilakukan kota ini.

Suatu kota yang dicirikan oleh peningkatan aktivitas, peningkatan kepadatan penduduk dan peningkatan kemacetan, kini sedang terjadi di Kota Manado. Namun, diusia yang tua ini, kota Manado masih berada diposisi transisi atau semi kota (menurut Kriteria Rancangan Pedoman Perencanaan Lingkungan Perumahan untuk Kota-kota di Indonesia) dimana sebagian kegiatan dan kehidupan kotanya masih dipengaruhi oleh suasana perdesaan. Contohnya, lokasi tempat bekerja belum terpisah sama sekali atau masih bercampur dengan lokasi hunian. Begitu pula dengan pemanfaatan lahan di kota Manado, dimana luas lahan terbesar masih diperuntukkan bagi kegiatan perkebunan/pertanian (11.267,35 ha). Tentunya kegiatan perkebunan/pertanian masih merupakan kegiatan andalan Kota Manado. Suasana perdesaan, dapat kita lihat pula pada beberapa aspek lainnya.

KONDISI JALAN & FASILITAS BAGI PEJALAN KAKI


Ketersediaan sarana infrastruktur seperti jalan-jalan (lebar dan fasilitas jalan) yang kelihatannya tak layak lagi mendukung kegiatan Kota Manado. Jalan yang harusnya memiliki badan jalan yang cukup untuk lalu-lalang kendaraan-kendaraan bermotor yang melintasi Kota Manado, juga jalan bagi pejalan kaki. Kota Manado yang masih dikelilingi oleh jalan raya sekualitas jalan raya di desa-desa sekitarnya. Yang kita tau bersama bahwa jalan-jalan desa tersebut hampir tak pernah dilewati oleh kendaraan-kendaraan beroda empat, sehingga jalan-jalan tersebut masih utuh, walaupun hanya dibuat dengan kualitas campuran konstruksi jalan yang kurang baik (sesuai dengan standar desa itu). Jalan-jalan desa yang sebagian besar jalannya tak memiliki trotoar. Saya memperhatikan dan mengamati, bahwa sarana infrastruktur suatu kota, seharusnya lebih ramah dan manusiawi dibandingkan dengan sarana infrastruktur suatu desa. Misalkan, suatu kota harus melengkapi kotanya dengan lintasan-lintasan bagi pejalan kakinya (juga bagi orang cacat) baik anak-anak maupun orang dewasa ataupun bagi pengendara sepeda. Namun apa yang kita lihat di kota yang tua ini? Sebagian besar wilayahnya tak memiliki sarana bagi masyarakatnya. Masyarakatnya harus dengan hati-hati dan was-was berjalan di jalan raya yang tak memiliki trotoar, sebab bisa saja tersambar oleh kendaraan-kendaraan yang disupiri oleh pengendara yang baru lulus dari pelatihan.

Apalagi kondisi jalan raya yang naik-turun mengikuti kontur/topografi kota ini dengan ukuran lebar yang pas-pasan untuk 2 kendaraan dari jalur yang berbeda dan tak cukup dilewati kendaraan apabila ada pejalan kaki disana. Kondisi ini membuat pejalan kaki dan pengendara sama-sama was-was melewati jalan tersebut. Di jalan yang lain, masyarakat dengan susah payah melakukan perlawanan terhadap padatnya kendaraan-kendaraan bermotor saat menyeberangi jalan. Saya melihat Kota Singapura sangat memperhatikan kenyamanan warganya. Disiapkannya lintasan bagi penyeberang jalan, dan penyeberang jalan sangat dihormati haknya oleh kendaraan-kendaraan bermotor. Ada lintasan khusus bagi pejalan kaki yang tak menganggu lalu-lintas yang ada di ini. Di Kota Bangkok, pejalan kaki dapat melintasi jalan “high-way� yang begitu menakutkan itu, melalui jalan-jalan yang sengaja dibuat (walaupun mahal harga konstruksinya) bagi pejalan kaki. Sangat dihormati hak-hak pejalan kaki disana, kita tidak akan takut tertabrak kendaraan-kendaraan yang berkecepatan tinggi. Ada fasilitas halte (tempat menunggu bis) disana dan kendaraan-kendaraan umum patuh berhenti di tempat yang telah disiapkan (Jakarta sudah memulai itu). Di kota tua ini, hanya ada halte-halte yang sudah sejak 20 tahun yang lalu (tahun 1982) berdiri disana tanpa di rehabilitasi, ada juga jembatan penyeberangan disana yang mungkin satu saat konstruksi besi bajanya akan lelah dan roboh seketika.

Kembali lagi kita melihat kondisi jalan raya kita. Jika ada trotoar, lebarnya tak lagi ideal atau sesuai stardar yang ditentukan untuk pejalan kaki. Tidak dapat dipahami ini, apakah memang rancangan trotoar memang di buat demikian (tak memperhitungkannya dengan baik) ataukah trotoar ini dibuat sesuai dengan pesanan anggaran yang telah ditetapkan. Jadi bukan dibuat karena memang dibutuhkan dan fungsinya diperlukan, tetapi dibuat hanya untuk menjadi “prong-prong� (hiasan) jalan saja. Namun, jika diamati ada dilema juga, apabila ada trotoar yang lebar, langsung saja menjadi area penjualan bagi kaki lima, dan sanksi tegaspun tak dilakukan.

