Oleh: Veronica Kumurur
Hidupan liar tidak saja hewan (fauna) atau satwa liar, termasuk di dalamnya ada flora atau tanaman-tanaman yang tumbuh di sekitar kehidupan (alam) atau ekosistem alam. Contoh, badak Jawa yang hidup di Ujung Kulon, atau Tarsius yang hidup di Cagar Alam Tangkoko Sulawesi Utara, itu merupakan satwa liar. Tetapi, rusa yang berasal dari hutan alam Kalimantan yang dipindahkan ke kebun binatang ataupun ke taman safari bukan lagi menjadi satwa liar.
Jadi yang termasuk hidupan liar (fauna/satwa dan flora) adalah makhluk yang hidup pada habitat yang masih alami atau tempat yang cocok untuk melangsungkan siklus hidup. Habitat atau tempat hidup makhluk-mahkluk ini, ada disekitar kita, seperti hutan, laut, dan danau.
Kini, hidupan liar ini, semakin saja berkurang seiring dengan pertambahan populasi manusia. Manusia, terus berkembang dan bertambah banyak jumlahnya dan tentunya untuk memenuhi keperluan kehidupannya manusia memanfaatkan sumberdaya alam (SDA) yang ada di sekitarnya. Berbagai cara dilakukan termasuk melalui eksploitasi secara besar-besaran, seperti membongkar hutan untuk dijadikan lahan perkebunan, menguruk laut untuk dijadikan lahan industri, dan membiarkan danau menjadi dangkal akibat memanfaatkan ruang-ruang perairan danau sebagai tempat tinggal atau restoran. Semuanya dilakukan untuk memenuhi kehidupan manusia sendiri tanpa memperhatikan keberlanjutan hidupan liar yang ada di ekosistem alam ini.
Perburuan hidupan liar yang dilakukan di Sulawesi Utara, tak cukup membongkar hutannya untuk mengambil jenis tanaman tertentu untuk diperdagangkan yang secara langsung menghilangkan habitat hidup fauna jenis tertentu, tetapi juga memburu fauna-fauna tersebut untuk dikonsumsikan secara berlebihan. Sementara, tidak ada kegiatan konservasi terhadap flora dan fauna tersebut, padahal wilayah Sulawesi Utara adalah wilayah yang memiliki flora dan fauna (hidupan liar) yang khas dibandingkan wilayah lain di Indonesia.
Konservasi bukan semata-mata kegiatan yang tidak bisa menggunakan SDA. Konservasi sumberdaya alam (SDA) adalah kegiatan yang meliputi perlindungan, pengawetan, pemeliharaan, rehabilitasi, introduksi, pelestarian dan pemanfaatan dan pengembangan (Alikodra 1990). Tujuan dari konservasi ini adalah terjaminnya kelangsungan hidupan liar (flora dan fauna) dan terjaminnya kebutuhan manusia (masyarakat) untuk memanfaatkannya baik langsung ataupun secara tidak langsung berdasarkan prinsip kelestarian (prinsip keberlanjutan siklus kehidupan).
Khususnya untuk konservasi satwa (fauna) liar, menurut Profesor Hadi Alokodra (1990), perlu adanya upaya-upaya; (1)melakukan pembatasan-pembatasan terhadap perburuan liar; (2)melakukan pengendalian persaingan dan pemangsaan; (3)pembinaan wilayah (suaka) tempat berlindung, tidur dan berkembang biak baik berupa taman-taman, hutan, maupun suaka margasatwa, cagar alam, taman nasional, dan taman hutan raya ataupun kebun raya; (4)melakukan pengawasan terhadap kuantitas dan kualitas lingkungan hidup satwa liar seperti ketersediaan makanan, air, perlindungan, penyakit dan faktor-faktor lain; (5)meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya konservasi satwa liar; (6)pengembangan pendayagunaan satwaliar baik untuk rekreasi berburu, obyek wisata alam ataupun penangkaran, dan (6)pengembangan penelitian. Secara singkat bahwa upaya konservasi ini meliputi dua hal penting yang harus diperhatikan, yaitu mencegah terjadinya kepunahan spesies (pemanfaatan yang hati-hati) dan mempertimbangkan dan memperhitungkan pihak-pihak lain (pemanfaatan yang harmonis).
Hidupan liar termasuk sumberdaya alam (SDA) yang berarti merupakan “supporting system� bagi keberlanjutan sistem lain dalam lingkungan hidup (seperti: sistem sosial, sistem lingkungan buatan) di muka bumi ini. Mengapa demikian? Karena hidupan liar ini tidak saja memiliki nilai ekonomi, nilai estetika ataupun nilai untuk ilmu pengetahuan. Yang lebih penting bahwa hidupan liar ini memiliki nilai ekologi. Hidupan liar berada pada jaringan makanan dan merupakan komponen dalam satu kesatuan ekosistem.
Apabila, komponen ini terdegradasi secara terus menerus dan akhirnya punah, maka ekosistem kita menjadi tidak seimbang dan terganggu. Dan jangan lupa ada manusia (sosiosistem) yang akan selalu berinteraksi dengan ekosistem tersebut, maka itu, kerusakan ekosistem akan menganggu tatanan sistem sosial manusia (masyarakat). Apabila, interaksi antara 2 sistem ini terganggu, maka terganggu pula sistem buatan (lingkungan buatan) dan secara keseluruhan akan menjadi suatu bencana bagi lingkungan hidup kita. Berkurangnya air, bahan makanan, polusi udara, tidak suburnya tanah, itulah bencana lingkungan yang bakal terjadi, jika satu komponen, yaitu hidupan liar dalam sistem lingkungan hidup terganggu atau punah. Maka itu, pengelolaan hidupan liar ini mempertimbangkan prinsip-prinsip bahwa (1)tanah, air, flora dan fauna liar serta manusia adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan; (2)untuk hidup dan berkembang biak diperlukan kondisi lingkungan yang sesuai. Yang artinya, jika perburuan hidupan liar terus dilakukan tanpa melakukan upaya konservasi maka manusia dan seisi bumi akan mengalami kerusakan lingkungan hidup secara perlahan-lahan atau bahkan serentak sampai pada bencana lingkungan hidup yang dasyat.
Karena itu, pengelolaan hidupan liar sangat perlu dilakukan, dan itulah tugas manusia yang sudah dititahkan penciptaNya, yaitu sebagai pengelola/manager atau pengguna yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan siklus kehidupan makhluk lain termasuk hidupan liar, bukan penindas/penakluk.
Tulisan ini sudah dipublikasi di Tabloid Lestari, Harian Manado Post Manado
1 comment:
artikelnya keren mBa...mba tau tntang tata kota jga ga??kpn sharing yaCh...lm knal
Post a Comment