Diskusi ini bukan berarti menyetujui model pembangunan yang sedang terjadi di Pantai Teluk Manado, tetapi, lebih menekankan pada pemikiran untuk mencari upaya melakukan minimalisasi kerusakan sistem lingkungan, paling tidak dari sudut subsistem sosial. Karena hanya itulah celah yang bisa dilakukan intervensi dari pada subsistem lain. Intervensi harus segera dilakukan agar pembangunan di Pantai Teluk Manado tidak menjadi “monster” yang semakin membesar dan menelan semua aset yang ada di sekitarnya sehingga menurunkan dayadukung subsistem lingkungan sosial dan akan mempengaruhi kemampuan sistem lingkungan hidup secara menyeluruh Kota Manado.
Hampir setiap sore menjelang malam, kami sekeluarga selalu berekreasi di tepi pantai Teluk Manado sambil membeli ikan segar yang dijajah para nelayan tradisional yang baru saja pulang melaut. Layaknya pemandangan pasar ikan kilat, suasana akbrab (interaksi sosial) yang indah dan sebetulnya sayang sekali untuk dimusnahkan. Tak pernah terbayangkan 25 tahun kemudian (saat ini), pemandangan seperti itu hilang dan entah gelombang apa yang telah menggulung habis, jejak titik koordinat pun entah kemana. Berton-ton bongkahan-bongkahan tanah, pasir dan batu telah diurug menutupi areal ‘pasar ikan kilat’ ini.
Perahu-perahu tradisional nelayan kini tak ada lagi yang membawa ikan-ikan segar hasil tanggkapan, mungkin mereka malu dan merasa tertinggal jaman dengan adanya perahu raksasa yang melaut “tak karuan” membawa orang-orang yang layaknya tak pernah naik perahu raksasa (kora-kora di Dunia Fantasi), kesana-kemari seolah menyoraki orang lain yang tak bisa naik di perahu itu (karena tak mampu membayar). Tingkah yang tidak berguna, yang mungkin malah mengundang bahaya dan rasa cemburu yang tidak karuan bagi masyarakat lain (biasanya masyarakat asli khususnya nelayan) sekitar yang harus terpaksa tergeser tanpa mampu menolak.
Kenangan ini hanya bisa di “recall” ketika meneguk secangkir “hot coffee latte” yang harganya lumayan bergengsi selayak namanya, sambil memandang “sun-set Manado Bay” yang tak lagi gratis hingga kini. Bukan lagi duduk bersila di atas pasir, bukan lagi menggunakan lampu petromaks untuk menerangi ikan-ikan yang siap dipanggang, dan tidak lagi ada teriakan asli nelayan menandingi bunyi ombak Pantai Teluk Manado, yang membuat kami bangga memiliki pantai indah ini. Semuanya telah digantikan dengan alunan “Richard Claiderman, Kenny G”R and B Usher, Craig David, and Destiny Child” melatarbelakangi canda akrab masyarakat urban Kota Manado di bawa binaran lampu “café-café” di tepi pantai Teluk Manado. atau musik “
Semuanya dengan gaya yang teramat moderen, meski kadang masyarakat Sulawesi Utara harus memaksakan diri bergaya sesuai dengan musik gaya ‘urban-techno’, gaya bicaranya, ‘style’ duduk dan ‘shopping-style’ nya, pokoknya ‘lifestyle’ harus dipaksa berubah, baik di daratan sampai ke laut mengikuti irama-irama ‘gaul’ yang bergantian “suka-suka” operator musiknya.
Pembangunan industri perdagangan secara besar-besaran sedang terjadi di Kota Manado, di mana produksi barang-barang konsumsi dan barang-barang sarana produksi diadakan secara massal dan secara ekonomi, situasi inilah yang disebut modernisasi. Modernisasi merupakan istilah yang merangkum pelbagai macam perubahan sosial-ekonomi yang disebabkan penemuan serta inovasi ilmu dan teknologi, perkembangan industri yang sangat cepat, pergerakan penduduk, urbanisasi, pembentukan negara-bangsa, dan gerakan politik massa, yang semuanya didorong oleh meluasnya pasar dunia kapitalis (Madan Sarup, 2003).
Menurut M. Umer Capra dalam Harahap (2002) bahwa ada 5 ciri utama dari sistem ekonomi kapitalis, yaitu: (1)dalam meningkatkan kekayaan, memaksimumkan produksi dan memuasklan kebutuhan disesuaikan dan diutamakan berdasarkan preferensi individu, (2)kebebasan individu diberikan untuk mencapai kepuasan pribadi dan diatur secara swasta, (3)alokasi sumber yang ada diserahkan sepenuhnya kepada kekuatan dan mekanisme pasar, (4)tidak diakui perlunya campur tangan pemerintah dalam mengatasi berbagai ketimpangan masyarakat, (5)dengan memberikan inisiatif kepada individu dianggap otomatis akan memakmurkan seluruh masyarakat.