KONDISI FASILITAS UMUM LAINNYA


Kondisi fasilitas umum seperti angkutan umum, telpon umum, toilet umum, area parkir, masih saja menjadi masalah yang serius dan tidak diperhatikan di Kota Manado yang sudah tua ini. Warna kendaraan-kendaraan angkutan umum (omprengan) di kota tua ini sudah mengikuti standar nasional, yaitu warna biru. Namun cara mengoperasikannya masih menggunakan cara-cara tradisional. Masih ada tawar menawar harga untuk mencapai tujuan tertentu. Saya ingat, hal itu terjadi pada waktu kota tua ini masih menggunakan kendaraan umum yang namanya bemo. Saya harus menanyakan, apakah dia mau mengantarkan saya menuju lokasi rumah saya di “Zipur-Pakowa�, dan untuk memastikan itu, saya harus menggunakan beberapa waktu untuk menunggu supirnya berkata “ya� (itu 21 tahun yang lalu). Saat itu saya pikir tak menjadi soal sebab kondisi kota tua Manado masih sepi dan waktu belum menjadi hal penting. Kini, disaat waktu menjadi ukuran segala-galanya, situasi itu masih ada, dan apa akibatnya? banyak waktu terbuang percuma dan inilah yang merupakan salah satu biang kemacetan padahal “trayek� sudah ditetapkan. Herannya, sopirnya pun “aji-mumpung� (kebetulan) dan menjadi tidak soal baginya. Jika anda datang ke Jakarta, dan menggunakan omprengan disana situasi ini tak akan pernah dijumpai. Dan ada satu hal lagi yang menjadi biang kemacetan, yaitu cara membayar. Sebagian besar penumpang yang saya amati, seringkali tidak mempersiapkan “ongkos� opletnya terlebih dahulu, sehingga pas penumpang itu turun, mesti mencari lagi dari dompetnya yang sudah susah payah dia keluarkan dari tas atau kantong celana.

Tentunya cara ini memerlukan waktu, sehingga tak heran jika terjadi kemacetan (misalkan di jalan raya Kampus Unsrat) hanya karena penunmpangnya sedang membayar ongkos omprengan. Saya pikir tindakan ini jangan dipraktekkan di Kota Jakarta. Para penumpang sekaligus dengan supir dan kondekturnya rame-rame akan “menggerutui� anda. Si kondektur ikut juga memberikan tambahan kata-kata bagi anda, seperti ini “makanya disiapin dong ongkosnya sebelum turun, ngabisin waktu aja� (maka itu uangnya disiapkan terlebih dahulu sebelum turun, sehingga tak menghabiskan waktu menunggu). Ini tandanya betapa berharganya waktu itu, menunggu semenit saja serasa tidak bisa terjadi bagi omprengan ini.

Di Kota Manado, tidak hanya “omprengan� saja yang demikian (tawar-menawar harga), ternyata yang namanya taksi-pun demikian. Di kota tua ini masih ada taksi yang tak punya argo beroperasi keliling kota tua Manado, padahal taksi ini dipanggil dengan menggunakan radio panggil yang canggih. Saya sempat bertanya pada pak’ supir taksi dua hari yang lalu, kenapa argonya tidak di pasang? Dengan tenangnya pak’ supir berkata “memang bagitu ini taksi ini diai� (memang demikian taksi ini). “Kalu mo pesan, musti bilang pesan oto baru� (jika mau pesan katakan pesan mobil yang baru), wah, cilakan saya bilang, berapa banyak orang asing atau pendatang yang akan “kecele� (ketipu) dengan menaiki taksi yang model demikian. Ternyata kondisi ini sudah berlangsung lama, setua mobil taksi tersebut.


Dan sepertinya kondisi ini tidak menjadi soal bagi masyarakat pengguna jasa taksi ini. Yang penting naik taksi (mungkin), uang yang dicari dengan susah paya bukan menjadi ukuran bahwa sudah tertipu, yang penting gengsi naik taksi. Barangkali pemikiran demikian masih merebak di kepala setiap masyarakat pengguna jasa ini sehingga ada rasa tak peduli dengan fasilitas publik yang satu ini. Padahal masyarakat dan kotanya ingin memajukan industri pariwisatanya, tapi mustahil maju dan berkembang jika fasilitas umum seperti ini tak diurus. Siapa instansi yang berwenang untuk mengevaluasi dan menindakinya semua ini? Pariwisatakah atau Perhubungan?

Satu hal lagi yang janggal atau aneh disini, lebih banyak warung telpon (wartel) dibandingkan dengan fasilitas telpon umum yang ada di gardu-gardu telpon. Jika kita akan buru-buru saat akan menggunakan telpon gardu, kita tak mudah mendapatkannya disini. Miskin telpon umum (gardu), rasanya kita tinggal di desa yang sulit mencari telpon umum. Di kota lain seperti Yogyakarta, Surabaya, Makasar tak sulit untuk mencari telpon umum. Saya sempat bertanya sendiri di tengah kekesalan, kenapa susah mencari telpon umum ya? Dan saya mendapati jawabannya, ternyata sebagian besar box telpon umum tersebut telah berada di lokasi warung-warung telpon tertentu. Mengapa demikian? Apakah sengaja meniadakan telpon-telpon gardu hanya untuk memajukan wartel-wartel itu. Kasihan masyarakat kita, tidak semua memiliki telpon genggam dan bukankah dengan adanya telpon gardu ini sudah mengajari dan memberikan pengalaman pada masyarakatnya untuk menggunakan telpon gardu. Pengalaman inikan’ dapat dipraktekkan jika mendapat kesempatan untuk datang ke kota lain di Indonesia maupun di luar negeri yang rata-rata menggunakan fasilitas telpon gardu ini. Itulah fasilitas komunikasi yang paling mudah didapat dan juga melatih kita untuk menggunakan fasilitas umum secara baik dan benar.

KONDISI MASYARAKATNYA


Dari semua itu, tak terlepas pula dengan kondisi masyarakat penghuni kota tua ini. Akibat tidak adanya fasilitas-fasilitas yang memadai, terpaksa masyarakat harus “survive� atau bertahan dengan kondisi ini. Kota Manado tak memiliki fasilitas fisik yang dapat merubah perilaku masyarakat menjadi perilaku masyarakat kota. Sehingga mustahil pula perilaku “ndeso� bisa berubah menjadi perilaku orang kota. Bukan pula saya memvonis bahwa orang desa tidak tau aturan. Masyarakat desa yang homogen itu tentunya punya aturan adat atau norma kampungnya sendiri yang seringkali aturan desa yang satu berbeda dengan desa yang lain. Bisa saja aturan A cocok di desa sana tetapi tidak sesuai dengan di desa sini. Nah, kota dihuni oleh masyarakat dari berbagai desa dengan berbagai ragam budaya (heterogen), sehingga harus ada aturan baru yang bersifat komunal (umum) dan dapat diterima oleh semua orang yang datang ke kota itu. Aturan yang cenderung membentuk perilaku yang sama dan seragam bagi masyarak kota. Jika tidak demikian, dimana setiap masyarakat pendatang membawa aturan desanya sendiri-sendiri, maka kacaulah kota itu.

Jika kita mengamati perilaku masyarakat yang ada di kota-kota besar seperti Jakarta, Singapura kita akan mendapati perilaku masyarakat kota ini spontan sama. Coba kita lihat, mereka akan bersama-sama menyeberangi jalan; mereka akan bersama-sama menggunakan jembatan penyeberangan; mereka akan bersama-sama antri di bank, di mesin ATM, di gardu telpon; mereka akan mencari tempat sampah yang sama apabila dia berada di satu lokasi yang sama sebab sudah diketahui dimana tempatnya; mereka akan bersama-sama tidak merokok di sembarangan tempat; mereka akan bersama-sama berjalan kaki di zona yang telah ditentukan tidak boleh dilewati oleh kendaraan (contoh: Pasar Baru Jakarta). Semua serentak secara bersama-sama terjadi. Mengapa demikian? Karena telah disiapkan perangkat untuk mengatur perilaku masyarakat kotanya.

Di Kota Manado, para pejalan kaki, yang masih saja berjalan di tengah jalan, mereka tidak takut dan tidak menghiraukan kendaraan yang akan lewat di jalan itu. Mereka bukan hanya berjalan, tetapi “ngerumpi� (diskusi) ditengah jalan, tak peduli dengan klakson mobil di belakangnya. Saya sempat berpikir, “mungkin kasiang ini orang-orang baru datang dari kampung kang?� (mungkin mereka baru datang dari kampungnya?). Di kampung/desa itu, justru mobil yang harus mengalah apabila secara bersamaan jalan tersebut sedang dilewati oleh “tua-tua kampung� atau “jawara-jawara kampung� (jagoan kampung) atau yang merasa jagoan. Kendaraan yang lewat mesti maklum dan tak boleh memprotesnya, jika ingin mobilnya mulus tak bercacat lewat dengan baik di kampung yang dilintasinya. Ini juga dilakukan oleh supir-supir kendaraan-kendaraan omprengan di Manado yang tanpa dosa berhenti di tengah jalan hanya untuk mengambil penumpang. Merekapun tak peduli mobil yang sedang antri di belakangnya dan tak bisa lewat karenanya. Yang lebih gila lagi, sopir tersebut yang malah memarahi kendaraan yang meminta jalan di belakangnya. Inilah kebiasaan di desanya yang dia bawa masuk ke kota, dimana jalan raya di kota adalah daerah kekuasaannya seperti juga jalan di desa. Nah, situasi kampung masih dibawa oleh sebagian masyarakat di Kota Manado yang mengakibatkan Kota Manado terlihat masih seperti suasana desa. Itu terjadi dimana-mana di Kota Manado, sehingga terlihat melebar dan meluas sehingga terkesan suasana Kota Manado masih seperti desa yang besar.

Ini baru ditinjau dari beberapa aspek saja, yang bisa saya amati. Masih banyak aspek dan hal lain lagi yang dapat diamati dan dilihat dalam rangka mengevaluasi apakah Kota Manado yang sudah tua ini, memang betul-betul sudah memiliki kriteria suatu kota ataukah masih sebuah desa besar yang bernama “Kota Manado� yang masih perlu banyak sekali pembenahan. Rasanya inilah hal-hal yang perlu dievaluasi, agar rencana pengaturan kembali sistem dan fisik kota Manado melalui rencana pembangunan kota dapat menjadi suatu rencana yang matang dan dapat diimplementasikan oleh pemimpin-pemimpin kota ini di masa datang.

ESTETIKA LINGKUNGAN: MENENTUKAN KUALITAS TATA RUANG KOTA MANADO

Oleh: Veronica A. Kumurur

Mengapa orang melihat taman laut Bunaken sebagai sesuatu yang indah, mengapa orang melihat Gunung Lokon adalah suatu pemandangan yang permai, sedangkan tiang-tiang listrik tegangan tinggi dianggap merusak pemandangan? Kawasan kumuh di tengah-tengah kota dianggap merusak, tenda-tenda Pedagang Kaki Lima (PKL) yang tidak seragam , tumpukan sampah di pinggir jalan primer Sam Ratulangi dianggap merusak pemandangan? Ini semua merusak keindahan suatu kota.

Itu terjadi, karena manusia dibekali penciptanya indera untuk memberikan penilaian (termasuk membandingkan) terhadap apa yang dilihatnya atau yang dirasakannya. Dan manusiapun pada dasarnya dibekali kemampuan untuk memaknai objek yang tertangkap oleh inderanya dan memprosesnya sesuai dengan kebutuhan, itulah persepsi. Keindahan (estetika), adalah satu hasil proses memaknai objek yang ada di sekitar tempat manusia hidup. Estetika lingkungan adalah hasil dari persepsi dan sikap manusia terhadap lingkungannya. Masalah estetika lingkungan juga dipengaruhi oleh kesukaan terhadap lingkungan yang berbeda-beda. Misalkan, keteraturan (coherence), dimana taman-taman yang terpelihara rapi dan bunga-bunganya teratur rapi lebih disukai dari pada halaman yang tak terawat dan banyak ditumbuhi tanaman liar. Jadi, sebetulnya keteraturan adalah sesuatu yang diingini oleh setiap manusia baik yang ada di kota maupun di desa.