Modernisasi suatu masyarakat merupakan suatu proses transformasi atau suatu perubahan masyarakat dalam segala aspek-aspeknya. Pergeseran nilai terjadi selama proses modernisasi dan Parson (sosiolog) memperkenalkan pembagian nilai yang universalistik dan partikularistik, dimana nilai partikularistik lebih menitikberatkan pada kebutuhan individu atau kelompok kecil sedangkan nilai universalistik lebih menitikberatkan pada kepentingan masyarakat banyak. Karena itu seberapa kuat sikap universalistik atau partikularistik ditentukan oleh keterikatan individu dengan lingkungannya dan hal ini pula ditentukan oleh seberapa jauh lingkungan itu sendiri memenuhi harapan dan kepentingan individu dan seberapa jauh individu berperan atau diakui oleh lingkungannya.
Masyarakat nelayan selama kurang lebih 32 tahun kekuasaan Orde Baru hampir sama sekali tidak mendapatkan sentuhan kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi. Persoalannya adalah pengambil kebijakan di negeri ini belum memahami secara komprehensif apa sebenarnya akar permasalahan nilai yang digunakan lebih partikularistik atau lebih menitikberatkan pada kebutuhan individu atau kelompok, yang artinya bahwa masyarakat pesisir (khususnya nelayan) tidak lagi menjadi bagian dari masyarakat Kota Manado. Nilai laut dan kawasan pesisir bukan lagi menjadi nilai yang universal, artinya dapat dinikmati oleh semua masyarakat Kota Manado. Alam laut dan pesisir menjadi milik kelompok tertentu dengan kepentingan tertentu.
Mereka terpaksa harus menggusurkan diri dan secara perlahan kearifan tradisional mereka tergusur dan mulai membentuk cara menilai kepentingan terhadap sesuatu, dimana kepentingan individu lebih penting baginya. Nilai-nilai kebersamaan yang pernah mereka lakukan sewaktu masih berada di kawasan pesisir menjadi hilang dan berganti menjadi nilai-nilai individu. Nilai individu ini menjadi nilai kolektif atau bersama, meskipun tidak semua masyarakat dapat menerima perubahan nilai ini. Dan menurut Parson masyarakat yang sedang mengalami perubahan sistem sosial sedang mengalami fase perubahan, dan hal ini disebut dengan “instabilitas” sosial.
Masyarakat nelayan Teluk Manado tidak lagi memiliki kebebasan, tidak lagi dapat menguasai sumberdaya alam atau yang lebih ekstrim lagi mereka tidak lagi diakui masyarakat pelaku ekonomi. Mereka tidak semestinya menjadi korban nafsu pelaku dan perencana pembangunan di Sulawesi Utara, atau bukan menjadi tumbal bagi pencapain suatu tujuan kemakmuran pembangunan (dimanapun). Nelayan adalah masyarakat tradisional yang merupakan aset sosial yang mesti dimasukkan dalam perencanaan pembangunan. Memang betul, pembangunan akan merubah budaya masyarakat, namun bukan berarti tergulung dan hanyut bersama derasnya gelombang modernisasi pembagunan. Masyarakat lokal atau masyarakat asli atau lebih detil lagi masyarakat nelayan (maskot masyarakat Sulawesi Utara) seharusnya menjadi “Agent of Change” atau agen perubahan dalam pembangunan. Masyarakat ikut serta dalam proses perubahan pembagunan, namun bukan berarti merubah tradisinya, semisal merubah nelayan menjadi “satpam” (security) atau memaksa mereka harus menjadi pedagang kaki lima (tidak ada pilihan). Tidak demikian, melainkan tetap mereka nelayan dengan menambah kegiatan mereka dalam konteks modernisasi pembangunan yang terjadi di Teluk Manado.
Ini bukan berarti bahwa kegiatan pembangunan menjadi hal yang sangat eksploitatif bagi sudut pandang para environmentalis. Bukan pula pelaku pembangunan dan para pendukung selalu berlindung pada pernyataan bahwa “pembangunan sudah semestinya menurunkan kualitas lingkungan hidup”. Pandangan itu tidak seharusnya demikian, melainkan “proses pemaduan antara moderen dan tradisional” itu yang dicari dan dilakukan dalam pembangunan agar proses pembangunan berkelanjutan terjadi.
Di saat nanti, generasi penerus akan menjadikan ini suatu peninggalan budaya dan budaya inilah menurut Foster (1973) merupakan suatu proses dimana suatu aturan dijadikan sebagai panduan hidup dari anggota suatu kelompok sosial atau masyarakat tertentu. Bagaimana jadinya jika peninggalan budaya yang tidak lagi mencerminkan dialog antara manusia dan alam? padahal alam menjadi partner manusia di dalam usahanya mencapai kemanusiaan mulia dan memuliakan alam dan penciptaNya.
* Sudah dipublikasi di Tabloid Lestari – Manado Post tgl. 24 Desember 2005