Estetika lingkungan inipun adalah bagian atau komponen yang penting dan merupakan aspek yang menentukan kualitas tata ruang secara mikro (kecil). Kota dan desa adalah kawasan yang berskala mikro. Ada 6 aspek yang menjadi parameter penilaian estetika lingkungan, dan menurut Ir. Aca Sugandhy, M.Sc (1999) dalam bukunya Penataan Ruang dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa estetika lingkungan itu terwujud dalam bentuk: (1)terjaganya arsitektural bangunan serta kesesuaian dengan lingkungan sekitar atau bentang alam serta ketinggian bangunan; (2)terbinanya landscaping dengan adanya pepohonan di setiap lingkungan perumahan dan kawasan kegiatan sesuai dengan ekosistem wilayah; (3)lingkungan pemukiman yang bebas dari gangguan bau; (4) lingkungan pemukiman yang bebas dari gangguan kebisingan; (5) lingkungan pemukiman yang bebas dari gangguan getaran; (6) lingkungan pemukiman yang bebas dari gangguan radiasi.
Nah, apakah aspek-aspek ini menunjang kualitas tata ruang kota Manado? Ada 3 aspek yang teramati, dan dapat dideskripsikan sebagai berikut:

terjaganya arsitektural bangunan serta kesesuaian dengan lingkungan sekitar atau bentang alam serta ketinggian bangunan

Kota Manado, termasuk kota tua yang tentunya memiliki bangunan-bangunan yang bergaya arsitektur dijamannya. Sebelum adanya bangunan-bangunan baru saat ini, bangunan–bangunan yang bergaya arsitektur kolonial dan bergaya modern menempati kawasan-kawasn penting di kota ini. Bilang saja, seperti bangunan-bangunan kuno yang ada di pelabuhan Manado, yang dibuat dengan gaya jaman itu. Bangunan bekas bioskop Star dan bekas bioskop Benteng, yang memiliki bentuk yang hampir sama (gaya arsitektur modern).

Ada lagi bangunan-bangunan pertokoan di China Town di pusat kota Manado yang saat ini sedang dipulihkan lagi. Ada juga bangunan rumah sakit bergaya arsitektur serupa dengan bangunan bekas bioskob Benteng dan bioskop Star, namun kini telah diratakan (dibongkar). Ada kesan bahwa bangunan-bangunan tersebut dibangun dengan saling menyesuaikan diri, sebab bangunan-bangunan tersebut berada di pusat kota Manado dan memiliki fungsi yang hampir sama yaitu bangunan “service�. Berbeda dengan gaya bangunan sekolah, seperti sekolah Don Bosco dan sekolah Yayasan Joseph (kini telah berubah bentuk). Gaya arsitektur khusus untuk sekolah, dimana perpaduan antara gaya moderen dengan gaya arsitektur tropis (bentuk atapnya). Tinggi bangunan-bangunan tersebut tidak saling mendahului satu dengan yang lain, mereka membentuk satu kesatuan bentuk dan serasi terhadap bentang alam yang bergunung-gunung serta bangunan satu dengan yang lainnya di kota Manado.

Itu dulu yang sempat teramati dan terekam, yang tentunya bisa kita bedakan dengan kondisi saat ini. Bangunan-bangunan tua yang memiliki ciri bangunan tropis yang cocok dengan situasi kota Manado, kini mulai dirombak atau bahkan dimusnahkan. Salah satu bangunan yang benar-benar sudah dimusnahkan adalah bangunan rumah sakit Gunung Wenang dan bakal menyusul bangungan-bangunan yang bercirikan arsitektur tua di masa kota ini dibangun.

Bangunan-bangunan baru yang berarsitektur masa kini, mulai dibangun, dan secara tidak sadar telah meniadakan ciri khas kota Manado. Ornamen-ornamen tua yang menjadi ciri bangunan-bangunan di kota Manado tidak digunakan lagi. Kita tidak merasa berada di kota kita sendiri. Wajah kota Manado menjadi mirip dengan wajah kota-kota lain di Indonesia atau bahkan di luar Indonesia. Bangunan-bangunan yang tidak lagi memikirkan bentang alamnya, bangunan-bangunan yang tidak lagi memikirkan situasi sekitarnya banyak di bangun di kota Manado.
Contoh saja, bangunan Gedung Juang yang memiliki karakter bangunan yang sangat berbeda dengan bangunan lain di sekitarnya. Gedung baru yang berdiri kokoh dan sombong seolah tidak peduli dengan kondisi sekitarnya. Tinggi bangunannya yang tidak sesuai dengan lingkungan sekitarnya, sehingga bangunan ini seolah merusak estetika lingkungan sekitarnya yang telah dibentuk oleh bangunan gereja Sentrum dan bangunan-bangunan pertokoan yang ada di simpang empat serta bangunan angkatan laut yang ada di depannya. Ini sebetulnya yang tidak diinginkan, bangunan yang berdiri sendiri dan tidak menyatu dengan keadaan sekitarnya. Padahal pula, kesatuan bentuk (unity) adalah bagian dari estetika dalam ilmu arsitektur bangunan.

Bangunan-bangunan modern saat inipun dibangun di seluruh penjuru kota Manado, melalui bentuk-bentuk bangunan pertokoan baru, dimana secara perlahan ciri khas kota Manado mulai punah atau hilang. Pengrusakan bentang alam (landscape), pengrusakan sempadan pantai, pengrusakan sempadan sungai, dalam upaya mendirikan bangunan-bangunan yang nyaris tidak memikirkan wadah tempat dia dibangun (lingkungan hidup).

Padahal dengan menjaga bentuk arsitektural bangunan tua sudah menyediakan sarana lingkungan sosial bagi masyarakat kota. Dimana, masyarakat kota dapat bernostalgia disana, masyarakat kota dapat mempelajari sejarah, menjadi sarana wisata kota, menjadi sarana edukasi. Bukankah itu menjaga stabilitas sifat sosial manusia?

Dengan membuat bentuk bangunan yang serasi dengan kondisi alamnya, memberikan pengalaman memandang sesuatu yang indah dan meningkatkan apresiasi seni bagi masyarakat kota Manado. Dengan demikian, masyarakat kota ini akan selalu melatih diri untuk menghargai apa yang mereka lihat dan juga akan meningkatkan kepeduliannya terhadap lingkungan sekitarnya. Coba bayangkan, jika yang dilihat bangunan-bangunan yang kotor dan semrawut, bangunan-bangunan yang tanpa bentuk, bangunan-bangunan yang tidak serasi dan tidak estetis. Pastilah, membuat setiap orang merasa bosan melihat kekiri dan kekanan dan tidak memiliki pengalaman visual yang menarik sehingga membuat pikirannyapun “gundah�. Dan tentunya, kotanya akan selalu diingat sebagai kota yang tidak memiliki nilai estetika.

terbinanya landscaping dengan adanya pepohonan di setiap lingkungan perumahan

Pohon selain sebagai elemen kota yang bermanfaat menyerap CO2 dan mengeluarkan O2 dan juga menjaga tata air tanah di kota, melalui fungsi akar-akar pohon yang menjaga cadangan air tanah di kawasan perkotaan, juga berfungsi sebagai elemen estetika. Penataan pepohonan di kawasan perkotaan, dapat memberikan pola “landscape� kota. Sebagai unsur pembatas, misalkan pohon pinus menjadi pembatas antara pemukiman dan jalan raya. Juga sebagai elemen pembatas kawasan satu dengan kawasan lainnya. Dan secara keseluruhan, apabila setiap rumah atau bangunan memiliki pohon, maka suasana landscape kota akan terlihat teratur dan sejuk tentunya.

Kita lihat saja landscape kota Manado apakah sudah tertata baik dan indah? Rasanya belum ya, jumlah pohon yang ditanam masih bisa dihitung dan belum memberikan arti terhadap bentang alam (landscape) kota Manado. Padahal, kota Manado memerlukan rekayasa iklim sebab kota ini sangat panas dan tidak nyaman bagi pejalan kaki dan seringkali panasnya menurunkan stamina pejalan kami.

Apalagi masyarakat di kota Manado cenderung tidak ingin memiliki ruang-ruang terbuka yang ditanami pohon. Kalaupun ada pohon, cenderung ingin ditebangnya agar tidak mengotori halaman rumah. Cenderung ruang-ruang terbukanya ditutup dengan “concrete� (beton). Akibatnya, suasana di lingkungan pemukiman menjadi terasa panas dan tidak ada pepohonan yang me “reduce� (mengurangi) cahaya matahari yang masuk kerumahnya. Dan yang paling bahaya adalah mulai berkurangnya cadangan air tanah, akibat tak ada lagi ruang untuk penyerapan air tanah. Dan apabila hujan datang, air hujan tak terserap ke dalam tanah malah terbuang percuma dan mengakibatkan banjir di lingkungan pemukiman tersebut dan jika kita lihat hampir di seluruh kota Manado (dataran yang rendah) sudah ketimpa banjir saat hujan lebat.

Yang paling nyata, apabila kita melihat kota Manado dari pesawat terbang, yang terlihat adalah gersang dan tidak teratur. Tidak ada pola landscape yang baik di kota Manado. Kita tidak bisa menangkap suatu ciri khas yang indah “civic center� yang terbentuk dari tata hijau di kota Manado.

lingkungan pemukiman yang bebas dari gangguan bau

Bau yang tidak enak, adalah suatu yang sangat menganggu kenyamanan manusia. Apalagi bau itu mendampingi kehidupan kita terus, dikala bangun pagi, siang dan malam disaat beristirahat maka kita akan merasa tidak nyaman atau terganggu. Contoh saja, kehidupan masyarakat di kelurahan Pakowa (lingkungan I), yang setiap saat (pagi, siang, sore) selalu saja mencium bau yang tak enak dari arah pasar Pinasungkulan. Masyarakat setempat kelihatannya sudah terbiasa dengan bau yang tak sedap itu, padahal secara tidak sadar bau yang tak sedap itu sudah menganggu ketenangan dalam melakukan proses kehidupan. Jendela rumah yang mengarah ke pasar tidak sering dibuka, karena kuatir bau itu menyusup bersama udara dan tercium oleh penghuni rumah. Akibatnya, tidak ada lagi udara segar yang masuk ke rumah tempat tinggal, rumah menjadi lembab dan tak sehat untuk ditinggali. Selain itu pula, menghirup udara yang tak berbau mulai menjadi barang langka bagi masyarakat di kawasan hunian ini.

Kota Manado, yang semakin berkembang pesat mengakibatkan pesat pula pertambahan penduduknya. Hunian penduduk yang terjadi secara spontanitas (mendadak) dan akhirnya membentuk kawasan yang kumuh di pusat kota maupun di sepanjang aliran sungai. Akibatnya sungai-sungai tersebut menjadi bagian belakang penduduk tepi sungai dan bahkan kota Manado seluruhnya, sehingga sampah-sampah yang menjadi produk akhir kegiatan rumah tangga dan industri peternakan dimasukkan kedalam sungai-sungai itu. Gangguan bau akhirnya melanda hunian di pinggir sungai.

Kondisi ini diperparah oleh kebijakan pemerintah kota menempatkan lokasi pasar di pinggir sungai, seperti posisi pasar Pinasungkulan. Demikian pula dengan perletakkan lokasi pasar-pasar lain seperti pasar Bahu yang dekat dengan lingkungan pemukiman. Dan masih banyak lagi lokasi-lokasi pemukiman lainnya di kota Manado yang harus menerima gangguan bau, karena perletakkan tempat buang sampah sementara, tempat buang akhir sampah, rumah potong hewan (RTH), selokan-selokan (sistim drainase) yang tidak baik.

lingkungan pemukiman yang bebas dari gangguan kebisingan

Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan. Ada ketentuan terhadap baku mutu kebisingan yang bisa ditoleransi oleh manusia. Dampak kebisingan terhadap tingkah laku sosial, menurut Matthews, Cannon dan Alexander menemukan bahwa di lingkungan bising, jarak personal space lebih lebar dari pada di tempat yang tidak bising. Sedangkan dari hasil penelitian Apple dan Lintell bahwa hubungan informal dengan antar tetangga makin berkurang jika suara bising lalulintas di sekitar tempat pemukiman meningkat.

Mari kita lihat kondisi kebisingan saat ini di kota Manado seperti di jalan Arnold Mononutu, jalan yang menuju ke pasar Pinasungkulan seringkali terjadi kemacetan yang panjang dan terjadi dalam waktu yang lama. Kendaraan-kendaraan yang antri selain mengeluarkan asap-asap dari kendaraannya, juga menghasilkan bunyi secara serentak dan dalam waktu yang cukup lama. Kondisi ini sangat menganggu lingkungan pemukiman yang ada di kawasan itu.
Belum lagi kebisingan yang dihasilkan oleh kegiatan pasar plus terminal itu, suara-suara gaduh yang terdengar dari pasar membuat gangguan bising bagi lingkungan pemukiman di daerah ini. Jika diamati, pembangunan sarana servis bagi masyarakat di kota Manado, selalu berada dekat pemukiman penduduk, sehingga efeknya bisingnya saat ini mulai menganggu kenyamanan masyarakat di lingkungan pemukimannya. Seharusnya, lingkungan pemukiman jauh dari gangguan kebisingan, sehingga masyarakatnya merasa memiliki ruang yang nyaman untuk hidup.


Melalui ketiga aspek yang kita tinjau di beberapa lokasi ruang mikro di kota Manado (2 aspek yang belum ) secara umum menggambarkan kondisi yang terjadi dihampir seluruh ruang-ruang mikro di kota Manado. Secara konkrit bahwa kualitas ruang mikro di kota Manado masih kurang baik. Ini tentunya akan mempengaruhi kualitas ruang kota Manado secara keseluruhan.
Yang menjadi tantangan kita bersama, adalah bagaimana menghadirkan ruang-ruang kota (mikro) yang memiliki bangunan-bangunan yang serasi, memiliki ruang terbuka hijau yang terbina baik, memiliki masyarakat yang berbudaya menanam pohon, tidak memiliki sumber-sumber yang menghasilkan bau dan bising. Dengan meningkatnya kualitas ruang kota Manado secara keseluruhan, akan memberikan kenyamanan dan pengalaman visual yang baik dan indah bagi masyarakat kota Manado.

Wednesday, July 26, 2006

RENCANA TATA RUANG SEHARUSNYA MENJADI “MAIN ENTRANCE� KELAYAKAN KEGIATAN PEMBANGUNAN DI KABUPATEN/KOTA

Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang, demikian yang dimaksud dalam Bab I, Pasal 1(4) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan fungsi budi daya dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya, serta fungsi pertahanan keamanan; aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumber daya, fungsi dan estetika lingkungan, serta kualitas ruang. Perencanaan tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna sumber daya alam lainnya. Rencana tata ruang dibedakan atas; (1) Rencana tata ruang (RTR) Wilayah Nasional; (2) Rencana Tata Ruang (RTR) Wilayah Propinsi; dan (3) Rencana Tata Ruang (RTR) Wilayah Kabupaten/Kota. Masing-masing RTR Wilayah (RTRW) ini memiliki isi dan tujuan tertentu.

Salah satu bentuk tata ruang seperti RTR Wilayah Kabupaten/Kota, secara detail (rinci) berisikan tentang; (1)pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya; (2)pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan dan kawasan tertentu, (3)sistem kegiatan pembangunan dan sistem permukiman perdesaan dan perkotaan; (4)sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan lingkungan; (5)penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan sumber daya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Semua Sumberdaya Alam (SDA), sosial dan lingkungan buatan dalam skala wilayah kabupaten/kota diatur dan ditata disini. Perletakan kawasan lindung, kawasan budidaya direncanakan dan dirancang di RTR ini. Karenanya, fungsi RTRW Kabupaten/Kota ini menjadi pedoman untuk penetapan lokasi investasi dan menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan yang dilaksanakan pemerintah dan atau masyarakat di kabupaten atau di kota tersebut.
Demikian singkat cerita tentang RTRW yang kini RTRW ini dimiliki diantaranya oleh kota-kota di Sulawesi Utara seperti kota Manado, Kota Bitung, Kabupaten Minahasa dan Kota Tomohon. Yang artinya pula, bahwa kota-kota ini telah direncanakan peruntukkan ruangnya. Dengan demikian, kegiatan atau usaha apapun yang dilakukan dikota-kota ini, semua ijin-ijin lokasi pembangunannya harus berdasarkan RTRW yang telah ditetapkan.


Di Sulawesi Utara terutama di kota Manado dan kabupaten Minahasa, banyak kasus pembangunan fisik dari usaha dan kegiatan dilakukan pada lokasi yang bukan peruntukkannya. Seperti kawasan wisata bakal dijadikan kawasan industri, kawasan wisata, bakal dijadikan kawasan perdagangan/komersil dengan alasan “ah, RTR kan hanyalah arahan saja�. Mungkin ini karena sulitnya memahami bahasa Indonesia bidang hukum, sehingga interpretasinya macam-macam dan “suka-suka� para penguasa wilayah tersebut mengartikannya.
Perubahan tata ruang suatu wilayah, terjadi begitu saja dan dengan mudah disahkan oleh pimpinan tertinggi kabupaten/kota tanpa melihat efek di lingkungan wilayahnya bahkan antar wilayah. RTRW hanya menjadi dokumen yang hanya sekedar ada saja. Akibatnya terjadi protes sana-sini oleh masyarakat lokal, dan Lembaga Swadaya Masyarakat.


Akibatnya, investor menjadi uring-uringan (bingung) tak menentu, dilain sisi sudah menyetor kewajiban sebagai penanam modal pada pemerintah kabupaten/kota tersebut, dilain sisi merasa tidak tenang terhadap gangguan masyarakat. Perasaan “kecele (terjebak)� maju kena mundur kena. Tetapi, ada juga investor yang nekat untuk meneruskan kegiatannya walaupun apapun yang terjadi. Dan tentunya jika ada investor yang demikian akan berat rasanya dengan kondisi/situasi saat ini. Konsekuensi yang bakal dihadapi akan berat juga. Ada juga yang mundur dengan kerugian yang begitu besar, di mana sudah membuat kajian Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan biaya yang besar walaupun sudah jelas-jelas lokasi tersebut tidak untuk kegiatan atau usaha semacam itu dan kini harus meninggalkan lokasi itu karena umpatan dan protes dari masyarakat yang paham dengan lokasi tersebut. Akhirnya salah menyalahkan terjadi. Pemerintah (pengambil keputusan) menyalahkan masyarakat yang membuat gaduh sehingga investor kabur, dilain pihak masyarakat menuding pemerintah yang memberikan ijin padahal lahan itu bukan untuk kegiatan tersebut.

Menurut pengamatan saya, selama ini yang terjadi adalah tudingan kepada pemerintah yang memberikan ijin lokasi pada lahan yang bukan peruntukkan bagi kegiatan tertentu. Tudingan yang wajar. Kenapa? Karena pemerintahlah yang memegang perijinan tersebut, bukan masyarakat. Jelas demikian. Dan lebih jelas lagi, sebetulnya pemerintahlah yang membuat masyarakat dan investor bingung. Mau ikut aturan yang mana, aturan yang itu, ternyata di lapangan jadinya lain. Sebetulnya, semua ini bukan juga salah investor yang menempati peruntukkan yang salah, melainkan ini adalah kesalahan pihak pemerintah setempat yang mengeluarkan ijin untuk boleh menduduki tempat atau lokasi tersebut.

Semestinya tidak harus demikian kejadiannya, jika di awal kegiatan atau usaha tersebut dikaji dan dipahami dan dicocokkan dengan RTR Wilayah setempat, apakah sesuai peruntukkannya atau tidak. Jika cocok, tidak ada masalah, semua proses bisa dilanjutkan. Namun, jika kegiatan tersebut tidak sesuai dengan peruntukkan lahan atau RTRW, maka jangan sekali-kali memberikan ijin lokasi pembagunan pada pemohon tersebut. Karena, jika pemohon (pemrakarsa) telah diberikan ijin lokasi pembangunan, pemohon tersebut bakal lanjut pada pembuatan AMDAL (jika kegiatan wajib amdal) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) jika kegiatan tersebut tidak wajib amdal. Ini berabe, sebab pemrakarsa akan mengeluarkan biaya besar untuk studi ini. Repotnya lagi, jika studi tersebut sengaja dibuat bukan untuk memproteksi lingkungan tetapi untuk melayakkan kegiatan tersebut. Proses ini akan berlanjut dan akan otomatis gol dan dilaksanakan. Penilaian Amdal oleh komisi Amdal tidak akan mampu menahan kegiatan tersebut untuk tidak dilaksanakan walaupun sidang komisi sudah mengetahui bahwa kegiatan tersebut berada pada peruntukkan ruang yang salah atau menyalahi RTRW. Mengapa demikian? Karena ijin lokasi pembangunan sudah terbit dan tak ada yang mampu menahan semua itu, kecuali ditarik kembali oleh yang mengeluarkannya. Dan orang nomor satu di wilayah kabupaten dan kota yang berhak melakukan itu.

Terlihat disini, langkah awal yang salah telah diambil oleh pembuat keputusan. RTRW tidak menjadi dasar pembuatan ijin lokasi pembangunan. Sebetulnya, jika pembuat keputusan membuat putusan yang betul, investor tidak akan rugi dan masyarakat tidak akan gusar dan tentunya pembuat keputusan tidak akan berat tugasnya menghadapi “omelan dan protes� masyarakat. RTRW sudah dibuatkan untuk meringankan tugas para pembuat keputusan. RTRW menjadi pintu masuk awal dan utama (main entrance) dalam menentukan apakah kegiatan atau usaha tersebut dapat masuk dan menempati lokasi yang diinginkan oleh investor atau tidak. Jika ya, proses lanjut boleh dilakukan dan sudah pasti akan mulus jalannya, tetapi jika tidak, maka investor harus menghentikan langkahnya dan mencari lokasi lain dan tentunya tidak akan mengeluarkan biaya.

Dalam hal ini pengambil keputusan harus menjadi orang yang tegas dan tegah terhadap keinginan dirinya sendiri maupun keinginan teman-teman sekitarnya. Ini demi untuk kesejahteraan kita bersama sebagai masyarakat dan demi untuk berlanjutnya wadah tempat kita hidup dan berkembang ini. Dan terlebih lagi, demi kepercayaan yang diberikan masyarakat pada sang pemimpin.

Dan barangkali rumus “tegah dan tegas� ini yang sulit dilakukan oleh pemberi ijin. Bagaimana bapak-bapak dan ibu-ibu yang berwenang memberikan ijin lokasi, mampuhkah anda-anda menggunakan rumus tersebut dalam melaksanakan tugas?


PENTINGNYA EKOSISTEM HUTAN BAGI KEHIDUPAN MANUSIA

Oleh: Veronica Kumurur

Hutan merupakan satu ekosistem yang sangat penting di muka bumi ini, dan sangat mempengaruhi proses alam yang berlangsung di bumi kita ini. Ada 7 fungsi hutan yang sangat membantu kebutuhan dasar “basic needs� kehidupan manusia, yaitu:

  1. Hidrologis, hutan merupakan gudang penyimpan air dan tempat menyerapnya air hujan maupun embun yang pada khirnya akan mengalirkannya ke sungai-sungai melalui mata air-mata air yang berada di hutan. Dengan adanya hutan, air hujan yang berlimpah dapat diserap dan diimpan di dalam tanah dan tidak terbuang percuma.
  2. Melihat topografi Minahasa, bergunung-gunung dan terjal, sehingga banyak lahan-lahan kritis yang mudah tererosi apabila datang hujan. Keberadaan hutan sangat berperan melindungi tanah dari erosi dan longsor.
  3. Hutan pula merupakan tempat memasaknya makanan bagi tanaman-tanaman, dimana di dalam hutan ini terjadi daur unsur haranya (nutrien, makanan bagi tanaman) dan melalui aliran permukaan tanahnya, dapat mengalirkan makanannya ke area sekitarnya. Bayangkan jika kita tak punya lagi dapur alami bagi tanaman-tanaman sekitarnya ataupun bagi tanaman-tanaman air yaang ada di sungai-sungai, maka bumi Minahasa akan merana.
  4. Fungsi penting hutan lainnya adalah sebagai pengatur iklim, melalui kumpulan pohon-pohonnya dapat memprduksi Oksigen (O2) yang diperlukan bagi kehidupan manusia dan dapat pula menjadi penyerap carbondioksida (CO2) sisa hasil kegiatan manusia, atau menjadi paru-paru wilayah setempat bahkan jika dikumpulkan areal hutan yang ada di daerah tropis ini, dapat menjadi paru-paru dunia. Siklus yang terjadi di hutan, dapat mempengaruhi iklim suatu wilayah.
  5. Hutan memiliki jenis kekayaan dari berbagai flora dan fauna sehingga fungsi hutan yang penting lagi adalah sebagai area yang memproduksi embrio-embrio flora dan fauna yang bakal menembah keanegaragaman hayati. Dengan salah satu fungsi hutan ini, dapat mempertahankan kondisi ketahanan ekosistem di satu wilayah.
  6. Hutan mampu memberikan sumbangan hail alam yang cukup besar bagi devisa negara, terutama di bidang industri, selain kayu hutan juga menghasilkan bahan-bahan lain seperti damar, kopal, terpentein, kayu putih, rotan serta tanaman-tanaman obat.
  7. Hutan juga mampu memberikan devisa bagi kegiatan turismenya, sebagai penambah estetika alam bagi bentang alam yang kita miliki.

Dari 7 fungsi penting hutan bagi kehidupan manusia, bagaimana nasibnya dengan hutan di Minahasa (khususnya di Liandok) yang semakin hari ditebang saja tanpa ada pengelolaan benar. Padahal areal ini berada pada area “watershed� di Minahasa bagian selatan. Berada pada posisi awal yang menangkap air hujan, berada pada area yang kritis yang sulit dijangkau oleh manusia. Dengan posisi demikian sangat pentinglah fungsi hutan ini bagi keberadaan sungai-sungai dan kehidupan manusia di wilayah ini. Karena, jika dibiarkan ditebang dan dimusnahkan dan bahkan dialihfungsikan, maka bakal terjadi erosi (pengikisan lahan) yang tinggi oleh hujan dan bakal terjadi kerusakan lahan (seperti longsor) dan bakal mengikis humus (makanan) yang berada di permukaan tanah sehingga lahan menjadi tandus (miskin makanan). Hujan yang tak tertampung lagi menjadi penyebab banjir bagi sungai-sungai sekitarnya.

Hutan Liandok seluas 1600 ha, memang bukan saja milik masyarakat sekitarnya, tetapi milik semua manusia yang tinggal di Minahasa, di Manado, di Sulawesi Utara, sehingga semua masyarakat semestinya menjaga dan peduli dengan cara-cara pengeksploitasiannya (pembabatan yang semena-mena) dengan dalih dan tameng kebutuhan masyarakat. Karena akibat dari pembabatan yang tak terkendali ini, akan memberikan dampak langsung bagi semua orang di Minahasa bagian selatan dan bahkan semua yang tinggal di Minahasa, tidak memberikan dampak langsung bagi pengusaha-pengusaha yang hanya datang dan melakukan ekploitasi. Hanya sesaat kita akan menikmati kekayaan itu yang selanjutnya adalah “badai’.

Hutan Liandok adalah bagian hutan tropis yang sangat penting yang masih kita miliki dan tak dimiliki oleh dunia belahan barat. Di hutan ini kita memiliki keanegaraman hayati yang tinggi yang artinya, kita memiliki jenis-jenis tanaman dan hewan yang banyak jenisnya namun sedikit jumlahnya, akibatnya jika hutan ini berkurang maka akan sangat mempengaruhi jumlah jenis flora dan fauna dan akibat lainnya adalah membuat kondisi ekosistem tidak seimbang. Jika dibandingkan dengan hutan yang dimiliki daerah benua bagian barat, yang dikenal dengan hutan “temperate�, dimana jumlah jenis tanaman dan hewan tidak beraneka ragam dan jumlah setiap jenis banyak jumlahnya sehingga apabila hutan ini terganggu maka tidak akan mempengaruhi jumlah jenis (spesies) tanaman dan hewan di hutan itu.

Tanaman-tanaman dan hewan-hewan di hutan tropis seperti di hutan Liandok sangat penting fungsinya bagi ketahanan Ekosistem di wilayah Minahasa dan seluruh wilayah Sulawesi Utara, tidak hanya sekarang ini tetapi di masa datang.

Jika dalih, masyarakat sangat membutuhkan pemenuhan ekonomi sehingga harus membabat hutan di wilayah ini, rasanya tidak benar. Karena dari hasil hutan saja sudah dapat kita olah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Kita yang ada di Minahasa dengan luas wilayah yang kita miliki, dibandingkan dengan saudara-saudara kita di P. Jawa, kita masih memiliki areal yang sangat luas untuk berusaha dan mnegelola hutan kita. Kita belum pada posisi wilayah yang memiliki kepadatan penduduk tinggi dan belum pada tidak memiliki lahan lagi, jadi kita masih punya kesempatan untuk mengelola hutan kita, untuk tetap ada dan tetap berfungsi memberikan keuntungan ekologis bagi kehidupan kita saat ini dan untuk dimasa datang. Sudah terlihat contohnya, jika satu wilayah tak memiliki hutan lagi seperti P. Jawa, yang kini tak bisa membendung atau menanggulangi amukan alam.

Tak ada lagi tempat menyimpan air bagi daratan P. Jawa. Semua hutan mereka telah berubah menjadi lahan budidaya dan lahan permukiman. Itu adalah contoh yang bisa kita lihat saat ini dan kita di Sulawesi Utara, di Minahasa, kini telah di “warning� melalui kejadian banjir bandang di akhir tahun 2000, untuk tidak melakukan hal yang sama. Cobalah masyarakat memahami untuk melindungi lingkungan hidupnya sendiri, janganlah meninggalkan “badai� bagi anak cucu di masa datang. Yang saya tahu dan membaca dari sejarah Minahasa, kita masyarakat Minahasa memiliki etika yang tinggi terhadap lingkungan hidup kita.

Coba lihat, kita selalu meminta pertolongan dan petunjuk “Opo Wananatas� di dalam melakukan kegiatan. Jangan sampai kebiasaan ini menjadi hilang akibat ulah investor besar yang melumpuhkan kebiasaan atau “etika lingkungan� kita. Opo Wananatas akan sedih dan murka akibatnya.